Lulus STAN, IPK tinggi, masuk kantor pusat adalah impian banyak orang. Looks like livin in a dream, right? Kayaknya nyaman dan karir lancar jaya. Namun, ada orang yang memilih hal lain.
Peringkat 1 angkatan saya dapat privilege di kantor pusat. Setahun di kantor pusat sudah bisa bikin buku yang dipakai resmi sebagai panduan di DJP. Tapi ia tidak lama di kantor pusat. Setelah menikah, dia memutuskan mutasi ikut suami ke luar jawa. Meninggalkan privilege Jakarta dan kantor pusat dengan beragam impian.
Setelah dia pindah ke luar jawa, tak lama menyusul si suami dimutasi juga. Mereka satu kantor wilayah tetapi beda provinsi. Ini namanya pilihan hidup. Tapi ada satu privilige yang dia nikmati di sana: hidup bersatu bersama keluarga.
Saya kenal dengan mereka, akrab, pernah sua di bandara saat mereka kudu ke Jakarta. Mereka bahagia bersama putri kecilnya. Di luar jawa tetap serius bekerja dan fokus mengasuh anak. Sekian lama di luar jawa dan menjalani long distance marriage (LDM), akhirnya dua-duanya mutasi bersamaan, langsung homebase.
Bisa jadi kantor pusat adalah privilege, IPK terbaik pun privilege, tapi privilege dan prioritas orang beda-beda. Dan barangkali bersatu bersama keluarga tercinta juga privilige dan prioritas yang lebih diutamakan.
Cerita lain muncul dari salah satu teman yang juga punya IPK tinggi, ditempatkan di homebase. Tentu itu privilege, tidak semua orang bisa langsung ditempatkan ke homebase setelah lulus. Baginya tujuan sudah tercapai. Ia tidak mengejar apa-apa lagi, tidak mengejar karir, tidak mengejar jabatan, tidak ngoyo di pendidikan. Di homebase saja.
Maka ia memilih memanfaatkan privilege yang tak semua orang bisa—memilih untuk tidak melanjutkan kuliah, ditawari promosi dengan halus menolak dan menyilakan orang lain yang lebih ingin dan butuh. Ia bilang “kalau semua orang mau jadi bos, lalu siapa yang bisa laden?”
Karir, pendidikan, pangkat, jabatan adalah leverage yang bisa mendatangkan banyak privilege bagi seseorang. Banyak orang yang berjuang berdarah-darah untuk mendapatkannya. Namun, ada juga yang memilih: ketentraman, urip tenang. Pangkat boleh rendah tetapi hati ayem setiap waktu.
Satu kawan saya resign, salah satu yang resign paling awal. Bagi kami itu mengagetkan sekali. Secara dia sudah punya peringkat tinggi, dan ditempatkan di KPP bergengsi. Dengan ikhlas, tulus, dia mengundurkan diri dari PNS demi membersamai suaminya di ujung barat Indonesia. Suaminya penempatan di sana.
Mereka punya anak yang lucu-lucu. Saya pernah bersua saat ke Aceh. Mereka datang jauh-jauh tiga jam perjalanan. Saya lihat tak ada sesal apa pun di wajah mereka. Hidupnya seperti bahagia sekali dengan si istri fokus membesarkan anak-anak. Kini suami sudah di homebase setelah hampir 9 tahun di ujung barat Indonesia. Si istri tentu ikut juga.
memutuskan untuk resign dan memilih untuk membersamai suami demi bersatu bersama keluarga adalah pilihan yang mereka ambil. Memang salah satu harus mengalah, tetapi ada privilege lain yang barangkali tidak didapatkan orang lain. Privilige bersatu bersama keluarga.
Lalu ada juga kawan lain yang resign. Terkenal sangat pintar, dia sudah bekerja di kantor pusat. Dia resign untuk ikut suami ke luar negeri. Dua tahun lalu menghubungi kalau ia sedang thesis master. Sekarang dia malah sudah menyelesaikan gelar 2 master. Ada peluh juga pengorbanan di situ.
Banyak sekali orang-orang yang meninggalkan privilege, begitu kata orang. Padahal mereka sudah memilih dan bertanggungjawab dengan konsekuensinya. Kita orang kadang memandang sebelah mata.
Padahal, orang lain bisa jadi meninggalkan satu privilige untuk mendapatkan privilige lain yang sebelumnya tidak bisa mereka dapatkan. Dan kadang kita cukup sempit melihat satu privilege semata.
Di kantor saya contohnya banyak yang menganggap, di kantor pusat, di homebase, di KPP bergengsi, jadi ajudan, dekat bos adalah privilege utama. Ya memang benar. Tapi jangan menutup diri dengan kemungkinan privilege lain.
Dekat dengan kekuasaan tapi bertemu seminggu sekali dengan keluarga, atau di kota kecil jauh dari mana-mana tapi bersama keluarga tercinta. Anda pilih mana? Semuanya ada privilegenya.
Pulang kerja, kuyu, rambut kusut masai. privilege saya cuma tinggal di Australia. Semua-pun berkat istri. Padahal, di Jakarta privilige saya banyak sekali. Kerja ngerjain medsos, ga usah ke kantor nggak apa-apa, berbusana semaunya bebas-bebas aja. Di sini? Kerja bagai xuda. ?
Di Australia ini saya bersua dengan para suami yang rela meninggalkan jabatannya, beberapa sudah tinggi, demi membersamai istri dan anaknya yang pendidikan di sini (ada yang S2 ada yang S3). Saya ada kenal 5 PNS, ada yang sudah gol 4, ada yang sudah es 4, ditinggalin.
Ada yang gelarnya S2 dan punya jabatan bagus di Jakarta tapi tetap mereka tinggalkan. Padahal di Australia sehari-hari di rumah, asuh anaknya sementara istrinya disuruhnya fokus kuliah. Kalau istrinya libur, baru deh dia gantian kerja. Balancing life. Priviligenya apa? Anaknya ngerasain hidup di LN!
Saya tahu banyak laki-laki yang barangkali enggan atau gengsi atau apalah. Tetapi ada juga lelaki yang punya tekad lebih. Ada yang mau istrinya lebih maju, ada yang support istrinya terus. Di sini saya bersua banyak banget. Suami-suami dengan rasa tanggung jawab tinggi.
Saya sendiri tidak banyak privilige. Bisanya ya kerja keras. Back 2009, saya lulus dari STAN dengan IP Cum laud, dapat privilege penempatan tempat dekat pacar, ternyata privilege itu salah. Setelah asmara kandas, saya jadi ga punya privilege apa-apa lagi, apalagi ini di kota kecil. Yaudah kerja keras bisanya.
Pernah jadi Account Representative (AR) termuda di Jawa. Jadi AR saya tiga tahun dapat tiga besar di kantor. Kinerja good cuma ya slengean ini gayanya. Pindah KKP besar tinggal tunggu waktu. Tapi saya tinggalin privilegenya saya turun jadi pelaksana di @kring_pajak. Pikiran saya waktu itu ngapain jadi AR gaji gede tapi ongkos ketemu istri bakbuk.
Akhirnya saya pilih kerja di call centre. Saya setup medsos lalu pindah megang medsos instansi. Sudah diundang twitter Indonesia sebagai pembicara, tapi saya tinggalin lagi itu semua buat nemenin istri kuliah di Melbourne. Istri saya, itu privilege dia. dan saya hola-holo. Bisanya cuma kerja keras.
Kawan main basket saya (cowo) dulu penempatan di kota kecil di Jawa Barat. Kata dia kerjaannya mudah dan banyak waktu luang. Waktu luang jadi privilege dia. Bikin aplikasi, kerjaan beres. Kanwil notice kalau kerjaannya bagus, akhirnya dipindah ke KPP besar. Berprestasi pindah PK, kemarin pindah PK kantor pusat. Kota kecil justru jadi berkah. Berkarya lebih, jadinya tangga karir juga bisa ditapaki. Kunci seperti itu hanya satu, persisten.
Ada satu lagi privilege, waktu. Cerita soal waktu ini datang dari sahabat kuliah saya (cowo). Penempatan Sulawesi, istrinya di jawa, bolak-balik tiap bulan selama 9 tahun. Waktu LDM digunakan untuk menyiapkan rumah di homebase. Ketika yang lain mutasi-mutasi regional ke kota lebih besar, dia tidak.
Waktu ya disiapkan sebaik-baiknya. Dia punya waktu tunggu, kenal pejabat pun tidak. 9 tahun menunggu, bham! Mutasi homebase langsung ga ngurus apapun, ga PDKT sana-sini, semata karena waktu. Sekarang? pindah tinggal pindah bawa diri, aset udah ada, kerjaan lancar, idup ayem.
Sebagai penutup, saya orang menengah, generalis, ga ada banyak privilege, gakenal pejabat, ga ganteng, hola-holo. Namun, saya kadang beruntung ada kesempata ajaib yang ga datang dua kali. Itu yang saya manfaatkan. Hidup itu banyak yang bercabang dan jalan tiap orang beda-beda.
BACA JUGA Nasihat Untuk Fresh Graduate dari Driver GrabCar yang Sebenarnya Bos Besar atau tulisan Farchan lainnya. Follow Twitter Farchan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.