Camat Baito, orang yang dianggap membantu Supriyani, guru honorer yang dituduh melakukan penganiayaan terhadap muridnya dinonaktifkan oleh Bupati Konawe Selatan. Penonaktifan tersebut dilakukan lantaran Sudarsono, Camat Baito tersebut, tidak memberi tahunya perkembangan tentang kasus tersebut.
Bagaimana, udah ngerasa ada yang aneh? Belum?
Oke. Ada camat dicopot bupati karena tidak memberi tahu perkembangan tentang suatu kasus. Aneh nggak menurut kalian?
Saya tidak tahu banyak perkara chain of command di dunia pemerintahan. Tapi menurut saya, pencopotan ini aneh, amat aneh, terlebih dengan alasan seperti itu. Meski memang bisa, tapi misal saya jadi bupati Konawe Selatan, saya mending mengambil langkah dengan minta anak buah saya untuk mencari update kasus Supriyani tersebut. Apa pun akan saya lakukan, kecuali mencopot.
Kenapa? Ya sederhana saja, sentimen publik terhadap saya akan jadi jelek. Amat jelek bahkan. Kasus Supriyani ini sudah jadi perhatian publik. Publik jelas pro Supriyani: guru honorer berhadapan dengan polisi. Kasus yang amat David vs Goliath-esque. Publik akan pro dengan pihak yang tak punya kuasa.
Saya jadi bertanya-tanya, bupatinya nggak punya tim PR po? This is very bad move.
Asumsi liar yang tidak perlu
Kasus Supriyani ini benar-benar kompleks jadinya karena yang terlibat jadi kelewat banyak. Bupati Konawe Selatan bisa jadi dikira pro polisi atas langkahnya yang menurut saya tidak matang ini. Padahal dari yang saya baca, pencopotan camat ini dimaksudkan agar dua pihak saja yang berurusan, tak perlu ada pihak lain yang ikut-ikut. Apakah itu bagus? Nggak juga sih, cara hukum bekerja kan nggak seperti itu. Meski ya, saya agak paham kenapa Bupatinya harus kek gitu. Paham lho ya, nggak berarti setuju.
Saya tak mau naif, bisa jadi camat ini punya maksud tertentu. Maaf-maaf saja, saya pesimis kali melihat dunia. Tapi bisa jadi, niat camat ini beneran untuk membantu guru honorer tersebut. Lumrahnya seorang pemimpin, dia harus mengupayakan kesejahteraan dan keamanan warga yang ada di bawahnya. Kalau dicopot, malah asumsi publik jadi kelewat liar.
Bupati Konawe Selatan bisa jadi dikira mengintervensi dan punya kepentingan tersendiri. Atau bisa jadi dianggap yang tidak-tidak gara-gara alasannya tidak diberi update. Sekelas bupati pasti bisalah mendapat perkembangan informasi beginian. Orang bisa jadi bupati itu butuh jaringan yang kelewat luas. Kasus Supriyani juga bisa dicari beritanya di media, alasannya jadi terdengar makin tak masuk akal.
Maka dari itu, saya bilang ini langkah yang amat buruk. Sekalipun niatnya baik, tapi dunia menunjukkan bahwa banyak hal buruk kerap diawali dari niat baik.
Belajarlah dari kasus Supriyani
Secara pribadi, saya ingin kasus Supriyani ini segera kelar dan beliau tidak diberi hukuman sama sekali. Guru adalah profesi yang begitu rentan, terlebih beliau honorer, yang jelas tak punya kuasa apa pun pada pekerjaannya. Sudah gajinya bikin sedih, konsekuensinya pun perih.
Apa pun niat Camat Baito dan Bupati Konawe Selatan, saya tak peduli. Tapi berilah Supriyani bantuan atau perlindungan. Buat wargamu merasa dibantu dan diberi ketenangan mendapat hukuman. Guru honorer melawan pihak berkuasa jelas terlihat ketimpangannya. Alih-alih bikin keputusan yang terkesan publicity stunt, lebih baik fokus untuk membantu warganya yang sedang berhadapan dengan kekuatan yang hebat. Itu saja dulu, nggak usah ngurus yang lain.
Ini baiknya jadi pelajaran untuk bupati atau pejabat sejenisnya yang sering bikin statement publik. For God’s sake, sewalah tim PR agar kalian nggak sering-sering blunder dan pikir betul efek keputusan kalian. Kekuasaan bukan free pass kalian untuk melakukan tindakan di luar batas, ingat itu.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya