Idulfitri kali ini merupakan pengalaman kesekian kali saya berlebaran di rantau, setelah hampir 15 tahun mengadu nasib di Tanah Bugis Makassar. Melambungnya harga tiket pesawat, diantara yang menjadi penyebab rutinitas mudik saya ke Rembang, Jawa Tengah beralih ke Maros, Sulawesi Selatan. Menurut saya, ini alternatif terbaik atas ketidakenakan kita dan saya tentunya merayakan hari yang fitri setelah sebulan suntuk berpuasa.
Bagaimana rasanya merayakan Idulfitri tanpa mudik? Saya belum pernah merasakan, seperti halnya saya belum pernah merasakan berbuka puasa tanpa teh hangat manis dan gorengan.
Pun, ketika saya tidak bisa mudik tatkala masih menyandang status ahasiswa, saya biasa diajak atau setidaknya memposisikan diri untuk bisa berlebaran di kampung halaman teman kuliah—sekitaran Makassar.
Mudik di wilayah Sulawesi Selatan dan Barat yang merupakan entitas kampung masyarakat Bugis Makassar dan Mandar, tak seheboh di Tanah Jawa. Setidaknya dari tampilan layar kaca HP dan TV yang saya saksikan.
Isu seputaran arus mudik dan balik seperti kemacetan arus lalulintas, berjubelnya penumpang, infrastruktur jalan, tol yang baru diresmikan—tidak menjadi pengiring cerita para pemudik di sini.
Banyaknya (tidak sampai bertumpuk) penumpang hanya terjadi di Terminal Daya Makassar, yang merupakan sentral arus orang barang dari dan menuju daerah Sulawesi Selatan, Selawesi Barat dan sebagian Sulawesi Tengah.
Selebihnya, arus orang dan barang pada beberapa terminal di daerah hanya mengalami peningkatan jumlah keluar-masuk kendaraan. Hanya kendaraan, karena banyak terminal di daerah Sulawesi Selatan dan Barat yang kurang berfungsi maksimal—sekedar terminal perlintasan.
Hal ini disebabkan banyaknya mobil ber-plat Hitam yang digunakan sebagai angkutan umum dan antar-jemput penumpang. Dari sistem antar jemputnya, ya., mirip transportasi online yang baru berkembang dewasa ini. Meski di daerah Sulawesi sistem ini sudah berlangsung lama, cuma hanya via teleponan.
Dengan sistem ini para penumpang diantar jemput sampai di tangga depan rumahnya—tidak mesti mengantri berjubel di terminal. Barang bawaan juga tidak akan menimbulkan biaya tambahan karena jadi rebutan calo di Terminal.
Di Daerah Bugis Makassar, angkutan orang dan barang lebih didominasi transportasi darat. Moda didominasi minibus. Lebar ruas jalan Trans Sulawesi juga sudah cukup untuk mewadahi aksesibilitas dan keinginan mudik masyarakat dari dan menuju kampung-kampung kantong domisili masyarakat Bugis Makassar.
Terkecuali, jalur Camba, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan yang juga merupakan akses menuju kampung Wakil Presiden Jusuf Kalla, Kabupaten Bone. Setidaknya jalur darat terdekat dari Makassar ke Kabupaten Bone, tidak ada cerita perjalanan yang layak diperpanjang selain cerita tentang jalan di Hutan Camba. Jalur yang juga saya telah dan akan lalui berlebaran kali ini.
Musim lebaran tahun lalu, ada cerita fenomenal pada jalur ini yakni jembatan layang Poros Maros-Bone. Lokusnya berada di Pattunungan Maros, akses pembuka jalur hutan Camba. Pembangunanya mengikis gunung tras Bantimurung Maros.
Inilah jalur agak berat bagi Anda yang bukan orang Camba atau Bone, apalagi musim arus Balik seperti sekarang ini.
Gambarannya seperti ini; jalur ini lebih tepatnya membelah Gunung dan Hutan Lindung Bantimurung, ruas sempit yang kiri-kanannya diapit tebing terjal, berkelok—ada yang seperti huruf S—turunan – tanjakan, tengah hutan—beberapa ruas juga berlubang, banyak mobil besar; truk sering lalu-lalang.
Kemacetan yang biasa terjadi dalam jalur ini dikarenakan lakalantas dan juga berpapasannya mobil di lekukan tikungan. Bagi yang akan masuk ke jalur hutan Camba ini, biasa akan berdoa,”semoga tidak berpapasan dengan mobil besar (truk dan sejenisnya). Ketika suatu saat Anda melewati jalur ini, saya sarankan juga berdoa demikian.
Dalam jalur ini, terdapat beberapa pagar pembatas jalan yang penyok, bekas tercium kepala mobil tentunya. Tidak jarang pula mobil dibiarkan berada di tepi jalan hutan, biasa karena mobil tersebut mogok atau rusak.
Dari semua tuturan di atas, satu hal yang paling mencengangkan, bahwa dalam jalur hutan Camba tidak ada signal HP dan internet, biar semahal apa HP Anda.
Banyangkan, bila lagi asyik-asyiknya Anda telponan atau WAan, masuk di jalur ini, kemudian diberi waktu 5 menit untuk membuat keputusan genting, maka bisa saya pastikan suasana genting akan Anda rasa selama kurang lebih 1 jam perjalanan menyusuri jalur hutan ini.
Soal keamanan, untuk jalur sempit, tengah hutan tak bersignal, saya simpulkan cukup rawan ketika tengah malam. Tetapi dengan karakter khas masyarakat Bugis-Makassar yang pemberani, maka sebenarnya jalur ini aman-aman saja.
Meski begitu, ada hiburan ketika Anda sudah bosan dengan tikungan jalur hutan Camba. Akhir-akhir ini, sepanjang jalan hutan, monyet dan kera berjejer dipinggir jalan. Mereka melongo menyaksikan hilir mudik kendaraan. Terkadang melompat kegirangan ketika ada pengendara yang melempar pisang atau sekedar makanan.
Kera dan monyet yang semula berdiam di rimbunan pohon lindung Gunung Bantimurung telah mulai keluar hutan untuk mencari makan. Tahun lalu, saya menyaksikan baru ada beberapa ekor dan titik pinggir jalan yang ditempati mangkal oleh mereka. Kini, hampir sepanjang jalan hutan.
Menurut beberapa cerita, mereka keluar hutan karena sering diberi makan oleh pelintas jalan. Sekali lagi, manusia telah mengubah pola hidup habitat yang seharusnya di hutan. Mereka tidak lagi menjadi monyet dan kera pekerja keras untuk mencari makan, tetapi mulai tergantung pada pemberian dan belas kasihan. Sudah seperti juga karakter manusia, heheh.
Di samping kegentingan dan ketergantungan kera monyet itu, jalur jalan yang menurut beberapa cerita dibuat oleh transmigran Koloni Jawa pada zaman penjajahan Belanda ini, cukup fenomenal. Fenomenal, karena pembangunan jalur ini membelah hutan dan gunung nan terjal. Proyek ini digadang-gadang seperti jalur tol yang akan memberi kemudahan dan kecepatan akses atas kesempitan, keterjalan, tekukan tikungan dan tak bersignalnya jalur hutan Camba.
Proyek pembangunan yang akan memudarkan cerita yang sudah berkembang puluhan tahun atas kegentingan berkendara di jalur jalan hutan Camba. Namun, proyek pembangunan terhenti, dan baru beberapa kilometer saja yang terealisasi.
Namun, apakah setelah Jusuf Kalla yang tak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden, proyek pembangunan jalan menuju ke kampungnya ini akan berlanjut? Kita sama-sama menunggu hukum kausalitasnya.
Bagi para pemuja berlebaran di kampung seperti saya, cerita tentang kondisi jalan, sejarah kampung yang dilalui, ke-khasan sebuah daerah dengan cerita sukses orang-orangnya merupakan aroma tersendiri yang melengkapi wangi dan segarnya hari kemenangan, yang menurut saya masih layak untuk dirayakan. Selamat merayakan Idulfitri~