Puluhan tahun lalu, Soe Hok Gie menulis puisi berjudul “Mandalawangi Pangrango”. Padang edelweis bernama Lembah Mandalawangi di Gunung Pangrango itu memang istimewa baginya. Keistimewaan itu dia curahkan dalam bait-bait puisi yang salah satunya berbunyi “Aku cinta padamu Pangrango yang dingin dan sepi”.
Bertahun-tahun telah lewat sejak puisi itu digubah, Pangrango pun telah banyak berubah. Makanya saya, sebagai junior sekampusnya Gie, ingin memperbarui bait tersebut menjadi seperti ini: Aku cinta padamu Pangrango, tapi aku benci kondisimu saat ini!
Dulu Gie mungkin bisa betul-betul mendapat ketenangan dengan menyepi ke Pangrango. Tapi kini, cukup absurd untuk menganggap bahwa Gunung Pangrango serta saudaranya, Gunung Gede, sebagai sumber ketenangan yang ultimate. Pendaki jaman sekarang perlu persiapan mental yang ekstra untuk menghadapi Gede Pangrango. Dan saya bukan bicara tentang mental untuk menerjang medan pendakian yang terjal ataupun jalur yang ekstrem. Bukan itu.
Lepas Lebaran tahun ini, TNGGP akan membuka kembali akses pendakian setelah ditutup sementara mulai dari 25 Desember lalu. Nah, jika kamu ada niat untuk jadi salah satu pendaki pertama yang ke Gede Pangrango dalam tahun ini, maka kamu mesti siap mental untuk menghadapi kondisi yang seperti ini.
Daftar Isi
Ujian kesabaran dalam perjalanan ke kaki gunung
Ini dia masalah pertama yang akan kamu temui: macet menuju ke kaki gunung. Jalanan dari Jakarta ke Puncak, Bogor pada musim liburan selalu padat total. Apalagi libur Lebaran nanti. Rombongan keluarga Jabodetabek yang nggak mudik kemungkinan besar akan (lagi-lagi) memilih berpelesir ke Puncak, Bogor, atau sekitarnya.
Sementara dari Jakarta menuju ke dua jalur pendakian resmi Gunung Gede Pangrango, yaitu Cibodas dan Gunung Putri, ya mesti lewat Jalan Raya Puncak-Cianjur itu. Belum lagi kalau menghitung macet di Jalan Raya Bogor atau tol Jagorawi. Fix sih, udah capek duluan.
Macet di jalur pendakian Gunung Pangrango
Sesampainya di kaki gunung setelah bermacet-macetan, kamu pasti berharap akhirnya tiba di tempat yang jauh dari keramaian. Kamu pikir, akhirnya sudah makin dekat dengan suasana dingin dan sepi itu. Kenyataannya, dingin sih iya. Tapi sepi? Belum tentu.
Di sekitar basecamp Cibodas terdapat banyak atraksi alam bagi non-pendaki. Seperti kebun raya dan berbagai spot kemping ceria yang seringkali ramai pengunjung. Di satu sisi, kamu bersyukur masih banyak keluarga yang menghargai waktu di alam. Jadi daripada misuh melihat orang lain menikmati liburannya, bagaimana kalau kamu skip Cibodas dan naik lewat Gunung Putri aja?
Mungkin begitu pikirmu. Tapi kamu akan menyadari ternyata naik lewat Gunung Putri pun bukan ide yang terlalu bagus ketika kamu menemui kemacetan di jalurnya. Ya, di jalur pendakian gunung bisa macet dan terbentuk antrean juga. Gara-gara saking ramainya orang yang mencari sepi.
Sudah sampai tempat berkemah tetap nggak boleh lengah
Mau gimana lagi, kamu sudah kadung ada di tengah jalur. Kamu meneruskan langkah (secara pelan, karena antrean di depanmu panjang) ke Alun-Alun Suryakencana untuk berkemah.
Jika Pangrango punya Mandalawangi, maka Gede punya Suryakencana. Keduanya sama-sama menjadi tempat berkemah favorit pendaki. Ketika menyiapkan kemah dan bergerak di sekitaran kemah, saya cuma mau berpesan satu hal. Perhatikan dimana kakimu akan melangkah karena bisa saja kamu menginjak tinja pendaki lain.
Memang semua orang se-Jabodetabek kalau pengen nyoba naik gunung ya ke Gede Pangrango. Jadi tentunya banyak orang dengan bekal ilmu pendakian mendekati nol yang menyambangi tempat ini. Padahal menimbun tinja sendiri tuh nggak mesti jadi jenius lho, cukup jadi beradab aja. Dan kenapa sih ada aja orang yang nongkrongnya kurang masuk ke semak-semak?!?
Asli deh, semua pendaki mesti dites dulu perihal “how to take a dump in the jungle”. Kalau lulus, baru boleh naik gunung.
Terlalu banyak sampah di Gunung Pangrango
Ngomongin eek, saya pernah membaca pengalaman mendaki Gunung Pangrango dari seseorang yang cepirit di jalur hingga mengotori celananya. Dia pun ganti celana kemudian mengubur celananya yang kotor. Lah, dikira tanah bisa nelen celana polyester kali?
Celana kotor ya dibersihkan dong, bukan ditinggal di gunung biar jadi sampah purba di masa depan. Dan pengalaman ini dibukukan lho. Kok dia bangga sih, daripada malu? Bukan malu cepirit ya, itu sih manusiawi. Malu ninggalin sampah segede itu maksudnya.
Soalnya istilah sampah purba ini benar adanya. Dalam salah satu aksi bersih-bersih Gede Pangrango, ada relawan yang pernah menemukan sampah botol plastik dari tahun 1992. Pemberitaan menyebutnya “sampah purba”. Pada aksi bersih-bersih Gede Pangrango tahun 2050 nanti, mungkin akan ditemukan celana “plastik” itu bersama sekian ton sampah lainnya. Kita lihat saja nanti.
Kompleksitas benci tapi rindu
Tapi dibanding semua hal di atas, yang paling saya benci adalah satu fakta ini. Bahwa terlepas dari bencinya saya sama kondisi menyedihkan Gede Pangrango, kamu akan tetap menemukan saya di sana pada April nanti.
Habis mau gimana lagi? Saya sudah terlanjur mewarisi romantisme Gie terhadap Gede Pangrango. Saya juga terlanjur pernah merasakan Gede Pangrango ketika sedang sepi pengunjung. Pada celah-celah keramaian itu saya jadi menyadari, ternyata Gie masih benar. Pangrango, dalam dingin dan sepinya, memang begitu memikat, begitu membuat rindu.
Jadi, sampai bertemu di Gede Pangrango. Mendakilah dengan bijak dan jangan jadi tantangan mental tambahan bagi pendaki lainnya ya!
Penulis: Karina Londy
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sejarah Gunung Gede Pangrango dan Makhluk Gaib Pengganggu Pendaki