Gengs, pernah nggak sih kalian melakukan sesuatu kegiatan atau katakanlah suka sama suatu bidang yang kalian enjoy ngejalaninnya terus tiba-tiba bosen gitu aja dan akhirnya memutuskan untuk berhenti dalam menekuni bidang tersebut? Kalau saya sih sering banget.
“Bagaimana cara mereka berlatih setiap hari, itulah yang membedakan para maestro dari gerombolan cacing pita atau anggota kerumunan.”
Setelah membaca esai Perihal Tulisan Buruk dan Bagaimana Cara Memperbaikinya yang ditulis oleh AS Laksana tersebut pikiran saya jadi agak terganggu lantaran kutipan tersebut. Saya jadi teringat perihal ketekunan saya terhadap suatu bidang dan bagaimana cita-cita saya sering kandas lantaran saya terlalu cepat merasakan bosan.
Dahulu ketika saya duduk di SMA, saya cukup banyak menekuni berbagai macam bidang. Mulai dalam bidang olah raga hingga dunia jurnalistik pernah saya cicipi. Dalam bidang olah raga, saya pernah menekuni panahan, sudah tak terhintung berapa kali saya telah mengikuti kompetisi. Akan tetapi dari semua kompetisi yang pernah saya ikuti, prestasi tertinggi yang pernah saya raih, hanya sampai ke perempat final. Tidak lebih. Minat terhadap bidang tersebut tak bertahan lama, karena prestasi saya yang tidak kunjung membaik dan gitu-gitu saja, kemudian saya merasakan bosan dan tidak lama saya memutuskan pensiun dini (agak berlebihan sih saya memakai istilah ini).
Saya kemudian beralih menekuni bidang jurnalistik dan kebetulan di sekolah pada saat itu ada ekstrakurikuler yang memfasilitasi saya untuk menekuni hal tersebut. Saya tertarik dengan jurnalistik lantaran kegiatan tulis-menulis beritanya yang nampaknya terlihat keren jika bisa menulis sebuah tulisan dan dibaca oleh banyak orang. Tak lama saya menekuni bidang tersebut, saya lagi-lagi merasakan kejenuhan dalam hal tersebut. Saya melihat tulisan saya tidak kunjung baik. Jauh dari kata baik, kalau meminjam istilah AS Laksana, jelek saja belum. Saya pesimis, dan berhenti menulis sejak itu.
Tertarik dalam suatu bidang, saya coba dalami, bosan dan kemudian berhenti mendalami bidang tersebut. Begitu saja terus siklusnya. Tidak berubah-berubah.
Dalam esai yang ditulis oleh Sulak—merupakan sapaan akrab AS Laksana—yang tadi salah satu kutipannya saya kutip di atas, sedikit menyinggung suatu hasil penelitian tentang bagaimana kita sebenarnya bisa menguasai suatu bidang atau disiplin minat apapun itu dalam waktu 10 ribu jam. Awalnya saya bertanya-tanya, jika suatu bidang bisa dikuasai hanya dalam 10 ribu jam. Mengapa saya tidak bisa menjadi seorang atlet panahan yang sudah saya tekuni selama dua tahun, atau mengapa saya tidak menjadi pemain bola profesional padahal bermain bola merupakan hobi saya sejak saya masih duduk di sekolah dasar.
Saya penasaran dengan hukum 10 ribu jam ini. Saya mulai googling untuk mencari apa yang dimaksud dengan hal ini. Pada akhirnya ada suatu artikel di internet yang mengulas buku karangan Geoff Colvin dengan judul Talent is overrated. Pada inti pembahasannya, ternyata sesuatu yang menjadikan seseorang itu master dalam suatu bidang, bukan melulu soal repetisi yang ia kerjakan. Akan tetapi bagaimana dalam setiap repetisi tersebut memiliki suatu target spesifik yang harus dicapai dan semuanya harus mulai dari menguatkan basic-basic dari disiplin tersebut. Hal ini disebut dengan deliberate practice.
Salah satu contoh yaitu dalam bidang olah raga bulu tangkis. Apabila seseorang ingin menjadi pebulu tangkis juara dunia atau dalam kata lain menjadi ahli dalam bidang tersebut, bukan melulu soal pertandingan yang ia pikirkan tapi bagaimana menguatkan basic bermain bulu tangkis terlebih dahulu, seperti kekuatan fisik, bagaimana melakukan drop shot, dan lain sebagainya. Hal ini perlu dilakukan berulang-ulang dan memang membosankan. Proses ini tidak berlangsung dengan instan. Dan mungkin saja proses ini sangat melelahkan dan membosankan. Banyak yang perlu ia pertaruhkan untuk menjadi seorang master. Mulai dari biaya, sampai rasa bosan yang mungkin akan menghampirinya terus menerus.
Hal semacam inilah yang kerap dilupakan oleh banyak orang, termasuk saya yang ingin ahli dalam suatu bidang. Kita kerap kali lebih mementingkan repetisi dan melupakan soal perkembangan diri kita. Sehingga gelar Master of Something yang kita harapkan itu hanyalah angan-angan belaka yang tidak akan pernah tercapai, malah yang ada gelar Master of None yang kita dapatkan.