Dengan Terbiasa, pada Akhirnya Semua Akan Menjadi Biasa-Biasa Saja

Dengan Terbiasa, pada Akhirnya Semua Akan Menjadi Biasa-Biasa Saja

Saya tertarik setelah melihat cuitan Fiersa Besari tertanggal 29 Juli 2018. Setelah sebelumnya saya iseng mencari kata kunci “biasa saja” di Google, akhirnya saya menemukan cuitan Twitter tersebut. Bung menulis, “Seiring waktu, kita akan terbiasa untuk biasa saja.”

Terbiasa lalu biasa-biasa saja setelahnya ternyata memang berlaku dalam kehidupan. Saya tidak mengambil garis besar kehidupan semua manusia. Hanya saja saya yakin beberapa manusia mengalami dan merasakannya. Betapa hal yang di awal terlihat hebat, luar biasa, dan keren, tapi ketika akhirnya sudah tahu, paham, dan bersinggungan terus menerus, semuanya ternyata akan menjadi biasa aja.

Saya sangat merasakan bahwa ternyata dengan terbiasa memang akan berujung biasa-biasa saja. Sejak SD, SMP, SMA, hingga kuliah, apa yang saya bayangkan sebelum memasuki dunia tersebut adalah hal-hal luar biasa. Kagum dengan lapangan basketnya, kantinnya, ruang kelasnya, hingga siswa dan mahasiswanya. Namun, ketika sudah resmi menjadi siswa dan mahasiswa. Ruang kelas terasa biasa saja. Kantin justru terasa sempit dan mahasiswanya ya gitu-gitu aja. Ada rasa kagum yang hilang setelah apa yang dianggap luar biasa awalnya menjadi sudah terbiasa pada akhirnya. Apakah perasaan ini juga kalian rasakan?

Ketika Tan Malaka berujar bahwa terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Saya juga merasakan bahwa dengan terbiasa, terbiasa, lalu biasa saja. Lalu apakah itu sebuah perasaan tak bersyukur? Bagi saya tidak. Perasaan terbiasa lalu menjadi biasa saja itu adalah manifestasi dari perasaan yang tak pernah puas untuk menjadi versi terbaik diri ini.

Perasaan biasa saja ini juga akhirnya merembet ke sesuatu yang saya suka: menulis. Perasaan tersebut semakin ke sini semakin saya rasakan. Dahulu ketika lulus SMA, saya bercita-cita ingin menghasilkan pundi-pundi uang dari hasil menulis yang saya lakukan. Saya berusaha mencari cara mulai dari nge-blog yang akhirnya tak ada hasil hingga mencoba menawarkan jasa copy writter yang ujungnya sama dengan nge-blog. Saya tak mendapatkaan pundi-pundi uang. Saya masih terus mencoba dan mencari cara serta juga diiringi dengan rasa antusias yang tinggi.

Di tahun 2017, saya akhirnya berhasil mewujudkan cita-cita kecil saya tersebut. Lewat IDN Times saya akhirnya berhasil mencapai target saya: Saya menulis dan dapat uang. Fase awal saya menulis di IDN Times tentunya penuh dengan semangat yang meluap. Saya tentunya pamer tulisan saya di Instastory dan semua kanal media sosial, “Ini lho, saya nulis di IDN Times.” Seiring waktu saya menulis di IDN Times, pundi-pundi uang telah saya kumpulkan serta jumlah total pembaca yang mencapai jutaan telah saya dapat. Akhirnya, saya merasakan apa yang Fiersa Besari katakan, saya akhirnya menjadi biasa saja dengan aktivitas menulis saya di IDN Times.

Sejauh ini tak ada lagi rasa ingin pamer, bangga berlebih, hingga rasa senang yang meledak-ledak. Semuanya terasa biasa saja. Mungkin memang benar, ketika apa yang dilakukan mencapai tahap terbiasa, perasaan luar biasa itu seiring waktu akan terkikis. Ketika teman-teman saya mengatakan kekagumannya melihat saya menulis di IDN Times, hati dan perasaan saya justru merasakan hal sebaliknya. Saya tak terlalu kagum dan justru, ya biasa aja.

Ketika saya mulai merasa biasa saja menulis artikel-artikel di IDN Times. Ada tantangan baru yang saya lakukan, menulis di media yang berbeda dengan bentuk tulisan yang agak berbeda. Ketika di IDN Times kebanyakan bentuk tulisan saya listicle, saya ingin membuat tulisan yang berbeda. Hingga akhirnya ada cita-cita baru saya, menulis di Mojok dan dibaca oleh pembaca Mojok.

Perasaan biasa saja ketika menulis di IDN Times seolah hilang ketika saya mencoba menembus tembok bernama Mojok. Mempunyai target baru dengan cita-cita baru membuat saya lebih bersemangat untuk menulis. Ada gairah baru yang menyelimuti saya ketika berusaha menulis dan dibaca pembaca Mojok. Sebenarnya saya gagal terus-terusan menembus Mojok, sampai pada suatu momen di mana Mojok akhirnya membuat jalan pintas bagi para penulis yang seperti saya ini. Mojok bikin UGC yang bernama Terminal Mojok. Dengan seleksi yang tak terlalu mengerikan dan agak longgar, Terminal Mojok menjadi target sasaran saya untuk menulis. Setidaknya masih ada embel-embel Mojok-nya, lah. Hehehe.

Saya menulis dan akhirnya terbit untuk pertama kalinya di Terminal Mojok. Tentu saya sangat senang. Hari itu juga saya bagikan tulisan saya ke semua media sosial. Ada teman yang senang dan memang hampir semuanya senang bahwa saya nulis di Mojok. Sesekali saya tetap mengirim tulisan untuk Mojok yang “utama.” Kegagalan yang sering saya dapat pada akhirnya membuat saya lebih sering menulis di Terminal Mojok karena lebih sering diterbitkan. Apalagi tiap 10 artikel dibayar, tentu saja saya jadi “lumayan” berapi-api menulis di Terminal.

Lagi-lagi setelah tulisan saya di Terminal Mojok hampir mencapai 40 tulisan. Perasaan itu akhirnya muncul kembali. Perasaan biasa saja karena sudah terbiasa. Semakin ke sini setelah saya menyaksikan tulisan saya diterbitkan di Terminal Mojok, yang saya rasakan hanya, “Oke, berhasil terbit, ya.”

Target saya menulis di Mojok dan dibaca pembaca Mojok sudah saya raih. Ketika menulis dan diterbitkan sudah menjadi hal yang rutin saya dapatkan. Entah itu menulis di IDN Times dan Terminal Mojok, perasaan biasa saja ini ternyata selalu menghampiri saya. Perasaan yang saya temukan ketika akhirnya saya sudah menjadi siswa SD hingga mahasiswa yang sudah terbiasa dengan rutinitas yang itu-itu saja.

Mungkin bagi banyak orang, determinasi memang harus terus dikobarkan. Namun, manusia kadang tidak bisa terus-terusan monoton. Hidup juga seperti itu. Saat Fiersa Besari mencuit  kalimat, “Seiring waktu, kita akan terbiasa untuk biasa saja.” Saya yakin sensasi terbiasa ini memang sesuatu yang lumrah didapati dalam semua segi kehidupan. Apalagi jika mereka berkecimpung dalam dunia yang menuntut kreatifitas yang berujung karya.

Terbiasa yang berujung biasa saja tentunya bukan perasaan tak bersyukur. Sepertinya perasaan ini memang perasaan manusia biasa yang mencari bentuk terbaik dirinya di tengah sebuah pencapaian luar biasa yang terkungkung dalam keterbiasaan. Tak ada yang hebat pada akhirnya.

Semua memang perlu jeda dan tarikan napas ketika sudah menjadi biasa saja. Mungkin apa yang direncanakan My Chemical Romance memang begitu. Serta apa yang ingin dilakukan Fiersa Besari tahun depan juga begitu. Hal-hal yang luar biasa pada akhirnya akan menjadi biasa dan untuk membuatnya menjadi luar biasa lagi. Diperlukan sesuatu yang baru dan tentunya dengan target yang baru pula.

BACA JUGA Puasa Media Sosial: Sarana Refleksi Diri atau tulisan M. Farid Hermawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version