Dear Kapster Salon, Kami Pengin Potong Rambut, Bukan Dengerin Komentar Julid

Dear Kapster Salon, Kami Butuh Potong Rambut, Bukan Komentar Julid

Dear Kapster Salon, Kami Butuh Potong Rambut, Bukan Komentar Julid (Unsplash.com)

Suka risih nggak sih kalo potong rambut ke salon tapi rambut kita malah dikomentarin sama kapster salon?

Potong rambut memang terdengar seperti sesuatu yang sederhana. Aktivitas ini berbeda dengan aktivitas lain yang butuh tenaga seperti membereskan kamar, menyapu, ataupun mengerjakan tugas. Namun, di balik keputusan seseorang untuk memotong rambutnya, ada pertempuran sengit yang terlebih dahulu harus dimenangkan. Pertempuran melawan keraguan.

Keraguan itu bisa datang dari rasa takut kalau-kalau hasil potong rambut kita nggak sesuai dengan harapan. Misalnya, seperti yang pernah saya alami. Memutuskan untuk potong rambut sepundak biar kaya Yeom Mi Jeong di serial My Liberation Notes, eh, ending-nya malah kaya Dora yang kehilangan poni. Auto keramas saban hari demi rambut cepet-cepet panjang.

Atau bisa juga keraguan tentang potong rambut ini hadir akibat pengalaman nggak menyenangkan yang kerap terjadi saat berada di salon. Iya, pengalaman dijulidin soal kondisi rambut oleh kapster salon. Jadi, tiap kali pengin potong rambut tuh rasanya ogah-ogahan. Males membayangkan bakal ketemu kapster salin yang suka komentar soal rambut pelanggannya.

Gini. Saya paham betul bahwa membangun komunikasi dengan pelanggan adalah hal wajib, terutama bagi pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa. Tujuannya supaya ada bonding antara pemilik usaha dan pelanggan.

Kalau di salon, biasanya upaya membangun komunikasi ini diawali dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Mau potong model apa, Mbak?”, “Sendirian aja?”, “Kerja di mana, Kak?”, dll. Oke, nggak masalah dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Toh, mereka bukan bertanya hal-hal menyangkut privasi kayak cicilan utang kita di bank, atau ada berapa mobil yang kita miliki di rumah. Kalau udah bertanya hal-hal aneh kayak gitu bolehlah kita ngamok.

Upaya menjalin komunikasi dengan pelanggan kerap kebablasan

Masalahnya, upaya menjalin jaring-jaring komunikasi dengan pelanggan ini kerap kebablasan. Alih-alih fokus dengan apa yang menjadi tugas mereka, yaitu memotong rambut kita, kebanyakan kapster malah mengomentari rambut pelanggannya.

“Rambutnya tipis, ya.”

“Wah, rambutnya kering ya, Kak.”

“Rambutnya sering diwarnain ya, Mbak?”

Hadehhh… Harus banget ya mengomentari kondisi rambut pelanggan? Memangnya gunting kalian bakal bengkok kalau nggak komentar? Apakah pelanggan kayak saya nggak bisa mendapatkan hari yang tenang nan damai di salon tanpa perasaan insecure ataupun terintimidasi dengan komentar soal rambut kami?

Iya, saya paham, apa yang dikatakan kapster salon mungkin memang kondisi rambut kami yang sebenarnya. Bahwa benar rambut kami tipis, kering, you named it lah. Kami sadar. Yakali nggak ngeh dengan kondisi rambut sendiri. Tapi, harus banget ya dosa-dosa rambut kami disebutkan satu per satu?

Maksud saya begini. Andai tujuannya untuk mencairkan suasana, percayalah, menyebutkan dosa-dosa rambut justru membuat pelanggan nggak nyaman. Seolah kami tuh elek bener di mata para kapster salon. Paham insecure? Itulah.

Mending ajak pelanggan ngobrol hal lain

Sebagai solusi, daripada mengumbar dosa-dosa rambut yang sebenarnya mungkin si empunya rambut sudah tahu, mending ajak ngobrol yang lain. Hal lucu di negeri ini kan banyak banget tuh, mungkin bisa dijadikan topik obrolan.

Kalau memang nggak ngeh dengan apa yang terjadi, ya jangan memaksakan diri mencari bahan obrolan. Diem aja udah paling bener. Nggak usah memaksakan diri untuk basa-basi yang ujung-ujungnya jadi basi beneran. Lakukan saja pekerjaan kalian sebagai kapster salon: senyum, salam, sapa, potong rambut, deh. Selesai.

Sejujurnya, saking seringnya ketemu kapster salon yang basa-basinya offside, saya sekarang lebih memilih potong rambut sendiri di rumah. Dan ternyata beberapa teman juga sudah melakukan hal ini sejak lama. Hm, mungkin salon memang untuk mereka yang rambutnya sempurna, bukan yang penuh cela seperti saya.

Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Tips Potong Rambut buat Kamu yang Nggak Paham Model.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version