Ada dua jenis UKM Mapala di dunia perkuliahan. Pertama, yang layak kamu ikuti karena bakal bikin kamu berkembang secara signifikan. Dan kedua, adalah yang nggak layak dapat secuil pun perhatian darimu karena organisasinya begitu toxic!
Buat yang mau bilang, “masuk Mapala dulu bre, baru komen,” saya kasih tau ya. Saya anggota Mapala sejak 8 tahun lalu. Sejak saat itu sampai sekarang pun, saya menuai begitu banyak manfaat. Soalnya UKM Mapala yang saya ikuti adalah yang jenis pertama.
Makanya wajar kalau saya jadi yang paling prihatin melihat ada teman-teman sehobi yang terjebak dalam Mapala yang toxic. Wajar pula saya jadi yang paling geram melihat Mapala jenis itu bikin citra Mapala tercoreng di mata publik.
Baru sebulan yang lalu kita lagi-lagi disajikan berita aksi kekerasan dalam pendidikan kelompok pecinta alam. Ini 2025 bro, kok elu masih terjebak dalam tradisi romusha jaman Jepang?
Senioritas ugal-ugalan adalah pangkal tradisi toxic di UKM Mapala
Dari pengamatan saya, senioritas yang di luar batas adalah pangkal tradisi toxic di UKM Mapala. Banyak orang yang gila hormat memanfaatkan ekosistem Mapala buat memuaskan ego pribadinya.
Ada aturan tidak tertulis yang isinya “Pasal 1: senior selalu benar”. Aturan ini seringkali jadi pijakan para senior Mapala toxic dalam “mendidik” adik-adiknya.
Entah dari mana dan sejak kapan aturan ini mulai dibunyikan. Yang jelas, aturan berjiwa militeristik ini mestinya nggak punya tempat sama sekali di kawasan akademik kampus. Kalau pinjam istilah Soe Hok Gie, pendiri Mapala pertama di Indonesia, aturan macam itu mestinya masuk aja ke keranjang sampah.
“Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau,” menurut Gie, bahkan guru aja nggak selalu benar. Apalagi senior yang cuma menang tahun lahir doang dari juniornya?
Saya nggak habis pikir. Jelas-jelas para Mapala yang toxic itu tidak berkiblat pada pemikiran tokoh pelopor Mapala. Jika masih hidup, Gie pasti akan melepeh pada aturan “senior selalu benar” itu. Maka yang jadi pertanyaan, kepada siapakah Mapala-Mapala toxic ini berkiblat?
Kiblatnya adalah copy-paste pendidikan tahun lalu
Sejauh cerita yang saya dapat, Mapala-Mapala toxic ini hanya berkiblat pada pendidikan tahun lalu yang mereka alami sendiri. Dalam kata lain, mereka pun tak tahu asal muasal sistem pendidikan mereka bagaimana.
Lalu saking sudah terdoktrin bahwa senior nggak pernah salah, mereka juga tidak mempertanyakan apakah yang mereka alami memang wajar. Sehingga mereka pede aja meneruskan lingkaran setan itu ke generasi selanjutnya.
Dulu ketika saya masih mahasiswa dan aktif di Mapala UI, saya pernah menjamu tamu dari Mapala lain. Maksud kedatangannya ke sekretariat kami adalah studi banding. Maka dia pun bertanya banyak hal pada saya mengenai Mapala UI.
Salah satu yang ia tanyakan adalah terkait sistem pendidikan di Mapala UI. Saya jelaskan bahwa kami menerapkan sistem mentorship. Mindset kami sebagai pengurus adalah kami sedang mencari calon teman jalan baru. Karena teman jalan kami yang lama sudah pada lulus kuliah dan mulai sibuk masing-masing dengan kehidupan paska kampus.
“Nggak ada jotos-jotosan, kak?” tanya tamu saya.
“Kita nggak begitu caranya di sini,”
“Ah, masa sih,” ujarnya dengan tatapan yang seakan-akan bilang, “Oke deh, gapapa kalau lu nggak mau ngaku,”
Ini orang beneran mau studi banding nggak, sih? Kok doktrin dari seniornya nggak ditinggal dulu di depan pintu?
Kekerasan berkedok latihan fisik dan mental, bentuk senioritas paling toxic di UKM Mapala
Ngomongin jotos-jotosan di Mapala yang toxic, pernahkah kamu mendengar pembelaan mereka atas aksi kekerasan itu? Kata mereka, itu adalah bentuk pembinaan fisik dan mental.
Padahal, kegiatan di alam macam apa yang butuh terbiasa sama tamparan sih? Coba tolong, wahai para pengurus Mapala yang biasa nonjokin junior, tolong kasih tau contoh konkretnya.
Soalnya nih, sepanjang saya bergiat di Mapala, nggak ada satupun kegiatan yang syaratnya adalah sudah terbiasa sama kekerasan fisik. Ataupun kekerasan verbal. Mau itu kegiatan di gunung, di dasar laut, sampai terbang di udara.
Nggak ada pula satu pun prestasi yang Mapala UI raih, dari zaman Soe Hok Gie hingga sekarang, adalah hasil didikan pakai tampar-tamparan. Jadi, apa sih yang mau kalian raih dengan menampar dan membentak calon teman jalan kalian?
Kalau mau latihan fisik, ya tinggal latihan sesuai menu aja. Layaknya atlet mempersiapkan diri untuk tampil prima dalam ajang olahraganya. Mau latihan mental, ya latihan mikir. Latihan adu gagasan dan saling tukar ilmu serta pengalaman. Layaknya mahasiswa.
Mental yang siap bergiat di alam adalah yang sudah dipenuhi dengan wawasan bergiat di alam. Bukan yang dipenuhi rasa dendam sama senior karena habis ditabokin. Bukan ya, dek ya.
Lucunya, UKM Mapala yang toxic nggak sadar dirinya toxic
Kombinasi senioritas ugal-ugalan, ilmu yang kudet dari tahun ke tahun, dan melukai fisik serta batin calon anggotanya bikin banyak Mapala jadi toxic. Jauh panggang dari api dengan makna kata “Mapala” itu sendiri.
Lucunya, mereka yang sudah terlanjur terjebak dalam ekosistem yang seperti itu tidak sadar bahwa organisasi mereka toxic. Mereka akan memberi label pada siapa pun yang mengkritik mereka sebagai “anak yang nggak pernah main ke luar komplek”. Atau buru-buru menyimpulkan “ini orang yang ditolak Mapala nih”. Makanya di awal saya kasih disclaimer bahwa saya ini anggota Mapala juga.
Saya harap sih, tulisan ini sampai di layar gawai para pengurus Mapala yang sebenarnya toxic tapi belum sadar diri itu. Agar pelan-pelan mulai mempertanyakan ulang makna dari tiap kegiatan terkait pendidikan anggota baru yang mereka terapkan.
Kalau ternyata maknanya nggak jelas, sah-sah aja lho kalau mau cari cara baru. Kenapa, susah? Nggak berani sama alumni? Halah, katanya anak Mapala pemberani.
Soalnya nih, kalau nggak mau berubah, siap-siap aja organisasi kalian bakal segera mati. Bayangin deh, anak-anak Gen Alpha yang kritis itu, emang bakal tertarik buat ikutan organisasi toxic kayak Mapala kalian?
Penulis: Karina Londy
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Dear Maba, Jangan Gabung UKM Mapala kalau Alasannya Cuma Pengin Naik Gunung Aja
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















