Lagi-lagi Pandji Pragiwaksono menuai kontroversi. Kali ini dengan video cuplikan stand-up yang diunggah di channel YouTube-nya. Ia membahas tragedi ’98, menertawakan penjarah-penjarah yang saat itu membabat habis toko-toko milik orang Tionghoa. Ada penjarah yang menggondol AC tanpa kompresornya, ada pula penjarah yang cuma bisa menggondol biskuit. Kolom komentarnya ramai. Dan ini bukanlah perkara baru buat Pandji Pragiwaksono.
Humor Pandji Pragiwaksono yang cukup kontroversial sebelum ini adalah ketika ia membahas kucing. Di situ Pandji membahas hewan-hewan yang dibencinya, salah satunya kucing. Hewan yang kelakuannya tidak sehangat anjing, yang cuek saja ketika majikannya datang, menurut Pandji itu menyebalkan. Penonton tertawa? Tentu saja.
Itulah humor. Sesuatu yang ditujukan supaya membuat orang tertawa. Sesuatu yang membuat penikmatnya khilaf sejenak atas kelabunya hidup. Humor adalah perilaku manusia untuk mencapai keadaan seimbang agar hidup tak melulu muram. Suatu usaha manusia untuk mencapai keadaan yang homeostatis, demikian istilah Sigmund Freud, bapak psikonalisis.
Menurut Freud, humor berasal dari ketakutan dan nervous kita. Lalu, ketika Pandji membahas tragedi ’98, di situlah bit-nya tepat membahas ketakutan kita di masa silam.
Cuplikan Pandji itu jadi menohok tatkala bersentuhan dengan perasaan korban. Atau dalam hal ini, orang yang merasakan hari-hari nagas itu. Tepat di sinilah humor itu menjadi problematis. Ia menyinggung, menyentuh perasaan pendengarnya. Ia jadinya tak beda dengan tragedi.
Kenyataannya adalah, humor di negara kita memang mendapat posisi yang dilematis. Humor ala lenong yang dahulu digemari banyak orang, juga tidak kalah menyinggungnya.
“Woy, penonton!”
“Apeee???” sahut penonton
“Ada kail buat mancing ikan salem.”
“Chakep!” teriak penonton
“Woy, Mail, itu muka apa ban dalem!”
“Yieaaa!” lalu penonton bayaran mendapat uangnya.
Bedanya, joke slapstick semacam itu dimainkan dalam sebuah lakon. Lain dengan stand-up yang dimonologkan oleh satu orang. Lalu kontennya Pandji sendiri memang lebih sensitif dan menyangkut harkat hidup banyak orang.
Inilah dua masalah yang kerap muncul di dunia humor kita: ketersinggungan khalayak dan sensitivitas isu yang dibawa. Tidak semua orang dapat dengan mudah menanggapi humor sebagai “sebatas humor”.
Humor tidak selesai di panggung. Ia membekas di kepala penikmatnya. Ketika humor justru merekonstruksi masa lalu yang kelam, itu tidak bisa disebut humor lagi. Namun, kita pun dapat berdalih, “Udah tahu kontennya begitu ya nggak usah nonton. Gitu aja kok repot.” Ujaran macam itu pun tidak salah juga, sebab selera humor kan sesuatu yang bisa dipilah.
Lantas? Solusinya adalah bagaimana kita merespons humor di media sosial. Satu-satunya yang dapat kita kontrol di tengah banyaknya joke yang muncul di dunia maya adalah respons kita sendiri.
Toh Gus Dur, presiden kita yang menurut saya paling humoris, tidak semua leluconnya dapat diterima rakyat. Yah, kita kaum yang—katanya—open minded, mungkin bisa sih menerima dan bahkan langsung mendewakan lawakan Gus Dur sebagai lelucon-paling-agung-sejagat-politik. Tapi di masa itu, lawan politiknya ya tentu saja jengkel.
Sebuah joke dapat membuat kita tertawa. Sebuah joke dapat membuat kita mengernyitkan dahi. Mengomentarinya berbusa-busa adalah hal yang sia-sia. Sebab selalu ada orang yang berlainan pendapat dengan kita. Selalu akan terjadi debat kusir yang tak habis-habis kalau membahas siapa yang tersinggung dan siapa yang tidak. Kenyataannya: memang ada yang tersinggung, memang ada yang tidak tersinggung.
Ini seperti mengadu domba kerajaan versus kerajaan di zaman kolonial. Kedua sisi membela kelompoknya masing-masing. Lalu siapa yang untung? Tentu saja kompeni.
Lagi pula, kenapa penonton di acara TV yang joke-nya slapstick dan “kampungan” itu nggak pernah tersinggung? Karena ya mungkin mereka dibayar untuk menonton. Sedangkan orang-orang yang menonton video Pandji itu harus bayar untuk menonton. Paling tidak mereka membuang kuota untuk kemudian berdebat dan tersinggung.
Dan, begini, tentu saja kita tahu siapa yang paling mendapat untung dari semua polemik ini. Sudah pasti yang empunya video.
First time?
BACA JUGA Mengungkap Kepribadian Seseorang dari Caranya Mengambil Pakaian di Lemari dan tulisan Abiel Matthew Budiyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.