Kalau bicara “alamat rumah”, sebagian besar orang mungkin ingin yang aksesnya mudah. Misal, dekat pasar atau ada warung Indomie 24 jam. Tapi tidak untuk Kamto, teman SMA saya. Dia tinggal di sebuah kawasan yang sejak lama sudah punya “branding” khas sebagai daerah tempat bernama lokalisasi JBL.
Lokalisasi ini terletak di perbatasan Kota Semarang dan Kabupaten Kendal. Bagi yang sering lewat jalur pantura Kaliwungu-Semarang, lokasinya dekat gerbang tol Kalikangkung dan sebelah barat Terminal Mangkang.
Dunia malam di lokalisasi JBL
Kalau melihat dari luar, lokalisasi JBL terlihat biasa saja. Namun, di dalamnya, ada dunia malam. Mulai dari karaoke dan agen minuman keras lengkap dengan LC, bahkan waria juga ada. Pokoknya paket komplit.
Tempat tinggal Kamto sendiri sebenarnya ikut wilayah Kabupaten Kendal. Tepatnya di Desa Sumberejo, Kecamatan Kaliwungu.
Tapi karena kawasan ini memang nempel dengan bagian yang masuk wilayah Semarang, orang luar sering menyebutnya Gambilangu atau JBL. Padahal, kalau melihatnya lagi, daerah tersebut terbagi menjadi 2, yaitu wilayah “gang Kendal” dan “gang Semarang”.
Dan yang menarik, Kamto bukan satu-satunya teman saya yang tinggal di lokalisasi. Puluhan teman saya rumahnya di lokalisasi JBL.
Ada yang cuma numpang tinggal tanpa ikut aktivitas dunia malamnya. Ada juga yang ikut jadi tukang tarik uang keamanan di portal masuk. Bahkan ada yang keluarganya punya usaha karaoke.
Stigma yang melekat
Jujur saja, tinggal di lokalisasi itu sering bikin orang salah paham. Kamto pernah cerita, banyak teman-teman SMA yang awalnya agak canggung main ke rumahnya.
Apalagi kalau mereka sudah dengar reputasi lokalisasi JBL. Ada rasa “Waduh, jangan-jangan.” Padahal, Kamto dan keluarganya sama sekali nggak terlibat jual beli “layanan” di sana.
Tapi ya namanya juga tetangga. Mau nggak mau hidup mereka bersisian dengan para LC dan PSK yang kos di sekitar rumah. Bahkan waria pun ada.
Bagi Kamto, itu sudah pemandangan biasa. Ketemu orang pakai dress mini sambil bawa kantong belanja sayur di pagi hari? Biasa. Dengar orang ribut-ribut tengah malam gara-gara mabuk di lokalisasi? Juga biasa.
Yang bikin ribet justru kalau ada saat itu ketika ada kunjungan guru ke rumah. Bukan karena Kamto takut dimarahin, tapi karena gurunya kadang kebingungan cari alamat.
Pernah suatu kali guru datang ke rumah untuk silaturahmi. Tapi, si guru malah nyasar masuk ke room karaoke di depan gang. Untung saja tidak langsung duduk dan pesan minum.
Dua dunia yang berdampingan di lokalisasi JBL
Yang sering orang luar nggak tahu, di lokalisasi JBL itu bukan cuma ada dunia malam. Di situ juga ada musala, kok. Setiap Magrib, suara azan berkumandang bersahut-sahutan dengan suara musik dangdut atau house remix dari room karaoke. Ironis tapi nyata.
Bahkan, di bulan Ramadan, banyak warga yang aktif tadarusan. Ada juga ibu-ibu pengajian yang rutin ngumpul. Jadi, jangan kira kehidupan di lokalisasi itu cuma mabuk-mabukan dan karaoke saja. Di sela-sela kehidupan remang itu, kehidupan normal dan religius tetap berjalan. Hanya, lingkungannya memang “berwarna”.
Bagi yang tumbuh besar di lokalisasi JBL, semua itu bukan sesuatu yang aneh. Kamto bilang, sejak kecil dia sudah terbiasa melihat hal-hal yang buat anak-anak lain mungkin dianggap “tabu”.
Anak-anak di JBL tumbuh dengan pemandangan yang kontras pagi sekolah, sore ngaji, malam melihat orang orang berkaraoke sampai larut malam. Meski saat ini, operasional room dibatasi sampai pukul 11 malam sedangkan dahulu bebas sampai pagi.
Bisnis keluarga
Beberapa teman SMA saya yang lain bahkan keluarganya punya room karaoke sendiri. Tapi jangan salah, meski bisnisnya begitu, ada aturan rumah yang ketat untuk teman teman SMA anaknya jika mau karaoke.
Misalnya, ada satu teman yang boleh mengajak teman-temanya karaoke. Di sana nanti mereka mendapat diskon harga, bahkan sering mendapatkan karaoke gratis include LC plus minumanya.
Syaratnya, nggak boleh pesan minuman keras yang kadar alkoholnya tinggi. Hanya boleh minum soft drink atau minuman dengan kadar alkohol rendah. Oya, asal sudah cukup usia, ya.
Mau nyanyi sampai suara habis? Monggo. Tapi begitu ada yang iseng minta minuman oplosan, langsung kena marah dari ibu temen saya.
Yang menarik, di lingkungan lokalisasi JBL, banyak anak muda yang justru tumbuh jadi orang-orang yang tahan mental. Mereka sudah kebal godaan atau rayuan dunia malam karena terlalu sering melihat dari dekat.
Malah ada yang bercita-cita jadi polisi, supaya bisa “bersih-bersih” lokalisasi. Ada juga yang jadi ustaz dan aktif berdakwah, mulai dari lingkungannya sendiri.
Tarik uang keamanan dari portal
Buat yang nggak punya bisnis karaoke, ada juga cara lain mencari penghasilan dari lingkungan ini. Salah satunya menjadi tukang tarik uang keamanan di portal masuk.
Sistemnya sederhana. Siapa saja yang masuk ke lokalisasi JBL, entah buat karaoke, beli minum, atau sekadar “jalan-jalan”, harus bayar uang keamanan. Tarifnya, Rp2 ribu untuk satu motor.
Beberapa teman saya yang kerja di portal ini menganggapnya sebagai pekerjaan biasa. Tapi dari luar, kesannya seperti bagian dari “organisasi mafia”. Padahal, uangnya dipakai buat biaya ronda, kebersihan, dan kadang membantu warga kalau ada acara besar dan menjadi mata pencaharian mereka.
Bingung menjelaskan
Buat orang luar, cerita tinggal di lokalisasi sering bikin penasaran. Tapi buat Kamto, kadang malah bikin lelah menjelaskan. Apalagi kalau ada teman baru yang iseng nanya, “Eh, kamu anak JBL ya? Berarti tiap malam ketemu LC dong?”
Pertanyaan seperti itu bikin dia malas menjawab. Kadang dia cuma bilang, “Ya tinggal di situ. Terus kenapa?” Karena buat dia, rumah ya rumah. Mau alamatnya di kompleks perumahan elit atau di lokalisasi, yang penting itu keluarga dan kehidupannya.
Menjadi bahan bercandaan
Tinggal di lokalisasi JBL juga sering jadi bahan bercandaan. Misalnya, kalau ada yang telat datang nongkrong, langsung ada yang nyeletuk, “Tadi mampir ke room karaoke dulu ya?” atau “Waduh, jangan-jangan tadi bantu narik uang portal?”
Kamto biasanya cuma senyum. Dia tahu, teman-teman yang sudah lama kenal tidak benar-benar menilai buruk, hanya bercanda. Tapi tetap saja, dia paham kalau di luar sana masih banyak orang yang melihat alamatnya dengan tatapan berbeda.
Hidup normal di tempat yang tidak normal
Bagi saya, kisah Kamto dan teman-teman dari lokalisasi JBL ini mengajarkan satu hal, yaitu tempat tinggal tidak selalu mencerminkan siapa kita. Lingkungan boleh “ramai” dengan aktivitas dunia malam, tapi bukan berarti semua warganya ikut larut di dalamnya. Ada yang hidup normal, bekerja jujur, mengaji, bahkan aktif di kegiatan sosial.
Sayangnya, stigma memang susah hilang. Masyarakat sering terlalu cepat menilai dari alamat. Padahal kalau mau kenal lebih dekat, banyak cerita menarik yang justru bikin kita sadar bahwa kehidupan itu penuh warna. Dan kadang, warna-warna itu justru membuat kita lebih kuat dan terbuka terhadap perbedaan.
Kalau saya pikir-pikir, Kamto ini beruntung juga. Dia tumbuh di lingkungan yang keras tapi sekaligus akrab. Punya tetangga yang pekerjaannya macam-macam, dari penjual nasi kucing, tukang parkir, pemilik karaoke, sampai ustaz.
Lingkungannya penuh suara musik, tapi juga suara azan. Ada miras, tapi ada juga tadarusan. Dua dunia itu berjalan berdampingan di lokalisasi, entah bagaimana caranya.
Dan mungkin, kalau suatu saat ada yang masih memandang sinis, Kamto akan menjawab dengan sederhana, “Ya, rumahku di JBL. Mau gimana lagi? Yang penting hidupku baik-baik saja.”
Karena pada akhirnya, bukan alamat rumah yang menentukan kita, tapi pilihan hidup yang kita ambil setiap hari.
Penulis: Andre Rizal Hanafi
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
