Banyak cara orang tua untuk mengajarkan moralitas kepada buah hati mereka. Salah satu jalan yang kerap ditempuh adalah dengan membacakan cerita. Tak hanya berupa fabel, cerita rakyat yang termasuk dalam kategori legenda pun kerap kali dituturkan secara turun temurun.
Sayangnya, di balik tujuan mulia tersebut, ada sederet cerita rakyat yang mungkin perlu kehati-hatian tingkat tinggi dalam penyampaiannya. Bahkan, mungkin sebaiknya tidak diperdengarkan kepada anak kecil yang masih polos dan belum dapat memproses secara sempurna makna dari kisah yang dibawakan.
#1 Timun Mas
Kisah Timun Mas merupakan salah satu cerita rakyat Nusantara paling populer yang berasal dari tanah Jawa. Cerita ini mengisahkan tentang seorang janda tua yang kesepian serta menginginkan anak guna menemani sisa hidupnya.
Saking kuatnya keinginan tersebut, wanita paruh baya itu menemui sesosok raksasa yang dipercaya mampu mengabulkan keinginannya. Si Raksasa menyanggupi permintaan wanita itu dengan satu syarat, yakni menyerahkan anaknya yang diberi nama Timun Mas ketika sudah dewasa guna dijadikan santapan. Diburu nafsu duniawi, wanita paruh baya itu mengiyakan tanpa berpikir panjang.
Dari penggalan tersebut saja, cerita Timun Mas ini sudah terhitung cukup sadis untuk dituturkan kepada anak kecil. Belum lagi, cerita rakyat satu ini juga seakan membenarkan begitu saja seseorang untuk mengingkari janjinya sebagaimana wanita tersebut yang berupaya menyelamatkan Timun Mas agar tidak dimakan raksasa. Sekilas ibu Timun Mas seperti pahlawan yang menyelamatkan anak kesayangannya. Namun sesungguhnya, tindakan yang dilakukan olehnya tersebut tidak lebih dari usaha untuk menghindari pelunasan janji yang diucapkannya sendiri dengan sadar.
#2 Malin Kundang
Siapa yang belum pernah mendengar cerita Malin Kundang? Hampir setiap orang tua mengisahkan cerita yang berasal dari Sumatra Barat ini.
Alkisah ada seorang anak lelaki bernama Malin Kundang yang memutuskan untuk merantau ke negeri seberang demi mengentaskan kemiskinan yang ia alami bersama ibunya sepanjang hidup. Beruntung, Malin Kundang sukses menjadi seseorang yang kaya raya dan telah menikahi seorang perempuan yang ditemuinya di tanah rantau.
Sebenarnya cerita rakyat ini mungkin bermaksud baik, yaitu mengajari anak untuk tidak bersikap durhaka kepada ibunya. Tidak seperti Malin Kundang yang menyangkal ibunya lantaran malu. Sayangnya, di dalam kisah ini, ibu Malin Kundang tidak segan-segan mengucapkan sumpah serapah yang akhirnya mengutuk anak kandungnya sendiri menjadi batu. Jika tidak berhati-hati, anak dapat menganggap bahwa menyumpahi orang yang membuat sakit hati merupakan hal yang wajar.
Daripada ditujukan kepada anak-anak, tampaknya cerita rakyat ini lebih tepat sebagai pengingat orang tua agar tidak dengan mudah mengucapkan sesuatu yang dapat mencelakai anaknya. Bukankan katanya ucapan adalah doa?
#3 Sangkuriang
Meski tak banyak orang tahu, Sangkuriang nyatanya merupakan cerita bagi orang dewasa. Hanya karena embel-embel cerita rakyat, tak lantas membuat kisah dari Jawa Barat ini patut dikenalkan kepada anak-anak. Sebab, Sangkuriang memuat cerita percintaan terlarang antara ibu dan anak kandungnya. Begitu terpesona dengan kecantikan Dayang Sumbi yang senyatanya adalah ibunya, Sangkuriang berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi sejumlah persyaratan yang diajukan wanita tersebut terhadapnya.
Dayang Sumbi pun berusaha menggagalkan upaya Sangkuriang. Sangkuriang yang merasa gagal, akhirnya marah dan menjebol tanggul yang dikerjakannya dengan bantuan makhluk gaib. Akibat kemarahannya yang tak terbendung, bencana banjir besar menenggelamkan desa di sekitarnya. Duh, pokoknya dark banget cerita yang satu ini!
#4 Bawang Merah dan Bawang Putih
Bawang Merah dan Bawang Putih mungkin merupakan versi lokal dari dongeng populer Cinderella. Cerita rakyat dari Riau ini sebenarnya mengangkat pesan moral yang baik di mana perbuatan jahat dan serakah akan menuai ganjaran nantinya. Sialnya, karena begitu kuat dan melegenda, kisah Bawang Merah dan Bawang Putih menimbulkan stigma yang kurang baik di masyarakat terhadap ibu tiri dan saudara tiri.
Sampai sekarang, citra ibu tiri masih juga dipandang buruk. Iya, sih, siapa pun yang membawakan kisah ini pasti tidak ada maksud jelek untuk mempengaruhi pemikiran anak atas sosok ibu tiri. Namun yang perlu diingat, proses berpikir anak-anak tidak bisa dibandingkan dengan bagaimana orang dewasa menyikapi suatu informasi. Tak heran jika sampai mereka besar pun, imej jahat seorang ibu tiri telanjur melekat kuat di benak mereka.
#5 Ande Ande Lumut
Kisah pernikahan seorang putri dan putra mahkota memang menjadi favorit banyak anak. Di Jawa Timur, terdapat kisah serupa yang bertajuk Ande Ande Lumut. Bahkan, cerita rakyat ini juga diperdengarkan dalam sebuah lagu berjudul sama yang didendangkan oleh penyanyi “Jangkrik Genggong”, Waljinah. Baik cerita rakyat maupun langgam campursarinya, keduanya tidak pantas untuk dikisahkan kepada anak kecil.
Cerita ini menyiratkan pertukaran tak senonoh antara beberapa orang gadis dengan karakter Yuyu Kangkang. Tersebutlah bahwa para gadis tersebut kesulitan menyeberang sungai lantaran tidak ada sampan yang lewat. Tak lama, muncul Yuyu Kangkang yang bersedia menolong mereka menyeberang sungai dengan satu syarat, yakni para gadis harus mencium Yuyu Kangkang.
Di dalam dongeng, sosok Yuyu Kangkang ini diwujudkan dalam bentuk kepiting sungai raksasa. Namun ada pula yang mengatakan bahwa sejatinya Yuyu Kangkang adalah seorang laki-laki dewasa. Lebih jauh lagi, lirik lagu yang dilantunkan oleh Waljinah secara jelas menyebut kata “sisa” untuk para gadis yang melakukan transaksi tersebut. Jadi mikir ke mana-mana, kan?
Itulah beberapa cerita rakyat Nusantara yang sebaiknya ditunda dikisahkan untuk buah hati kita. Bagaimanapun, merupakan tugas orangtua untuk lebih cermat dalam memilih dongeng yang hendak disampaikan kepada anak mereka. Jangan sampai ketika anak beranjak dewasa, mereka menormalkan sesuatu yang sebenarnya tidak layak dilakukan hanya karena mencontoh dari cerita yang mereka dengar ketika masih kecil.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kisah Batu Lapidde di Barru, Sulawesi Selatan, Mengajarkan Bahayanya Ngomong Kasar.