Cerita Saya Berhasil Lolos Beasiswa S2 Pemerintah Turki setelah Gagal 3 Kali Berturut-turut

Cerita Saya Berhasil Lolos Beasiswa S2 Pemerintah Turki setelah Gagal 3 Kali Berturut-turut

Cerita Saya Berhasil Lolos Beasiswa S2 Pemerintah Turki setelah Gagal 3 Kali Berturut-turut (unsplash.com)

Hari Selasa, 6 Agustus 2024 lalu, saya akhirnya mendapatkan jawaban atas doa-doa yang selama ini saya panjatkan. Menjelang tengah malam, saya mendapatkan notifikasi bahwa saya lolos dan terpilih menjadi awardee beasiswa S2 pemerintah Turki, Turkiye Burslari.

Beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Turki kepada calon mahasiswa jenjang sarjana, magister, dan doktoral ini membuat saya harap-harap cemas selama total hampir setengah tahun. Gimana nggak, pendaftaran yang ditutup pada bulan Februari baru akan diumumkan hasil akhirnya pada Agustus.

Sebelum mendapatkan kabar bahagia tersebut, jujur saja saya pernah gagal mendapatkan beasiswa. Kecewa dan sedih itu pasti. Tapi saya nggak berhenti berikhtiar sambil berharap.

Saya memang bukan awardee yang paling unggul dalam kompetisi memperebutkan beasiswa Turkiye Burslari ini. Tapi izinkan saya untuk menceritakan secuil kisah yang pernah saya lalui sebelum akhirnya bisa menapaki salah satu anak tangga menuju perjalanan saya selanjutnya.

Pertama kali mendaftar beasiswa

Lanjut kuliah ke jenjang S2 sudah menjadi mimpi saya sejak masih SMA. Sayangnya idealisme itu hampir saja gugur ketika saya dihadapkan pada realitas dunia kerja di Indonesia. Saya yang berniat langsung lanjut S2 begitu selesai S1 terpaksa harus menunda impian tersebut.

Klise tapi nyata, saya takut apabila gelar S2 nantinya membuat saya kesulitan cari kerja dengan dalih overqualified yang sering diceritakan orang-orang. Akhirnya saya pun bekerja purnawaktu di sebuah perusahaan swasta, sambil diam-diam merumuskan rencana untuk mulai daftar beasiswa.

Berkat nasihat dan saran dari seorang dosen, saya pun akhirnya memberanikan diri untuk resign demi mengejar beasiswa. Konsekuensinya, saya menganggur dan diselimuti ketidakpastian karena belum tentu saya lolos beasiswa dalam sekali coba. Sambil belajar materi tes IELTS, membuat draf esai, hingga meminta surat rekomendasi dari dosen, saya pun berburu beasiswa.

Beasiswa pertama yang saya daftar adalah beasiswa S2 dari pemerintah Turki ini. Masa pendaftarannya yang berbarengan dengan tugas saya sebagai KPPS pada pemilu lalu membuat saya sejujurnya agak kurang maksimal mempersiapkannya. Apalagi ini pengalaman perdana saya dalam mendaftar beasiswa. Saya sadar betul bahwa CV beasiswa saya masih amburadul dan esainya belepotan. Tapi saat itu saya berharap banget bisa lolos beasiswa ini.

Sebagai bagian dari agenda hunting beasiswa, saya kadang menghadiri education fair di Jogja. Saat itu saya menyambangi booth penyedia informasi beasiswa. Saya ingat sekali pada waktu itu agent di booth tersebut berkata, “Cari beasiswa itu bukan kita mencari mana yang kita mau, tapi mana penyedia beasiswa yang mau sama kita.”

Dari situ saya sadar, saya nggak bisa berharap pada satu beasiswa saja.

Gagal dapat beasiswa hingga tiga kali berturut-turut

Saya akhirnya berprinsip bahwa saya harus “tebar jala” untuk memperbesar peluang saya memperoleh beasiswa di tahun ini. Saya juga nggak ada negara tujuan yang secara spesifik menjadi target.

Setelah beasiswa dari pemerintah Turki, saya lantas mendaftar empat beasiswa lain, di antaranya: dua beasiswa dari pemerintah Romania (MFA dan ARICE), dua beasiswa dari pemerintah India (ICCR), serta short course Australia Awards. Saya mendapatkan undangan wawancara Turkiye Burslari, tapi gagal di tiga seleksi beasiswa, sementara MFA belum ada pengumuman sampai saya menulis artikel ini.

Saya merasa wawancara beasiswa Turkiye Burslari yang saya hadiri bulan Juni berlangsung lancar. Saat itu saya bisa menjawab semua pertanyaan dari pewawancaranya dengan (yang saya yakini) lugas, padat, dan lengkap. Tapi, saya sempat kalut karena gagal tiga beasiswa berturut-turut. Kartu saya yang tersisa tinggal Turkiye Burslari dan MFA, itu pun nggak ada jaminan saya bisa lolos.

Selain itu, mengingat posisi saya nggak punya pekerjaan tetap karena hanya mengandalkan freelance yang nggak jelas kapan ada kerjaan, saya makin overthinking. Waktu terus berjalan dan saya nggak bisa berdiam diri dengan semua kemungkinan terburuk yang berkelibatan di kepala.

Rasanya nggak enak banget menjadi manusia yang nggak punya rutinitas berangkat kerja pagi dan pulang sore sebagaimana ekspektasi tetangga. Situasi semacam ini semakin berat ketika almamater saya dibawa-bawa. Pekerjaan saya yang kerja seminggu, libur tiga minggu semakin membuat kentara status “pengangguran yang menunggu pengumuman beasiswa S2” ini. Di satu sisi saya tetap berbaik sangka sambil terus berdoa, tapi di sisi lain saya pengin melambaikan tangan ke kamera.

Akhirnya lolos beasiswa S2 pemerintah Turki

Sambil menunggu pengumuman Turkiye Burslari dan MFA, saya sudah menyiapkan back up plan seandainya saya belum beruntung di tahun ini. Rencana B, mulai dari daftar beasiswa lain, ikut AuPair ke Eropa, hingga kembali ke pasar tenaga kerja, sudah saya catat di ingatan. Bahkan saya pun sudah menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan agar bisa langsung mengeksekusi back up plan begitu dapat kabar bahwa saya nggak lolos.

Akan tetapi, kekuatan doa membawa saya ke hasil yang saya harapkan. Penantian selama setengah tahun akhirnya berakhir setelah saya mendapatkan kabar bahwa saya terpilih menjadi awardee beasiswa Turki Turkiye Burslari di tahun 2024 ini. Setelah itu, tinggal tantangan lain, seperti mengurus dokumen, mempersiapkan keberangkatan, dan menjalani studi di Turki, yang menanti saya.

Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kuliah dengan Beasiswa Tetap Butuh Biaya Besar, Nggak Bisa Nol Rupiah.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version