Culture Shock Orang Jogja Saat Pertama Kali Merantau ke Kediri

Culture Shock Orang Jogja Saat Pertama Kali Merantau ke Kediri

Culture Shock Orang Jogja Saat Pertama Kali Merantau ke Kediri (Unsplash.com)

Meskipun sama-sama di Pulau Jawa, rupanya ada banyak perbedaan antara Kediri dan Jogja sehingga bikin orang Jogja kayak saya terheran-heran.

Agustus kemarin tepat empat tahun saya menjadi perantau di Kediri. Awalnya, saya cukup terkejut saat baru pertama kali datang ke Kediri. Kota ini jelas berbeda dengan kampung halaman saya di Bantul. Tapi kini saya sudah bisa beradaptasi dengan kehidupan di sini.

Buat jamaah mojokiyah yang berasal dari Jogja dan ingin merantau ke Kediri seperti saya, sebaiknya persiapkan diri kalian baik-baik. Supaya di tanah perantauan nanti kalian nggak perlu mengalami culture shock seperti yang saya alami. Berikut saya bagikan beberapa hal yang bikin kaget orang Jogja yang merantau ke Kediri.

Makanan di Kediri rata-rata pedas padahal orang Jogja terbiasa makan makanan manis

Culture shock pertama yang saya rasakan tentu saja soal makanan. Berbeda dengan waktu di Jogja dulu yang makanannya rata-rata manis, di Kediri justru makanannya pedas.

Saat pertama kali diajak seorang teman mencicipi nasi pecel, lidah saya rasanya seperti terpanggang api. Lidah saya yang terbiasa makan makanan bercita rasa manis agak kaget karena tiba-tiba merasakan pedasnya makanan khas Kediri.

Selain nasi pecel, ada juga nasi pecel tumpang. Sebenarnya makanan satu ini hanya nasi pecel yang ditambah sambal tumpang. Sudah ada sambal pecel, ditambah sambal tumpang pula. Apa nggak makin terbakar lidah saya?

Fyi, tumpang adalah sajian sambal yang terbuat dari tempe bosok dengan tambahan kuah. Biasanya disajikan bersama nasi pecel sebagai siraman. Jujur saja kalau dari segi rasa, saya lebih menyukai nasi pecel dengan sambal tumpang ini daripada nasi pecel versi original.

Sebenarnya makanan di Kediri nggak cuma nasi pecel. Ada juga sajian soto yang berbeda dengan sajian sotonya orang Jogja. Soto di sini berkuah kental dengan santan, sementara kalau soto di Jogja kan kuahnya encer. Teman saya sampai berkelakar kalau yang di Jogja itu namanya bukan soto, melainkan sop. “Soto kok kuah e encer?” kata teman saya.

Baca halaman selanjutnya: Meski sama-sama berbahasa Jawa, banyak istilah yang berbeda…

Meski sama-sama berbahasa Jawa, banyak istilah yang berbeda

Culture shock kedua yang saya rasakan sebagai orang Jogja yang merantau ke Kediri adalah bahasa. Saat pertama kali tiba, saya sering ngang ngong dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Meskipun sama-sama menggunakan bahasa Jawa, ada banyak istilah yang berbeda, lho. Fatalnya, banyak persamaan kata tapi ternyata memiliki makna yang berbeda.

Di Jogja, “mari” sering digunakan untuk menyebut sembuhnya seseorang dari penyakit. Sedangkan di Kediri, “mari” sering digunakan untuk kata ganti selesai atau habis melakukan sesuatu. Padahal orang Jogja menggunakan “rampung” untuk itu.

Saya pernah salah paham gara-gara hal ini. Teman saya bertanya, “Mari ngopo we?” Saya spontan mengernyitkan dahi. Batin saya, siapa yang sembuh dari penyakit? Usut punya usut, ternyata teman saya bertanya, “Habis ngapain kamu?” Oalah.

Ada lagi kata yang bikin saya bingung, yakni “niliki”. Di Jogja, kata tersebut memiliki arti menjenguk orang sakit atau biasanya untuk kegiatan mengecek sesuatu. Sementara di Kediri, jangan pernah menggunakan “niliki” untuk kata ganti menjenguk orang sakit. Bisa fatal akibatnya, Gaes, sumpah. Sebab, “niliki” di Kediri artinya mencicipi makanan. Jauh banget, ya?

Teman saya pernah kebingungan gara-gara saya mengajaknya untuk niliki teman kami yang sedang sakit. Mungkin dalam batin teman saya, cah iki temannya sakit masa malah mau dicicipi. Wqwqwq. Orang-orang Kediri sendiri menggunakan kata “nyambangi” untuk menjenguk orang sakit.

Kata lainnya yang bikin bingung orang Jogja kayak saya di Kediri adalah “nggawe”. Di Kediri, “nggawe” artinya menggunakan. Sementara di Jogja artinya membuat. Kan jauh banget bedanya, coy.

Saya pernah seperti kethek ketulup ketika ditanya seorang teman mau pakai baju apa. Soalnya di Kediri kalimatnya jadi begini, “Awakmu arep nggawe klambi opo?” Saya jawab dengan kaget. “Hah? Bikin baju lama, lho!”

Sebenarnya masih banyak culture shock saya soal bahasa, tapi nanti kebanyakan. Cukup tiga kata di atas aja sebagai contohnya.

Orang Kediri hobi memutar lagu dengan sound besar dan volume keras alias battle sound

Culture shock terakhir yang saya rasakan sebagai orang Jogja di Kediri adalah hobi orang Kediri memutar lagu dengan sound besar dan volume keras. Biasanya, sound ini digunakan dalam karnaval atau acara battle sound, semacam acara mengadu sound yang dilakukan di lapangan.

Setahu saya, hobi ini mulai marak di Kediri dan sekitarnya tahun 2018-2019. Awalnya, saya cukup heran dengan kegiatan ini. Kok bisa ya orang-orang dengan sukarela berkumpul di lapangan mendengarkan sound dengan suara yang memekakkan telinga.

Kalau kalian nggak percaya, coba aja cari di YouTube, Gaes. Ketik aja battle sound Kediri. Kalian mungkin akan terheran-heran kayak saya.

Lantaran jiwa kepo saya cukup tinggi, saya pernah mengajak teman untuk pergi melihat seperti apa sih battle sound Kediri ini. Dan benar saja, ketika sampai di lokasi, jantung saya langsung berdebar karena suara bass dari sound yang keras. Ternyata para sound hunter—julukan untuk pencari battle sound—banyak menyukai sound yang horeg. Kalau sound-nya belum horeg, nggak mantep kata mereka.

Begitulah culture shock yang saya rasakan sebagai orang Jogja yang merantau ke Kediri. Semoga orang Jogja yang mau merantau ke sini bisa mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya ya biar nggak mengalami gegar budaya kayak saya ini.

Penulis: Achmad Syafi’i
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Hal-hal yang Saya Rindukan dari Jogja dan Nggak Bisa Saya Jumpai Saat Merantau ke Kediri.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version