“Mas, asalnya dari mana?”
Pertanyaan daerah asal selalu menjadi tantangan bagi saya. Menjadi manusia yang dilahirkan dari dua latar belakang daerah yang berbeda membuat saya harus mengeluarkan jawaban yang sesuai dengan konteks dan lawan bicara. Kendal (Jawa Tengah) sebagai daerah asal dari Ibu dan Lembata (NTT) sebagai daerah asal dari Bapak saya.
Kendal menjadi daerah asal yang sering saya sebutkan ketika menjawab pertanyaan dari mana saya berasal. Konteksnya karena saya di Jakarta, menyebut Kendal dengan ditambahi dengan penegasan bahwa daerah itu berdampingan dengan Semarang membuat lawan bicara lebih mudah terpuaskan dan tidak menanyakan perihal hal-hal yang merepotkan. Misalnya bertanya apakah rumah saya dekat dengan Pulau Komodo atau tidak ketika saya memilih menjawab asal saya dari Lembata, NTT.
Tapi, lebih dari sekadar persoalan tentang daerah asal, Kendal sebagai kabupaten yang populasi penduduknya sekitar 1 jutaan ini memang tak pernah lepas dari bayang-bayang Kota Semarang.
Medioker, menjadi embel-embel yang pas untuk sebuah daerah yang berada di jalur pantura ini. Bahkan masuk dalam kawasan strategis nasional yang diatur oleh Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 dengan penyebutan Kedungsepur atau akronim dari Kendal-Demak-Ungaran-Semarang-Purwodadi pun tak membuat Kendal bergerak ke arah yang lebih futuristik selama 2 dekade terakhir. Tetep gitu-gitu aja.
Ibarat seorang anak SMA yang di kelas biasa-biasa saja. Tak pintar di pelajaran matematika, tak ambil pusing dengan pelajaran IPA, tak menonjol di pelajaran bahasa atau agama, tak superior di pelajaran olahraga, dan tak ikut organisasi atau ekstrakulikuler apa pun di sekolah. Hidup hanya ngikutin teman-temannya. Sehingga nilai rapotnya biasa aja, nggak ada yang spesial.
Itulah Kendal, tak ada terobosan kebijakan otonomi yang konkret dan terstruktur dengan baik. Ekonomi, sosial, pariwisata, hingga fasilitas publik. Semuanya hadir alakadarnya, alias medioker.
Pertumbuhan ekonomi kendal memang positif, tapi apa yang spesial dari itu? Bukankah wajar pertumbuhannya positif karena sebelumnya terkoreksi habis karena kondisi pandemi?
Kendal begitu bangga dengan hadirnya Kawasan Industri Kendal (KIK) yang katanya menjadi lumbung penyerap tenaga kerja. Diagungkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Pada akhirnya KIK memang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak empat ribuan orang. Tapi dari mana asal jumlah empat ribuan orang itu? Benarkah diserap dari para pribumi Kendal? Bahkan ditargetkan KIK ini bisa menyerap 12 ribu orang. Tapi seperti apa spesifikasi yang dibutuhkan para pabrik di KIK ini jadi informasi yang amat eksklusif. Faktanya masih ada 40 ribu orang yang masih terseok-seok dalam siklus pengangguran.
Kendal, seperti manusia yang gagap dengan tren juga ikut-ikutan menghadirkan super app untuk membantu warganya mencari kerja. Tapi, hadirnya super app itu yah hanya sekadar hadir saja tanpa atribut dan kesiapan yang matang untuk diakses dan dijangkau oleh warganya. Muspro.
Bagaimana dengan fasilitas publik? Dulu, Kendal punya salah satu pasar terbesar di Jawa Tengah yang terletak di Weleri. Sayang, pasar itu (di)terbakar pada 2020 silam. Sekarang? Para pedagangnya terlunta-lunta karena metode relokasi yang sangat tidak terencana dengan baik. Para pedagangnya terlantar di Terminal Bahurekso Kendal. Mereka diminta menyewa tempat itu, tapi hanya dibikinkan toko-toko yang sangat minimalis, alias medit.
Banyak pedagang akhirnya membangun sendiri tokonya yang semi permanen, namun mereka tetap harus dibebankan dengan biaya sewa. Parahnya ketika mereka sudah banyak mengeluarkan cuan untuk toko semi permanennya, lokasi itu ternyata hanya sementara karena akan direlokasi kembali ke tempat lain. Aneh betul.
Apakah rolekasi final untuk para pedagang Pasar Weleri jauh lebih baik? Sayangnya tidak, mereka bahkan akan direlokasi ke tempat yang bahkan lebih sempit daripada tempat relokasi sementara saat ini.
Bagaimana dengan transportasi publik?
Integrasi BRT yang ditarik dari Kota Semarang ujung-ujungnya menimbulkan masalah baru. Kehadiran BRT ini memang memberikan alternatif bagi warga Kendal dalam memanfaatkan transportasi yang terintegrasi hingga Kota Semarang, tapi yang terkena imbas negatifnya adalah para angkutan umum konvensional yang kemudian disepelekan oleh Pemkab Kendal. Jasa mereka sebagai alat transportasi publik selama ini tidak dibalas dengan ramah. Nasibnya jadi gak jelas karena penumpang telah beralih ke BRT yang tarifnya lebih murah.
Sudah seharusnya, kehadiran inovasi di bidang transportasi (dalam hal ini BRT) yang menggerus eksistensi transportasi konvensional agaknya jadi perhatian yang harus dicarikan solusinya. Rute dari BRT ini juga hanya terbatas di jalan pantura. Medioker bukan?
Nggak berhenti di situ, potensi alam yang bisa dioptimalkan sebagai ceruk destinasi wisata juga disulap dengan metode yang amat sangat medioker. Di Kendal, ketika ditanya tempat wisata yang ikonik, ada tiga destinasi yang sering disebut yaitu Pantai Sendang Asih, Pantai Kemangi, dan Curug Sewu. Ketiga destinasi itu tak memiliki keistimewaan yang patut dibanggakan.
Tidak ada kreatifitas konkret dari segi pengelolaannya. Pantai ya hanya sekadar pantai, curug hanya sebatas curug. Bahkan belakangan, Curug Sewu lebih sering digunakan sebagai lokasi dangdutan ketimbang oase untuk menyatu dengan alam. Sebenarnya ada beberapa objek wisata yang dikelola swasta seperti pantai cahaya, tapi rupanya sama aja.
Malu dengan Kabupaten Batang yang usianya lebih muda tapi sangat mengeksplorasi kekayaan alamnya dengan cermat sebagai objek wisata yang ikonik.
Semua itu kemudian diperparah dengan penataan Alun-alun Kota Kendal yang sangat amburadul apabila dibandingkan dengan tetangga daerah. Sangat tidak ramah terhadap para pejalan kaki dan sukar dinikmati ketika di akhir pekan.
Ayolah Kendal, jangan hanya sekadar meniru dan tergagap-gagap. Pak Bupati Kendal beberapa waktu lalu dalam acara Kendal Investment Talk mengatakan dengan bangga bahwa Kendal telah dikucur dana investasi sebesar USD2,55 miliar sejak 2016 yang berimbas pada penyerapan tenaga kerja mencapai 25 ribu orang.
Tapi kembali lagi, kenapa masih ada 40 ribuan pengangguran yang terlunta-lunta Pak?
Kenapa masih banyak orang kendal yang lebih ingin berkarier (mencari kerja) di daerah tetangga ketimbang Kendal? Kenapa masih banyak orang yang lebih memilih wisata di Batang, Semarang dan sekitarnya ketimbang di Kendal? Dan kenapa masih banyak orang yang kebingungan menjelaskan apa keistimewaan Kendal? Lebih penting, apa yang harus dibanggakan dari Kendal? Krupuk rambak?
Oh saya tahu, mungkin Kendal ini memang mau dijadikan Kota Sufi. Jadi maunya yang biasa-biasa saja di segala sektor. Nggak perlu ngoyo. Benar gitu ya? Repooot.
Penulis: Mohamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Alasan Orang Kendal Terpaksa Mengaku Asli Semarang di Perantauan.