Derita Saya Menjadi Mahasiswa Jurusan Pertanian di Universitas Negeri

Derita Saya Menjadi Mahasiswa Jurusan Pertanian di Universitas Negeri

Derita Saya Menjadi Mahasiswa Jurusan Pertanian di Universitas Negeri (Unsplash.com)

Jurusan Pertanian di universitas negeri tempat saya belajar bak anak tiri. Gedung fakultas kami paling mungil, fasilitas yang diberikan kampus pun minim.

Universitas merupakan tempat menimba ilmu bagi para mahasiswa dalam menempuh pendidikan tinggi. Sudah sepantasnya pihak kampus menyediakan tempat yang mumpuni bagi para mahasiswanya untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. 

Namun, apa jadinya jika kampus malah nggak bisa menyediakan sarana dan prasarana yang baik untuk mahasiswanya? Hal inilah yang dirasakan oleh mahasiswa, khususnya mahasiswa jurusan Pertanian di kampus saya. Kebetulan kampus tempat saya menimba ilmu adalah sebuah universitas yang baru beberapa tahun ini menjadi universitas negeri. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang bisa dibilang tinggi tersebut rupanya nggak serta merta membuat kami mendapatkan sarana dan prasarana yang memadai di kampus.

Gedung Fakultas Pertanian paling kecil di antara fakultas lainnya

Luas dan bertingkat. Itu adalah bayangan saya terhadap gedung fakultas yang akan menjadi tempat saya menimba ilmu selama empat tahun ke depan. Namun sepertinya kata-kata sakit karena ekspektasi sendiri yang berlebihan itu cocok untuk menggambarkan perasaan saya saat pertama kali menginjakkan kaki di fakultas tercinta.

Bayangan gedung luas dengan banyak lantai seperti yang sering dilihat di media sosial kebanyakan universitas favorit itu sangat berbanding terbalik dengan gedung satu lantai yang bahkan luasnya mungkin hampir sama dengan kantor guru di SMA saya dulu.

Miris, itu kata yang mungkin cocok untuk menggambarkan kondisi gedung Fakultas Pertanian. Gedung yang kecil itu bahkan nggak mampu menampung seluruh dosen di fakultas saya. Gedung mungil itu layaknya kurcaci di antara gedung-gedung raksasa bertingkat yang berada di lingkungan universitas negeri tempat saya menimba ilmu.

Ironisnya, Fakultas Pertanian ini merupakan salah satu fakultas tertua yang sudah berdiri sejak universitas ini masih berstatus sebagai universitas swasta. Namun, lihatlah, keberadaannya seakan-akan nggak diperhatikan.

Ruang kelas nggak cukup, mahasiswa jurusan Pertanian harus “mengungsi” ke fakultas lain untuk kuliah offline

“Lho, nanti kelasnya di mana kalau udah mulai kuliah offline?” Kurang lebih begitu pertanyaan yang terbesit di benak saya dan teman-teman mahasiswa jurusan Pertanian lainnya. Apalagi buat mahasiswa baru. Saat surat edaran perkuliahan offline itu diedarkan, kami bertanya-tanya, gimana caranya gedung fakultas yang mungil itu dapat menampung ratusan mahasiswa?

Kurangnya ruang kelas kemudian mengharuskan mahasiswa jurusan Pertanian mengungsi ke gedung fakultas lain saat kuliah offline dilaksanakan. Meskipun sebenarnya sejak edaran kuliah offline dikeluarkan, pihak universitas telah mengeluarkan peraturan bahwa seluruh gedung fakultas adalah milik bersama.

Namun, dengan adanya kebijakan gedung milik bersama tadi nggak serta merta membuat permasalahan terbatasnya ruang kelas jadi selesai. Ada beberapa dosen sepuh yang membuat saya dan teman-teman dari jurusan Pertanian harus mencari ruang kelas yang ada di lantai dasar ketika perkuliahan dilaksanakan.

Sebenarnya jurusan Pertanian mendapat ruang kelas di lantar empat, lantai paling atas gedung fakultas yang ditumpangi. Namun, nggak ada akses lift dalam gedung. Kami saja yang masih muda ngos-ngosan tiap kali menuju kelas, gimana dosen yang sudah sepuh. Belum lagi sampai kelas ternyata AC-nya nggak berfungsi.

Laboratorium jurusan Pertanian nggak mencerminkan laboratorium sungguhan

Jurusan Pertanian identik dengan praktikum layaknya jurusan sains lainnya. Kadang praktikum tersebut bertempat di laboratorium untuk beberapa mata kuliah tertentu. Namun gimana kalau laboratorium yang tersedia nggak memenuhi standar laboratorium umumnya?

Sederhana. Mungkin itu kata yang cocok untuk menggambarkan keadaan laboratorium di universitas negeri tempat saya belajar. Alih-alih mendapatkan gedung yang dibuat khusus untuk laboratorium dengan segala fasilitas dan alat yang memadai, gedung lima lantai yang dulunya bekas gedung fakultas lain itulah yang sekarang menjadi laboratorium bersama di kampus saya.

Oh ya, jangan lupakan keadaan gedung itu seperti nggak terurus. Jika biasanya laboratorium identik dengan kata steril, lain halnya dengan laboratorium jurusan Pertanian. Masuk ke lab nggak memakai jas lab, alat-alat kadang kurang steril, bahkan nggak tersedia alat-alat yang diperlukan untuk praktikum. Ruangan praktikum untuk mata kuliah satu dan mata kuliah lain kadang digabung.

Green house yang nggak sesuai standar

Seperti namanya, green house seharusnya berbentuk bangunan yang dapat melindungi tanaman dari kondisi tertentu yang ekstrem dan menciptakan kondisi yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman. Namun, apa jadinya jika suhu di dalam green house malah terasa sangat panas?

Jangankan untuk keberlangsungan hidup tanaman, saya yang seorang manusia dan hanya masuk beberapa menit saja merasa sangat kepanasan. Bisa dibayangkan bahwa tanaman mungkin nggak akan bisa tumbuh di dalam green house yang suhunya terlalu panas. Bahkan lebih panas dari suhu udara di kota tempat tinggal saya.

Itulah beberapa penderitaan yang saya rasakan sebagai mahasiswa jurusan Pertanian di sebuah universitas negeri. Saya merasa jurusan saya dianaktirikan oleh pihak kampus. Meski begitu, sebagai mahasiswa, saya dan teman-teman lainnya harus tetap semangat menimba ilmu demi masa depan yang lebih baik, kan.

Penulis: Nurhanifah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Sisi Gelap Jurusan Pertanian: Mahasiswa Rela Membunuh Hewan Pengganggu Tanaman hingga Meracuni Ikan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version