Meskipun Semarang merupakan salah satu kota yang cenderung damai dan jauh dari isu huru-hara, sejak akhir tahun lalu, Kota Lumpia ini digaduhkan dengan adanya musibah banjir yang cukup parah. Benar adanya bahwa banjir bukanlah sesuatu yang baru di ibu kota Jawa Tengah ini. Saking kerapnya bencana tersebut menghampiri, sampai-sampai ada langgam Jawa termasyhur berjudul “Jangkrik Genggong” yang menyematkan peristiwa rutin tersebut di Semarang.
Memiliki topografi yang unik, membuat tidak semua daerah di Semarang mengalami hal yang sama. Ketidakmerataan struktur tanah menjadikan beberapa area tertentu lebih sering mendapati debit air berlebih di tempat mereka dibandingkan daerah lainnya. Biasanya, masyarakat setempat menyebut kawasan itu dengan Semarang bawah yang mendekati pusat kota hingga sekitar pelabuhan Tanjung Mas. Namun, musibah banjir terakhir nyatanya juga terjadi di Kecamatan Tembalang yang juga dikenal sebagai salah satu daerah di Semarang atas.
Titik rawan pertama yang menjadi langganan banjir Semarang adalah sejumlah daerah yang terletak di Kecamatan Semarang Utara. Walau hujan tak lebat pun air mudah menggenang di kawasan tersebut. Wajar saja, karena terletak di dataran rendah, daerah Semarang Utara sudah lama diteror dengan permasalahan rob yang tak kunjung usai. Banjir rob, atau yang dikenal sebagai banjir pasang (tidal flood), adalah banjir yang biasa terjadi di tempat-tempat yang berdekatan dengan pantai.
Bisa dibilang, tidal flood ini sudah menjadi agenda tahunan di kota yang tersohor dengan Lawang Sewunya tersebut. Sering kali keberadaan banjir rob dikaitkan dengan tata kelola wilayah yang kurang baik. Namun di sisi lain, ada penelitian yang mengatakan bahwa banjir jenis tersebut dipengaruhi faktor alam yang sukar diprediksi, misalnya penurunan muka tanah serta kenaikan suhu akibat pemanasan global.
Sementara itu, lokasi terparah akibat banjir di awal tahun ini menerjang kawasan Perumahan Dinar Meteseh, Kecamatan Tembalang. Dilansir dari jatengnews.id, banjir bandang tersebut bahkan telah mencapai ketinggian 2,5 meter. Tak ayal, rumah penduduk terendam oleh air hingga hampir menutup atap rumah. Bahkan, satu orang dinyatakan meninggal dunia dalam kejadian tersebut lantaran terseret derasnya arus air dan tenggelam. Air bah tersebut timbul karena jebolnya tanggul sepanjang 20 meter di dekat perumahan.
Selain dua kecamatan tersebut, masih ada sederet lokasi lain yang menjadi titik rawan banjir Semarang. Misalnya saja di Kecamatan Tugu, Gayamsari, Genuk, Semarang Barat, Semarang Tengah, dan Semarang Timur. Diduga, banyaknya area yang tertutup banjir disebabkan tidak adanya daerah resapan yang mencukupi curah hujan yang cukup tinggi, terutama di musim hujan seperti saat ini. Di samping itu, tidak sedikit pula selokan yang tertutup trotoar demi alasan estetik. Akibatnya, air menggenang di jalan raya dan tidak bisa mengalir sepenuhnya ke selokan.
Sejatinya, problem banjir di Semarang merupakan permasalahan yang cukup kompleks untuk ditangani dan memerlukan waktu cukup panjang guna menuntaskan hingga ke akarnya. Saran pindah rumah pun bukan nasihat yang solutif karena hanya akan memindahkan masalah. Hal ini terbukti dari masifnya pemotongan bukit di lokasi Semarang atas guna dijadikan permukiman. Otomatis, area penghijauan semakin berkurang. Peluang ancaman tanah longsor makin tinggi karena tidak adanya akar tumbuhan yang menahan tanah.
Namun, tidak berarti usaha pencegahan tidak dapat dilakukan, lho. Sekecil apa pun langkah apabila dijalankan oleh banyak orang, akan memperkecil risiko banjir seperti yang sudah terjadi.
Hal pertama yang bisa dilakukan tentu saja adalah dengan memperbaiki sistem drainase untuk membebaskan suatu area dari genangan air. Drainase buatan tidak diwujudkan tanpa alasan. Oleh sebab itu, hendaknya ada larangan tertulis dan sanksi tegas bagi siapa pun yang nekat menutup selokan. Biasanya hal ini terjadi di muka bangunan yang dijadikan sebagai tempat usaha. Menggalakkan kembali kerja bakti di level RT juga perlu diterapkan, misalnya kegiatan membersihkan saluran pembuangan yang tersumbat.
Sementara itu, untuk menanggulangi banjir rob yang diakibatkan oleh abrasi yang intens, peran pemerintah setempat sangat diperlukan. Alih-alih mendukung pembangunan tiada henti di daerah Semarang bawah yang menyebabkan pembebanan bertambah sehingga permukaan tanah semakin turun, pencegahan abrasi lebih penting untuk dicermati. Penanaman pohon bakau atau hutan mangrove, pengisian pasir di pesisir pantai, pemeliharaan terumbu karang, pelarangan penambangan pasir berlebih, serta penyediaan pemecah ombak menjadi hal-hal yang patut dipertimbangkan pemerintah.
Di sisi lain, masyarakat sipil pun perlu menguasai beberapa tips untuk mencegah maupun menghadapi risiko banjir yang mungkin tidak akan hilang dalam hitungan belasan tahun. Menanam pepohonan di halaman rumah, menyediakan lubang biopori dan sumur resapan, atau menggunakan paving block ketimbang memplester jalanan di sekitar rumah merupakan sejumput kecil aktivitas yang bisa dilakukan secara bergotong royong bersama warga sekitar.
Sementara untuk level individual, pemahaman prosedur penyelamatan diri serta harta benda wajib disadari. Misalnya saja dengan menyediakan pelampung, perahu karet, dan tas siaga bencana di masing-masing rumah. Memiliki kemampuan berenang adalah nilai tambah bagi mereka yang akrab dengan banjir.
Selanjutnya, sebisa mungkin, masyarakat yang hidup berdampingan dengan banjir juga mempunyai asuransi mobil yang polisnya dilengkapi dengan proteksi banjir agar terhindar dari kerugian yang lebih besar. Mengupayakan stopkontak dengan posisi yang cukup tinggi juga perlu dipertimbangkan saat membangun rumah. Yah, walau kurang estetik, langkah ini sangat penting dilakukan supaya terhindar dari risiko tersengat listrik saat air mulai membanjiri pemukiman. Jangan lupa pula untuk senantiasa mencabut kabel barang-barang elektronik dari stopkontak ketika sudah tidak dipakai lagi.
Tidak ketinggalan, simpanlah pula harta dan dokumen berharga di lantai atas jika memungkinkan. Kalau ada anggaran berlebih, bisa pula menyewa safe deposit box di bank yang keamanannya lebih terjaga.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Banjir di Semarang: Begitu Sendu, Begitu Pilu.