Saya baru pertama kali naik kapal jarak jauh. Sekalinya naik, langsung perjalanan panjang dari Lombok ke Surabaya. Kesan saya, wow, wow.
Meskipun sering bepergian ke luar kota, sejujurnya saya tidak pernah naik kapal laut. Kapal laut yang saya maksud di sini adalah kapal besar dengan rute jarak jauh. Seumur hidup ini, saya hanya pernah naik kapal dengan rute pendek dari Banyuwangi ke Bali, atau kapal feri dari Pulau Ternate ke Pulau Hiri.
Makanya, saat saya kehabisan tiket pesawat dari Lombok ke Surabaya, saya terpaksa menggunakan transportasi laut (kapal besar dengan rute panjang). Hal tersebut menjadi pengalaman pertama saya dan jadi pengalaman yang akan teringat. Ada banyak culture shock yang saya alami selama berada di dalam kapal dan terombang-ambing di permukaan laut selama 24 jam nonstop. Benar-benar perjalanan hidup yang perlu ditulis dan diabadikan
Proses berangkat kapal lama, sampai berjam-jam
Membeli tiket kapal ternyata tidak semudah membeli tiket bus atau pesawat. Saat membuka situs Pelni dan DLU, tidak ada kapal yang bersandar di Pelabuhan Lombok pada Senin. Beruntung, saya punya banyak teman di Mataram, merekalah yang kemudian mencarikan saya kapal dan dapat satu tiket di Kapal Batu Layar kelas ekonomi. Hanya ada satu kelas ekonomi saja, kelas lainnya ludes.
Rencananya, kapal Batu Layar bersandar pada pukul 6 sore, berangkat pukul 8 malam. Sejak pukul 7 malam, saya sudah naik kapal dan saya nggak pernah menduga kalau kapal yang saya naiki justru baru berangkat pukul 1.30 dini hari. Artinya, kapal ini delay selama lima jam tiga puluh menit. Lion Air yang terkenal lelet masih kalah leletnya. Hadeeeh.
Penumpang ribut dengan oknum Brimob
Hal lain yang membuat saya cukup shock adalah keributan. Di Surabaya, sehari-harinya saya banyak bertemu dengan orang misuh. Saya pun terbiasa bepergian ke Indonesia bagian timur yang identik dengan logatnya yang keras itu. Seharusnya saya sudah tidak kaget dengan suara keras dan teriakan di dalam kapal perjalanan Lombok-Surabaya. Namun, saat tiba di dalam kapal dan berada di area penumpang, ada banyak teriakan dan keributan yang membuat saya cukup shock. Suasananya benar-benar kacau, semua orang baku ribut, cekcok rebutan kursi penumpang, padahal di tiketnya sudah ada nomor kursinya.
Lantaran saya orangnya mudah penasaran, meskipun agak nderedeg, saya tetap mendekati area keributan. Ternyata, ada penumpang yang terusir dari ruangan sebelah oleh oknum Brimob.
Jadi begini ceritanya, kapal kami memiliki beberapa ruangan dari A, B, C, dan seterusnya. Nah, ruangan B ternyata dibooking Brimob. Masalahnya, ada penumpang (warga sipil) yang memiliki tiket di ruangan B tersebut, tapi oleh pihak kapal diminta pindah ke ruangan A. Apesnya, di ruangan A semua tempat sudah terisi penuh, nggak ada tempat kosong. Akhirnya, baku ributlah penumpang tiket B dengan pihak kapal oknum Brimob. Sumpah ya, di dalam ruangan ini sudah seperti area diskusi gangster. Perkara ini berakhir saat Brimob meminta mereka tidur bersama di ruangan B. Hmmm.
Sebenarnya saya sudah sering kok naik transportasi lain di kelas ekonomi. Semasa kuliah, saya sering naik kereta ekonomi dari Surabaya ke Jakarta, kadang juga naik bus. Namun, naik kapal kelas ekonomi memang baru pertama kalinya dan saya merasa suasana kapal kelas kelas ekonomi lebih barbar ketimbang naik kelas ekonomi dengan mode transportasi lainnya.
Baca halaman selanjutnya