Memiliki mobil pribadi adalah kebutuhan bagi mereka yang bekerja jauh dari rumah, sulit dijangkau oleh transportasi publik, dan menghindari risiko dari terkena panas serta hujan secara langsung. Sejak pandemi datang, mereka yang terjangkau oleh transportasi publik dan memiliki uang pun merasa memerlukan mobil pribadi untuk mengurangi risiko tertular virus. Akan tetapi, bagaimana jika uangnya ternyata pas-pasan dan mobil baru tetap menjadi pilihan?
Mobil termurah di Indonesia menurut catatan Detik.com, Daihatsu Ayla 1.0 D. Ia bisa dibawa pulang dengan harga Rp103,3 juta. Tidak murah memang, tetapi brand lain menawarkan produk yang lebih mahal. Tidak bisa dibilang murah juga karena banyak sekali yang disunat dibandingkan tipe berikutnya, 1.0 D+ dengan selisih harga mencapai Rp12 juta. Jadi, apakah ia tetap worth it?
Pertama, penurunan harga Daihatsu Ayla 1.0 D tersebut bisa terjadi dengan mengorbankan power steering, mirip seperti Daihatsu Xenia 1.0 Mi dulu. Semasa sekolah, saya pernah menumpang mobil jemputan tersebut dan efeknya adalah perjalanan terasa odong-odong. Sang pengendara, Bang Somad, namanya, mengurangi kecepatan dibandingkan membawa mobil dengan power steering karena mengendalikan setir mobil menjadi lebih berat dan baginya ini lebih berisiko seiring meningkatnya kecepatan. Aduh, sudah pegal kaki dengan urusan tiga pedal, tangan pula dengan tuas gigi dan setir!
Kedua, power window, power door lock, dan pengaturan kaca spion elektrik juga absen total. Mobil modern tanpa satu pun jendela mendukung power window memang ada, misalnya Toyota C-Pod yang diulas oleh Om Mobi. Akan tetapi, jendela C-Pod mengandalkan sistem dorong-tarik langsung di kacanya yang membuat proses lebih cepat dan tidak sepegal sistem engkol di Daihatsu Ayla ini. Hal ini juga boleh dibilang sedikit memperlambat laju mobil yang berada di belakangnya ketika hendak membayar tarif tol dengan e-money. Belum lagi ketika Anda membuka kaca jendela karena dihampiri penjahat, sistem engkol tentu membuat Anda lebih lama bergerak dibandingkan dengan sistem power window yang hanya perlu menekan tombol. Paling tidak, power window itu perlu untuk barisan depan menurut saya.
Power door lock sebenarnya oke saja untuk absen, yang penting selama saya membuka atau menutup kunci pintu pengemudi secara manual maka itu juga berlaku untuk pintu yang lain. Meskipun demikian, adanya tombol khusus tentunya lebih memudahkan dan mencegah tuas yang kita mainkan itu rusak. Bagi saya, pengaturan kaca spion secara elektrik justru lebih penting khususnya jika berkendara seorang diri. Ketika kita perlu menyesuaikan kaca spion saat berkendara, tentu berbahaya jika melakukannya dengan membuka kaca dan menyesuaikan sendiri sambil mengemudi. Itu pun hanya bisa untuk spion sebelah kanan. Meminta bantuan co-driver untuk spion sebelah kiri? Tetap berbahaya.
Ketiga, air conditioner dan head unit pada Daihatsu Ayla 1.0 D tidak ada. Saya ingat sekali, versi tengah dari Datsun Go ketika pertama kali meluncur juga tidak disertai dengan head unit dan itu biasa saja. Ada pengemudi yang senang mendengarkan siaran radio dan alunan musik selama berkendara agar tidak terasa sepi dan membuatnya mengantuk. Ada juga yang merasa perlu suasana hening dan fokus ke perjalanan. Sering kali, keberadaan head unit juga tidak lebih dari sebagai sarana melihat jam. Bagaimana dengan penumpangnya? Banyak orang sekarang lebih tertarik langsung dengan ponselnya sendiri, menonton film, atau memutar playlist aplikasi lagu semacam Spotify.
Akan tetapi, minus AC tidak bisa saya bayangkan jika diajak berkendara di pusat kota Jakarta versi normal yang macet dan penuh polusi, apalagi jika di tengah hari yang panas. Sun visor memang ada di sisi pengemudi, tetapi tidak bisa mencegah leher yang gerah dan penuh keringat, kan? Ups lupa, tidak hanya AC yang tidak ada, bahkan air ventilator juga tidak ada! Selamat buka jendela sepanjang perjalanan.
Keempat, indikator putaran mesin analog maupun manual dan tripmeter pada Daihatsu Ayla 1.0 D juga absen. Okelah jika tripmeter absen, banyak pengemudi yang memiliki di mobilnya juga sering lupa melakukan reset. Akan tetapi, si tachometer itu begitu penting dalam memastikan putaran mesin tidak terlalu tinggi demi menjaga mesin tetap awet dan hemat bahan bakar. Sebagai gantinya, mobil ini memiliki suatu layar yang bisa menampilkan kecepatan maksimum yang diizinkan untuk dapat digunakan pada posisi gigi tertentu sebagaimana dijajal oleh Cintamobil.com.
Kelima, alarm mobil dan sensor parkir juga tidak ada. Di mobil-mobil yang lebih mahal, kedua fitur ini dapat membantu pengemudi untuk mencegah mobilnya kemalingan dan mundur ketika parkir berlebihan sampai menabrak sesuatu. Akan tetapi, di mobil yang lebih murah, sering kali sensitivitasnya berlebihan atau malah berkekurangan sehingga menjadi menyebalkan alih-alih berguna. Soal alarm, rasanya sudah pernah saya bahas di artikel Otomojok beberapa waktu lalu.
Keenam, soal tampilan, mobil ini juga tidak indah. Facelift yang diterima oleh varian 1200cc tidak diterima di sini, alias tampilannya masih sama dengan versi saat peluncuran. Imut dan kalem sih, tidak masalah bagi saya.
Spion dan door handle tidak senada dengan warna mobil jika Anda bukan membeli mobil berwarna hitam, itu pun doff alias tidak metalik. Ban masih mengandalkan ukuran R13 tanpa wheel cap. Sudah polosan, kurang gagah pula. Sisi plusnya ada, harga bannya tentu lebih murah karena berukuran lebih kecil dan cukup mudah ditemukan pula di pasaran, baik untuk brand Achilles, GT Radial, sampai Dunlop.
Ketujuh, jangan mengharapkan fitur kenyamanan dan keamanan ini ada. Rem ABS, airbag, wiper belakang, lampu rem belakang, lampu kabut, headrest di baris kedua, sampai seat back pocket semuanya absen. Selama menggunakan mobil, fitur di atas yang paling terasa mengganggu jika absen adalah wiper belakang, lampu rem belakang, lampu kabut, dan headrest di baris kedua.
Seat back pocket bisa ditambahkan dengan mudah dan cukup murah, yaitu ketika kita membeli sarung jok berbahan kulit sintetis. Datsun Go yang juga tidak memilikinya pun jadi bisa memilikinya sekaligus membuat kursi lebih empuk dengan sedikit busa tambahan.
Bagaimanapun, mobil ini tetap ada saja yang membelinya setiap tahun. Menurut data Wholesales, penjualan tertinggi terjadi pada 2015 sebanyak dua ratus unit, terendah di tahun 2020 sebanyak lima unit, dan semester pertama tahun ini tercatat sebanyak dua belas unit. Mengingat mobil ini tidak nyaman untuk dijadikan mobil penumpang dan kurang ideal diajak berbisnis, mungkin dipandang menarik sebagai sarana belajar mengemudi oleh pengelola tempat kursus?
Yang pasti, di YouTube saya menemukan bahwa seorang pengguna mengatakan mobil ini sangat digandrungi di kampungnya yang masih tergolong adem. Karena ini dan itunya tidak ada, mereka punya kebebasan untuk mengadakan apa yang diperlukan dan bebas menentukan brand-nya. Daripada sudah ada, dibongkar, dan diganti? Begitu pikirnya.
Saya agak berharap Daihatsu bisa melahirkan kembali Ceria reborn, mobil bermesin 850cc yang luar biasa itu, tentunya dengan pengubahan dari mesin karburator ke mesin injeksi. Bahkan, jika hanya digunakan di dalam kota, saya berpikir jika sebenarnya kita masih sanggup menggunakan mesin 660cc ala Kei car tanpa turbocharger.
Sayang, karena mobil seperti itu belum ada, kita cari mobil bekas saja, deh. Toyota Agya 1.0 G dengan transmisi otomatis bisa Anda peroleh di harga Rp90 jutaan untuk tahun produksi 2017, misalnya. Lebih tidak pegal berkendaranya, lebih nyaman pula kan bagi penumpang? Ya, jika Anda masih cinta dengan tiga pedal, varian dengan transmisi manual bisa diperoleh dengan harga sedikit lebih murah. Berhati-hatilah dan senantiasa periksa kelengkapan serta kondisi mobil bekas sebelum membeli.
Sumber Gambar: YouTube William Surjana
BACA JUGA Jangan Beli Mobil kalau Belum Memiliki 4 Hal Ini dan tulisan Christian Evan Chandra lainnya.