“Permisi, Paket… Paket….”
Itulah suara lantang yang selalu kita tunggu-tunggu. Terkadang mengagetkan kita ketika tidur siang. Namun, selalu membuat kita tanpa ragu mencelat secepat kilat untuk menghampirinya. Kita menyambutnya dengan senyuman yang paling hangat seakan bertemu dengan orang yang sudah lama kita nanti-nantikan.
Tak ada orang yang tak senang mendapatkan paket. Perusahaan ekspedisi seperti JNE memang dekat dengan kehidupan kita. Buku Bahagia Bersama yang ditulis Kang Maman ini menggambarkan betul bagaimana peran JNE dalam kehidupan sehari-hari kita yang memang seakan sebagai suatu kesatuan tak bisa dipisahkan. Buku ini pun menyajikan rahasia mengapa JNE bisa bertahan hingga saat ini. Tentu saja dibawakan dengan gaya penulisan Kang Maman yang enak dibaca.
Hangat, begitu rasanya setiap kali saya selesai membaca kisah demi kisah. Rasanya sama seperti saya sedang mendengarkan lagu-lagu Phil Collins yang berkumandang di soundtrack Brother Bear. Mak nyes sekaligus kurang ajar! Lha kenapa? Karena beberapa kali saya harus ngelap ingus yang tiba-tiba meler sampai dikatain Ibuk.
“Kowe ki ngopo to sentrap-sentrup wae? Bar dipedhotke meneh po kowe?”
“Bukunya bagus, Momsss!”
Duh, untung saja ingus saya tidak membasahi bukunya. Sayang kalau bukunya sampai basah, isinya bagus gini. Kang Maman memang berhasil membangun energi positif melalui buku ini. Sesuai deh sama judulnya, Bahagia Bersama. Pembaca seakan diberi pelukan hangat sekaligus ditampar. Dua kombinasi yang sungguh menyebalkan.
Iyaaa. Buku ini menyadarkan pembacanya untuk selalu berbuat kebaikan. Buku ini pun terbilang cukup unik karena juga mengisahkan kiprah JNE yang bisa bertahan selama tiga puluh tahun di dunia ekspedisi. Saya kini paham rahasia yang membuat JNE bisa langgeng, nggak kayak hubungan saya. Ternyata tipsnya adalah berbagi kebaikan.
Beneran lho, saya nggak habis pikir ternyata JNE juga berpikir untuk berbuat kebaikan. Pandangan saya, perusahaan yang besar “hanya” mencari keuntungan. Ternyata JNE rajin memberikan santunan kepada anak-anak yatim piatu, janda tidak mampu, dan kaum dhuafa. Kebiasaan JNE ini tidak lain karena warisan dari pendirinya, Alm. Bapak Soeprapto Suparno.
Buku ini dibagi menjadi tiga bab. Bab pertama berjudul “Berbagi Tak Mengurangi” berisikan kisah-kisah Kang Maman. Sebenarnya, ini adalah bab paling kurang ajar di buku karena berkali-kali saya ditampar melalui kisah-kisah ini. Mengingatkan saya untuk selalu berbagi, berbagi, dan berbagi.
Bab kedua, “Tiga Serangkai”, merupakan kisah orang-orang yang saat saat ini memimpin JNE. Menurut saya, bab kedua ini isinya adalam sumber inspirasi yang menggugah. Bab terakhir, “Cerita Juara”, adalah kumpulan-kumpulan cerita para pemenang lomba menulis JNE.
Berbagi memang tak harus kaya, begitulah kisah awal dari buku ini dimulai. Kang Maman menceritakan bagaimana hatinya tergerak setelah melihat video yang sempat viral di media sosial, mengenai bocah cilik penjual gorengan yang memberi dagangannya kepada seorang bapak tua di emperan toko. Kang Maman kemudian menggalang donasi dan berhasil mengumpulkan dana yang terbilang cukup banyak untuk si anak penjual gorengan ini. Anak kecil tersebut menjadi bukti nyata bahwa masih banyak orang baik di tengah dunia yang semrawut.
Setelah kisah itu, Kang Maman juga bercerita ketika tak memiliki uang sepeser pun. Saya nggak pernah membayangkan Kang Maman yang wajahnya ramah banget ternyata pernah menjadi pencuri buah jambu. Namun, begitu cara Tuhan menolongnya. Ia bertemu sang pemilik jambu. Bukannya diteriaki maling atau bagaimana, sang pemilik justru mengajaknya untuk berbuka puasa di rumahnya. Bahkan, ketika pulang pun Kang Maman diberikan uang saku. Memang terkadang sungguh ajaib cara Tuhan bekerja.
Saya cukup terkejut karena melalui buku ini, saya baru tahu orang-orang yang saat ini memimpin JNE ternyata pernah merasakan posisi dari nol. Tentu saja, hal ini menginspirasi saya, mungkin suatu saat saya bisa menduduki posisi ibu negara, hahaha. Yah, saya pikir, orang yang menjadi “putra mahkota” JNE langsung makbenjunjuk mendapat posisi presiden direktur menggantikan Alm. Bapak Soeprapto Suparno, eh ternyata beliau pun memulai kariernya benar-benar dari bawah, bahkan pernah merasakan menjadi seorang kurir on board.
Begitu juga dengan Pak Edi yang menjadi direktur, beliau pernah merasakan menjadi seorang kurir. Sama halnya dengan Pak Chandra yang kini menduduki posisi direktur keuangan, ia dulunya bermula dari seorang tukang ketik. Maka dari itu, saya yakin bahwa para pemimpin JNE akan lebih menghargai karyawannya karena pernah merasakan bagaimana berjuang dari nol. Hal ini juga adalah pembelajaran yang dapat diberikan kepada orang-orang muda, yakni untuk jangan pernah takut untuk memulai karier dari bawah. Selagi giat bekerja, pasti akan membuahkan hasil. Entah, itu kapan mbok yakin pastilah membuahkan hasil.
Di bab terakhir berisi tulisan para pemenang kompetisi menulis yang pernah diselenggarakan oleh JNE, sebenarnya agak unik halamannya. Saya nggak tahu ini kebetulan atau tidak, namun cerita dimulai dari halaman 111 yang dikenal sebagai “angka keberuntungan”. Haduh, aku mulai ngelantur lagi.
Bab terakhir buku ini berisi kesaksian orang-orang yang pernah berurusan dengan JNE, entah itu konsumen ataupun pegawai JNE itu sendiri. Dari cerita-cerita ini saya sadar, ternyata paket-paket sepele yang biasanya saya beli di lapak online bisa sampai karena peran banyak orang. Bab ini juga menyadarkan saya perjuangan kurir. Saya teringat seorang kurir JNE yang menerjang hujan mengantarkan paket saya dalam keadaan kering, padahal isinya hanyalah maskara dan bedak yang saya beli gara-gara promo, huhuhu. Hebatnya, Mas Kurir itu masih tersenyum hangat.
Oh, iya saya kelupaan membahas tampilan buku ini. Sungguh eye catching, mbok tenin! Tidak membosankan untuk dibaca karena Kang Maman bekerja sama dengan Mice sebagai ilustratornya. Saya sempat mbatin, lho ini kan nggak asing gambar-gambarnya. Lha yo pantas saja, ini kan ilustrator yang sering saya jumpai di koran Kompas setiap Minggu.
Buku ini pun berisi banyak kutipan yang cukup menampar. Ada satu kutipan yang paling menyentuh hati saya, bunyinya, “Orang-orang baik tak hidup untuk dirinya sendiri. Ia juga hidup juga untuk orang lain. Menjadi cahaya. Setidaknya, membawa cahaya, memberi dan membagikannya kepada sesama.” Daleeem.
Artikel ini ditayangkan atas kerja sama Mojok.co dan JNE.