Johan Cruyff, tak bisa dimungkiri lagi adalah salah satu pemain dan pelatih terbaik yang pernah ada di dunia ini. Celaka bagi generasi muda yang tak sempat melihat kiprahnya baik ketika masih bermain dan melatih Barcelona. Beliau memberi banyak peninggalan yang membentuk sepak bola modern. Tak berlebihan jika kita berandai-andai Johan Cruyff bereinkarnasi dan menghiasi jagad sepak bola modern ini.
Tapi, kita tak perlu menunggu, sebab pemikiran brilian Cruyff dimiliki juga oleh Coach Justin.
Saya sedang bersungguh-sungguh. Coach Justin adalah Johan Cruyff versi Indonesia layak betul diteladani lantaran kata-kata yang santun, amat bijak di media sosial, pun pemikiran yang brilian. Memang nggak aneh jika blio digandrungi anak-anak jaman sekarang.
Menyematkan gelar pandit paling cerdas di muka bumi kepada Coach Justin itu tak berlebihan. Halah palingan diserang sama kardus-kardusnya. Mereka cuma modal pintar saja. Tips dan trik menyelami kepintaran dari omongan dan pemikiran Coach Justin adalah menjadi bodoh. Itu.
Kita nggak dapat apa-apa jika memakai nalar. Mana ada orang yang kepikiran, tendangan sudut yang disundul pemain lantas gol, nggak bisa disebut assist. Sekali lagi, kita buang nalar, kita buang segala kecerdasan, dan pahami dengan baik-baik. Itu. Bukan. Assist. Paham, Dus?
Logika adalah hal yang tidak sepatutnya digunakan saat menelaah petuah Coach Justin. Contohnya ya ketika blio membedakan assist dan umpan. Padahal assist itu adalah umpan yang berbuah gol. Tapi, seperti yang saya sebutkan di awal, jangan sekali pun pakai logika jika ingin menikmati pemikiran blio. Silogisme paling purba saja bakal bertekuk lutut di hadapan blio yang terhormat.
Agaknya pembahasan assist dan umpan memang harus disudahi. Selain nggak penting, harusnya FIFA mengubah aturan dan ketetapannya. Lho mosok FIFA nggak gentar? Yang ngomong Justin lho ini. Manusia paling wahid dalam ilmu sepak bola. Ah, baiklah, saya sadar, FIFA ternyata kardus juga. Blok!
Blok adalah metode paling yahud dan syahdu. Ketika pemikiran kita dibenturkan oleh pemikiran yang lain, Justin memilih jalan terjal seperti ngatain lawan debatnya sebagai berikut: kardus, muka mirip bengkoang, hingga “liat pertandingannya 90 menit, nggak?”
Sikap beliau sungguh mencerminkan pandit yang bijak dan layak digemari anak-anak yang baru tumbuh rambut. Saya nggak bercanda, butuh keberanian untuk menghina orang lain. Sebab musababnya jelas, yang dikatain “mirip bengkoang” itu anak orang, bukan anak kelabang.
Di suatu cuitan, Justin bilang begini, “Gw perhatiin lu sering banget kasi pertanyaan yg tolol”. Mak tratap sekali rasanya. Apa lagi yang bertanya itu fans-nya sendiri yang blas nggak ada maksud menghina argumennya. Inilah yang saya sebutkan tadi mengapa Justin begitu cerdas. Paling cerdas setata surya atau bahkan Planet Namek, yang notabene udah beda universe sama kita.
Masalahnya begini lho, mereka—yang dihina ini—punya orang tua, keturunan, sistem, dan ritus doa tersendiri yang melekat dari leluhur-leluhurnya. Keren bukan si Justin ini? Tapi, sorry to say ya, hal-hal seperti ini kayaknya nggak ada di diri Johan Cruyff, deh. Cruyff adalah sosok yang berani, tapi nggak segitunya.
Justin juga amat cerdas, salah satunya dalam perkara mengakhiri diskusi. Bukan, bukan mengakhiri diskusi dengan kemenangan argumen, namun jalan terjalnya—lagi-lagi—memanfaatkan fitur blok. Sungguh brilian, fitur blok selain sebagai pengaman, jebul juga bisa berguna untuk memutus pendapat orang lain. Padahal si YouTuber, eh, Coach ini pernah berkata di kanal YouTube-nya, “Boleh setuju atau nggak.”
Bukti kecerdasan lainnya, selain ngata-ngatain dan memberangus argumen orang lain dengan blokir adalah blio haus akan penghargaan. Contoh kasusnya hadir dari akun resmi Bali United yang intinya mengatakan, klub ini main bola ya main bola, bukan sebutan “pelatih” yang nggak melatih. Gegerlah dunia per-kuch-an duniawi.
Dengan lantangnya, Justin membalas, intinya meminta diviralkan lantaran sebuah klub besar nggak menghargai blio sebagai mantan pelatih timnas futsal Indonesia. Lagi-lagi, kecerdasan blio berjalan dengan eloknya. Ia meminta dihargai sebagai mantan pelatih futsal (iya, futsal), tetapi ngatain orang lain dengan sebutan “tolol”.
Hanya orang cerdas yang bisa melampaui batasan logika ini. Hanya Coach Justin yang bisa melakukan ini. tapi saya jadi paham satu hal, jebul blio ini merasa dirinya penting, ya? Tapi, memang benar, sih. Dirinya itu penting. Apa lagi sebagai YouTuber taktik kelas atas yang membagikan informasi yang kelewat berguna.
Harusnya akun-akun yang mencela blio, seperti @txtdaricoachy hingga akun official Bali United lekas merenung atas kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat terhadap Justin. Blio ini mantan pelatih timnas futsal, lho, jangan main-main. Pun blio ini pandit idola anak-anak. Mereka yang tiap nongkrong dan ngomongin bola, bakalan teriak, “tolol lu!” ketika ada pendapat yang berseberangan.
Mari kita berikan pujian—atau cacian, terserah mana yang kalian suka— kepada pandit cerdas dengan segala hardikan dan hinaannya kepada mereka yang memberi opini. Mungkin ini adalah gimmick beliau. Bagaimana lagi, begitulah cara terbaik meraih massa. Subscriber dan follower adalah contoh dari usahanya.
BACA JUGA Indonesian Idol Harusnya Ubah Nama Jadi Indonesian Pop dan tulisan Gusti Aditya lainnya.