Kenapa Cilacap identik dengan ngapak? Padahal Cilacap punya lumayan banyak penutur bahasa Sunda, lho.
Apa yang terbesit dalam benakmu saat mendengar kata Cilacap? Wilayah yang hanya diekspos media saat ada eksekusi mati penjahat kelas kakap? Salah satu supplier perantau di kawasan Jabodetabek yang semakin hari semakin pengap? Atau jangan-jangan kamu hanya mengenal Cilacap sebagai kampung halaman Desy JKT48 yang selalu cantik meskipun nggak pakai makeup?
Sebagai seorang yang lahir, dibesarkan, dan punya keinginan mati di Cilacap, sebenarnya saya nggak mau mempermasalahkan semua itu. Tapi ada satu hal yang membuat saya cukup jengkel saat berkenalan dengan orang baru, yaitu saat ditanya dari mana saya berasal. Bukan karena malu mengakui tanah kelahiran tercinta, tapi jujur saja saya sudah cukup jengkel dengan pertanyaan, “Ngapak, ya?” yang hampir selalu muncul setelah saya menjawab, “Saya dari Cilacap.”
Apakah saya membenci bahasa ngapak yang sering mengundang orang-orang tersenyum tertahan saat mendengarnya itu? Tentu saja tidak! Aja nuduh kaya kue lah, lik!
Mungkin saya memang lebay, jengkel kepada orang-orang yang langsung mengaitkan Cilacap dan bahasa ngapak. Toh pada kenyataannya memang nggak banyak yang tahu (atau nggak mau tahu?) bahwa Cilacap masih punya banyak identitas lain.
Cilacap adalah kabupaten dengan luas wilayah terbesar di Jawa Tengah. Cilacap pernah jadi pintu darurat bagi orang-orang Belanda untuk kabur ke Australia saat Jepang menyerbu dari utara. Dan Cilacap juga punya penduduk yang menjadi penutur bahasa Sunda.
Ya, kamu nggak salah baca. Meskipun awalan Ci di kata Cilacap nggak merujuk kepada kata “cai” atau air dalam bahasa Sunda, Cilacap punya lumayan banyak penduduk yang menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu, lho. Para penutur bahasa Sunda ini tersebar di beberapa kecamatan di sisi barat wilayah Kabupaten Cilacap yang berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat.
Daftar Isi
Cilacap dan bahasa Sunda yang unik
Banyak yang bilang adanya penutur bahasa Sunda di Kabupaten Cilacap yang notabene masih termasuk Provinsi Jawa Tengah adalah sebuah keunikan. Padahal nyatanya, keunikan bahasa Sunda di Cilacap lebih dari itu. Bahasa Sunda yang digunakan oleh masyarakat Cilacap punya beberapa perbedaan antara wilayah satu dengan wilayah yang lain. Dalam penyebutan orang pertama tunggal, misalnya.
Di wilayah Kecamatan Dayeuhluhur dan Wanareja, penyebutan “aku” umumnya menggunakan kata “abi”. Sedangkan di wilayah Kecamatan Majenang, penyebutan “aku” menggunakan kata “uing”. Di wilayah Kecamatan Cimanggu dan Karangpucung, penutur Sunda biasa menyebut “aku” menggunakan kata “urang”, “aing”, atau “kaula”.
Bukan hanya dari segi kosa kata, dari segi logat dan intonasi pun masing-masing daerah punya ciri khas tersendiri. Wilayah yang berada di dataran rendah seperti Kecamatan Cimanggu dan sebagian Karangpucung punya logat yang sedikit lebih ngegas dalam berbicara. Sedangkan wilayah yang berada di daerah yang relatif tinggi seperti Dayeuhluhur atau Wanareja yang di masa lalu juga lebih dekat dengan pusat Kadipaten Dayeuhluhur punya logat dan intonasi yang relatif lebih halus.
Perjuangan minoritas berbaur dalam komunitas
Sebenarnya saya bukan penutur bahasa Sunda tulen, bukan juga penutur ngapak yang kaffah. Dalam pergaulan sehari-hari, saya biasa berinteraksi dengan lingkungan sekitar menggunakan bahasa Indonesia gado-gado. Saya baru banyak berinteraksi menggunakan bahasa Sunda saat duduk di bangku SMP. Bermula dari mengenal teman-teman yang sudah full berbahasa Sunda sejak dari buaian ibunya.
Awalnya saya biasa saja memandang teman-teman yang menggunakan bahasa Sunda dalam keseharian itu. Nggak pernah terbersit perasaan kasihan atau apa pun saat mendengar mereka ngobrol menggunakan bahasa Sunda di sela-sela mengerjakan PR Bahasa Jawa. Tapi, perasaan biasa saja itu perlahan berubah saat saya duduk di bangku Madrasah Aliyah.
Saya kembali bertemu dengan teman-teman yang menggunakan bahasa Sunda dalam keseharian. Bedanya, kali ini saya mulai merasa kasihan kepada teman-teman yang berbahasa Sunda itu.
Berbeda dengan teman masa SMP yang masih sedikit mengerti pelajaran Bahasa Jawa karena memang sudah mendapatkan pelajaran ini sejak jenjang pendidikan sebelumnya, teman yang saya temui di MA itu mengaku belum pernah mendapat pelajaran Bahasa Jawa. Padahal mereka lahir dan besar di Cilacap juga, lho! Rasa kasihan itu semakin tumbuh saat saya melihat dia sering menangis ketika bertemu soal-soal yang menampilkan aksara Jawa.
Munculnya pertanyaan, “Ngapak, ya?”
Akan tetapi rasa kasihan itu kemudian berubah menjadi rasa sebel dan geregetan saat saya mulai kuliah di Jogja. Ya, saya sebel dan geregetan kepada teman-teman penutur bahasa Sunda asal Cilacap yang ada di organisasi mahasiswa daerah (ormada).
Kebanyakan dari mereka hanya melakukan salah satu dari dua hal saat ada kumpul organisasi yang selalu menggunakan bahasa ngapak sebagai pengantar itu. Kalau nggak diam saja karena nggak bisa menyahuti menggunakan bahasa ngapak, ya sok-sokan ikut memakai bahasa ngapak dengan dialek yang kagok dan mengganggu telinga.
Tentu saja saya nggak berhak menggugat upaya mereka yang sedang mempelajari dan membiasakan diri dengan bahasa mayoritas. Tapi, ayolah sadari wahai putra-putri Cilacap, baik yang hafal lagu “Bangga Mbangun Desa” ataupun tidak! Upaya semacam itu adalah cikal bakal munculnya pertanyaan “ngapak ya?” yang hampir selalu ditanyakan kepada setiap orang yang mengaku berasal dari Cilacap.
Bahasa Sunda di Cilacap juga berhak lestari
Sudah bukan rahasia lagi jika urusan pelestarian bahasa daerah memang menjadi PR bersama bagi banyak daerah di Indonesia. Untuk konteks pelestarian bahasa di Cilacap, PR bersama ini seharusnya bukan hanya soal mengajak sebanyak mungkin generasi mudanya untuk tak malu berbahasa ngapak, tapi juga mengajak sebanyak mungkin generasi mudanya untuk tidak memaksakan penggunaan bahasa ngapak ke semua orang yang mengaku berasal dari Cilacap.
Terhitung sejak tahun 2022, Bahasa Sunda sebenarnya sudah mulai masuk menjadi salah satu muatan lokal yang boleh diajarkan kepada siswa di beberapa wilayah di Kabupaten Cilacap. Tapi sayangnya, kebijakan ini baru diterapkan di beberapa sekolah yang ada di Kacamatan Dayeuhluhur dan Wanareja. Siswa-siswa yang juga sebenarnya menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu di wilayah lain seperti Kecamatan Majenang, Cimanggu, dan Karangpucung masih mendapatkan Bahasa Jawa sebagai muatan lokal yang diajarkan di sekolah.
Tentunya tak adil jika menyerahkan tugas pelestarian bahasa ini hanya kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang sudah cukup repot mengurus permasalahan zonasi dalam PPDB. Masyarakat umum, baik yang merupakan warga Cilacap ataupun bukan, juga punya peranan yang cukup penting untuk urusan yang satu ini.
Upaya pelestariannya pun sebenarnya bisa dimulai dengan cara sederhana. Misalnya dengan berhenti memaksakan gerakan “Ora Ngapak Ora Kepanak” ke semua pihak di dalam organisasi yang membawa embel-embel nama Cilacap. Dan untuk seluruh rakyat Indonesia yang bukan warga Cilacap, mulailah dengan berhenti menanyakan “ngapak ya?” ke semua orang yang memperkenalkan diri berasal dari Cilacap.
Bagaimanapun ngapak hanya salah satu, bukan satu-satunya identitas yang dimiliki Cilacap. Sama seperti Nusakambangan, mendoan, atau brekecek pathak jahan.
Penulis: Diniar Nur Fadilah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Ketika Cilacap Berkembang Pesat, Brebes Masih Konsisten Menyedihkan.