Awal 2025 diwarnai kabar e-commerce Bukalapak yang menutup layanan penjualan produk fisik. Artinya, pengguna seperti saya tidak bisa lagi membeli produk-produk fisik di sana. Dengan kata lain, pelanggan hanya bisa membeli produk-produk virtual seperti Mitra Bukalapak, Gaming, Investment, dan Retail
Pihak Bukalapak menekankan bahwa pihaknya tidaklah gulung tikar, hanya banting setir fokus pada layanan tertentu saja. Layanan yang dianggap lebih menjanjikan. Sebagai pengguna, langkah yang diambil Bukalapak menyedihkan memang, tapi tidak mengagetkan mengingat sudah banyak e-commerce lain yang berguguran seperti JD.id, Blanja.com, dan Elevenia. Apalagi menurut berbagai analisis, perusahaan yang sudah ada sejak 2010 itu lebih baik segera mengambil melepaskan unit bisnis yang tidak menghasilkan keuntungan.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, biarkan saya kembali mengenang betapa besar aplikasi yang satu ini. Bukalapak pernah digadang-gadang sebagai salah satu perusahaan unicorn di Indonesia. Bahkan, perusahaan ini jadi e-commerce lokal pertama yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2021 lalu. Berkat IPO, perusahaan dengan kode saham BUKA itu mendapat dana segar hingga Rp21,9 triliun. Sayangnya, 4 tahun berselang, Bukalapak justru menunjukkan kepayahan. Akhirnya, perusahaan ini memilih manuver besar-besaran dengan menutup layanan produk fisik.
Ada banyak teori di sosial media, terutama X, yang mencoba membedah alasan raksasa start up yang satu ini tiba-tiba kalah saing. Padahal dia pernah memiliki pondasi yang lebih kuat dibandingkan pesaingnya. Salah satu teorinya adalah karena pendiri Bukalapak, Achmad Zaky, pernah membuat statement blunder di era Pemilu 2019.
Sejujurnya saya nggak begitu mengikuti yang katanya “skandal politik” antara pendiri Bukalapak sama presiden ketujuh Indonesia. Sebagai user awam, saya hanya bisa melihat bahwa Bukalapak mulai ditinggalkan karena kalah inovasi dibandingkan dua e-commerce utama di Indonesia, yaitu Shopee dan Tokopedia.
Bukalapak nggak sering “bakar duit”
Kabarnya, Bukalapak mulai ditinggalkan investor dalam maupun luar negerinya. Padahal dulu banyak banget suntikan dananya. Tapi, kalau saya sendiri sebagai user melihat bahwa Bukalapak pun dulu nggak sebegitu gencarnya “bakar duit”. Apalagi kalau dibandingkan dengan Shopee dan Tokopedia. Bukalapak memang pernah membuat konser, tapi hanya mendatangkan artis-artis lokal. Saat nonton di televisi, rasanya kurang begitu “nendang”.
Memilih tidak bakar uang, nggak salah memang. Hanya saja kurang pas dengan tren yang ada. Pada masa pandemi, K-Pop sedang naik daun banget. Maka saya pun nggak heran kalau Shopee dan Tokopedia ngundangnya artis K-Pop mulu. Atau jangan-jangan Bukalapak memang sengaja biar tampak berbeda?
Bukalapak pun termasuk e-commerce yang agak pelit memberikan gratis ongkir. Di saat pesaingnya sedang merangkak naik berkat gemar menyediakan gratis ongkir, Bukalapak mengenakan kebijakan ongkos kirim.
Buat orang berkantong tipis, voucher gratis ongkir itu sangatlah krusial. Beli barang online dengan ongkir itu rasanya sayang banget. Saat masih menggunakan Bukalapak, mau nggak mau saya harus beli barang yang ada di sekitaran DIY-Jateng saja untuk menghemat ongkir.
Padahal, banyak orang yang bilang bahwa tempat terbaik untuk membeli sparepart kendaraan dan kulakan barang bagi UMKM adalah di Bukalapak. Lumayan kontradiktif karena sparepart dan kulakan sudah pasti barangnya lebih berat sehingga mengharuskan user membayar ongkir beberapa kali lipat lebih banyak. Alhasil saya pernah beli sparepart mobil yang ongkirnya hampir setara sama harga barangnya.
Baca halaman selanjutnya: Kurang memberikan …