Berapa sih dana darurat ideal yang harus dimililki kelas menengah?
Situasi saat ini dan mungkin tahun 2025 mendatang menempatkan kelas menengah dalam kondisi yang berat dan dilematis. Terutama terkait perihal ekonomi. Banyak kebijakan yang memberatkan mulai dari kenaikan PPN yang sudah pasti berlaku hingga retribusi sosial seperti BPJS yang wacananya juga naik. Belum lagi kesempatan kerja yang makin menipis dan kompetitif, ancaman PHK, upah rendah yang porsinya tergerus habis untuk kebutuhan hidup. Tidak ketinggalan pertanyaan kapan nikah (bagi yang jomblo) akan terus berlanjut.
Semua itu membuat kelas menengah seperti saya harus menarik nafas panjang sambil bertanya-tanya, apakah saya hidup di zaman yang salah? Namun, dalam situasi ekonomi seperti ini, mempertanyakan keadaan sambil mengutuk pemerintah juga bukan solusi yang bijak. Itu malah bikin seseorang terjebak dalam depresi yang berkepanjangan.
Sebagai kelas menengah, sebaiknya kita fokus menyiapkan perencanaan yang matang dan terstruktur agar siap menghadapi absurdnya kebijakan pemerintah. Sebelumnya saya pernah menuliskan artikel di Terminal Mojok tentang apa saja yang perlu disiapkan oleh kelas menengah agar tetap bertahan. Nah, di dalam artikel tersebut, saya menyinggung dana darurat sebagai salah satu pos alokasi yang harus disiapkan oleh kelas menengah.
Daftar Isi
Apa sih dana darurat itu?
Dana darurat jadi anggaran hidup yang harus dialokasikan khusus untuk memitigasi situasi tak terduga yang dapat mengganggu kestabilan keuangan. Keberadaan dana darurat ini penting untuk memproteksi kondisi ekonomi. Dengan begitu, seseorang atau keluarga dapat tetap memenuhi kebutuhan dasar tanpa harus berhutang atau mengganggu investasi jangka panjang yang telah direncanakan.
Dana darurat ini digunakan dalam kondisi seperti ketika kehilangan pekerjaan, perbaikan alat-alat pendukung hidup misalnya motor, ponsel, atau sejenisnya yang tiba-tiba rusak. Dana darurat juga bisa digunakan untuk kebutuhan membantu orang tua, biaya pengobatan, dan dana-dana lainnya. Kehadiran dana darurat ini membuat seseorang terhindar dari aktivitas utang, baik dari kartu kredit atau pinjaman online (illegal pula) yang sering kali disertai bunga tinggi.
Kata Dave Ramsey, seorang pakar keuangan keluarga dari AS, “Jika asuransi melindungi seseorang dari kerugian besar, maka dana darurat melindungi seseorang dari hal-hal kecil yang tak terduga.” Oleh karena itu, dalam hierarki keuangan, dana darurat ini dana yang harus dialokasikan pertama, baru investasi atau asuransi.
Nah, sebelumnya saya disclaimer terlebih dulu, saya sendiri bukan ahli perencana keuangan, tapi saya punya beberapa tips keuangan yang diperoleh dari beberapa webinar perencanaan keuangan yang diselenggarakan tempat kerja saya sebelumnya. Sorry nih kalau dikira sok tahu, tapi saya juga nggak peduli sih, hehehe.
Mengukur rata-rata pengeluaran pribadi tiap bulan
Proses mencatat pengeluaran itu penting supaya kita mengetahui berapa nominal rata-rata pengeluaran setiap bulannya. Konteks pengeluaran ini pun harus dipahami sebagai pengeluaran pokok. Artinya, apabila pengeluaran itu nggak dipenuhi, seseorang akan mokat alias mati. Jadi jangan mencatat jalan-jalan, judi online, nongkrong ke kafe ke dalam pos pengeluaran primer ini ya. Memangnya kalau nggak ke kafe, situ mati?
Biar netral dan objektif, mari kita menggunakan standar pengeluaran bulanan rata-rata masyarakat Indonesia menurut BPS di angka Rp1,02 juta. Saya bulatkan menjadi Rp1,1 juta ya biar gampang menghitungnya. Ingat ini acuan pengeluaran rata-rata ya, bukan pengeluaran masyarakat di regional tertentu seperti Jakarta atau Surabaya. Nanti saya dihujat lagi. Sebelum komentar baca dengan sesama, woy!
Standar umum alokasi dana darurat
Umumnya para ahli perencana keuangan membagi jenis alokasi dana darurat berdasarkan dari status individunya, yaitu dana darurat yang statusnya jomblo dan dana darurat untuk yang berkeluarga. Keduanya berbeda nih. Untuk yang jomblo, alokasi dana daruratnya paling tidak sama dengan 3-6 bulan pengeluaran. Jadi kalau pengeluaran Rp1,1 juta, dana darurat yang disiapkan sekitar Rp3,3 juta–Rp6,6 juta. Pokoknya, endapkan dana minimal segitu di tabungan.
Kemudian untuk mereka yang sudah berkeluarga, mengingat tanggungannya lebih banyak, alokasi dana daruratnya paling tidak 6-12 kali dari pengeluaran. Kalau menggunakan pengeluaran rata-rata BPS, ya paling tidak, kepala keluarga punya dana darurat sekitar Rp6,6 juta hingga Rp13,2 juta. Pastikan ada dana darurat segitu untuk mengantisipasi berbagai pengeluaran-pengeluaran tak terduga untuk keluarga. Meski ya saya tahu, pengeluaran keluarga tentu nggak mungkin cuma Rp1 juta per bulan.
Semua perhitungan di atas memang harus disesuaikan dengan status pekerjaan, jumlah tanggungan, dan kondisi kesehatan pribadi. Aspek-aspek tersebut harus dimasukan jadi pertimbangan khusus dalam merancang dana darurat.
Tips membangun dana darurat
Setelah mengetahui porsi pengeluaran dan standar dari dana darurat, kita perlu strategi untuk menerapkannya. Dari pengalaman saya selama ini yang masih terus belajar konsisten menyiapkan dana darurat, langkah pertama yang penting adalah alokasikan segera dana darurat sekitar 15-20 persen dari pendapatan. Baru setelah itu alokasi lain dengan urutan mulai dari kebutuhan pokok bulanan, investasi dan asuransi, baru anggaran main atau nongkrong. Lho nongkrong atau main itu harus dialokasikan khusus? Ya harus bro, kalau nggak dialokasikan khusus, bisa-bisa jebol keuanganmu itu.
Langkah selanjutnya adalah pisahkan rekening dana darurat itu. Saya pribadi menggunakan rekening dari bank digital karena menemukan mesin ATM-nya pasti susah. Walaupun saya tidak menampik, transaksi cashless kadang sangat menggoda. Namun, percayalah, semua itu tetap memungkinkan kok kalau sudah niat.
Perlu memprioritaskan kebutuhan
Hal lain yang tidak kalah penting di masa seperti sekarang ini adalah meprioritaskan pengeluaran yang penting-penting aja. Ingat, PPN naik tahun depan. Selektif dalam berbelanja ini juga jadi bentuk sikap protes ke pemerintah yang seenaknya naikkan pajak ketika pendapatan kita sedang seret. Lho kok bisa gitu? Lha pertumbuhan ekonomi kita itu didorong sama konsumsi.
Memprioritaskan hal-hal penting bisa dimulai dengan kurang-kurangi ke mal atau belanja di supermarket, menahan diri nggak nongkrong di kafe-kafe mahal, jangan ganti HP atau tablet dulu hingga sabar nggak usah buru-buru beli motor baru. Tahan pokoknya, biar pemerintah mikir. Di sisi lain, kita bisa alihkan pengeluaran kita untuk sektor informal, pasar tradisional, pedagang rumahan, atau yang di pinggir-pinggir jalan.
Kurang lebih seperti itu gambaran tentang menyiapkan dana darurat, khususnya untuk menghadapi 2025 yang kemungkinan besar akan berat, Paling penting dari semua itu hanya satu, keseriusan untuk menerapkan dalam kehidupan pribadi. Percuma tahu dan paham tapi nggak mau melakukannya. Kalau begitu, ngapain anda baca artikel ini?!
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA PPN Tetap Naik, Kelas Menengah Harus Siap Jadi Sapi Perah (Lagi)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.