Saat pergi ke kantor, menggunakan jasa transportasi massal merupakan suatu rutinitas bagi saya. Mulai dari KRL yang keberangkatannya dari stasiun Bogor, sampai dengan stasiun Cawang. Setelahnya, saya terbiasa menggunakan transjakarta untuk menuju kantor di kawasan Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Namun, jika sudah kesiangan dan jalanan terlihat merah pekat menurut Google Maps, saya tidak akan ragu memesan ojol agar bisa sat-set, bat-bet—dan tidak telat tiba di kantor.
Ketika pesan ojol—khususnya di stasiun—pada dasarnya kita sebagai pelanggan harus memahami posisi driver sedang berada di mana, karena di beberapa titik sering ada polisi yang berjaga untuk menertibkan lalu lintas atau ojek pangkalan yang sering kali melarang ojol menjemput penumpang di kawasan mereka. Jadi, baiknya saling memahami saja soal titik penjemputan, agar sama-sama nyaman. Toh, pada dasarnya antara driver ojol dan penumpang saling membutuhkan satu sama lain.
Saya sendiri biasa menanyakan terlebih dulu ke driver ojol perihal titik penjemputan, agar saya yang menghampiri ke lokasi tersebut. Setelah bertemu dengan driver, saya membuka obrolan dengan menunjukan arah jalan ke kantor yang biasanya lebih nyaman dan lancar.
Pagi ini, ketika saya menggunakan jasa ojol dan sedang dalam perjalanan menuju kantor, Abang driver membuka suatu obrolan yang bagi saya terdengar seperti sambat. Saya sih selalu terbuka untuk segala obrolan—termasuk sambat dan misuh—apalagi driver tersebut kelihatannya sedang mangkel atas apa yang terjadi sebelum mengantar saya.
Diceritakan olehnya, dia merasa mangkel atas kelakuan penumpang yang memesan jasanya. Dalam aplikasi, titik penjemputan penumpang adalah di rumahnya yang berada di kawasan Jakarta Selatan. Pada poin itu tidak ada masalah sama sekali, di mana pun itu, toh sudah menjadi kewajiban para driver ojol menjemput calon penumpangnya di titik penjemputan sesuai aplikasi.
Kemudian, yang menjadi masalah adalah ketika driver ojol sudah sampai di depan rumahnya, namun ketika di-chat via aplikasi tidak ada respons sama sekali. Ditambah driver tersebut sedang tidak ada pulsa reguler untuk menghubungi via telepon. Sampai akhirnya sang driver memutuskan membeli pulsa terlebih dahulu. Momen tersebut semakin membuat mangkel, karena setelah coba ditelepon pun, penumpang tidak merespons. Padahal sudah ditunggu selama 30 menit! Abang ojol merasa serba salah, mau di-cancel nanti performa akan turun dan khawatir sulit mendapatkan orderan. Tapi, jikalau ditunggu, harus berapa lama lagi?!
Akhirnya, menurut Abang ojol, sekira pada menit ke-35 setelah lamanya menunggu, penumpang tersebut keluar dari rumahnya dan meminta maaf. Penumpang tersebut mengaku baru bersiap mandi ketika memesan ojol. Setelah mendengar alasannya, saya pun ikut-ikutan mangkel. Maksud saya, kenapa sih harus memesan ojol ketika belum siap? Masalahnya, keluhan seperti ini bukan hanya sekali dua kali saya dengar dari beberapa driver ojol.
Pada lain kesempatan, diceritakan pula ada penumpang yang bahkan masih di dalam kereta, tepatnya stasiun Pasar Minggu, tapi sudah memesan ojol dan titik penjemputannya di stasiun Cawang. Lha gimana, sebelum tiba di titik penjemputan, penumpang harus melewati dua stasiun lebih dulu. Kenapa harus pesan dari jauh? Padahal, di setiap stasiun hampir selalu banyak armada ojol. Jadi, nggak perlu khawatir susah dapat ojol.
Ada apa dan kenapa sih dengan para pelanggan yang seperti itu? Apa mereka tidak tahu, durasi menunggu itu bagi para driver ojol itu sangat berarti? Atau malah tidak mau tahu? Begini, dengan waktu 30 menit—atau bahkan lebih—ada hal lain yang bisa dilakukan oleh driver ojol dibanding hanya menunggu tanpa jawaban juga kepastian. Sebab, dari penuturan driver yang saya tumpangi, dia sih nggak masalah nunggu selama 30 menitan, terpenting diberi kabar lebih dulu. Bukan tidak ada kabar sama sekali. Malah, bisa jadi dengan waktu sekian menit, sang driver bisa menuntaskan satu orderan.
Biar pun ada pepatah bahwa rezeki nggak ke mana, tapi, sambat sekaligus misuh pun menjadi hak siapa saja, kan, apalagi jika memang ada kekecewaan yang disebabkan oleh kelalaian orang lain. Dalam hal ini, para pengguna ojol.
Saran saya bagi para pelanggan, pesan lah ojol ketika memang sudah siap. Jangan buat para driver menunggu terlalu lama. Kalaupun harus menunggu, beri kabar kepada para driver. Entah melalui chat atau telepon. Agar mereka bisa membuat estimasi dan tidak merasa diabaikan. Kalau sudah tahu menunggu itu membosankan dan tidak mengenakan, jangan buat orang lain merasakan hal tersebut, Mz, Mb.
BACA JUGA Hey Customer Ojol, Driver Grab dan Gojek Itu Bukan Babu! atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.