25 Oktober 2022 kemarin, ada satu berita yang membuat saya tercengang, bisa-bisanya BPOM tidak pernah menguji kadar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada sediaan obat sirup! Kata Pak Penny Lukito selaku Kepala BPOM di Istana Kepresidenan Bogor kemarin. Hal itu karena dunia Internasional belum ada standar untuk pengujian dua bahan tersebut katanya.
Lah? Memangnya kalau belum ada standar, terus kenapa? Kan BPOM seharusnya memastikan semua produk obat yang beredar di pasaran aman. Terus buat apa ada BPOM, kalau obat yang lolos ke masyarakat bisa kebobolan gini? Sedihnya, sampai Selasa, 25 Oktober 2022, sudah 143 anak meninggal, dengan jumlah kasus sebanyak 255 anak.
Dietilen glikol sendiri merupakan senyawa pencemar yang timbul akibat proses produksi pelarut dari obat. Pelarut-pelarut itu seperti sorbitol, gliserol, propilen glikol, dan polietilen glikol. Begitu ungkap Rahmana Emran, pakar Sekolah Farmasi ITB pada 23 Oktober 2022 lalu.
Dengan kata lain, EG dan DEG ini adalah senyawa yang sudah lama diketahui manusia. Bahkan di Farmakope, salah satu buku babonnya Ilmu Farmasi, telah tertulis bahwa batas dosis maksimal cemaran EG dan DEG adalah 0,5 mg per kilogram berat badan per hari. Jadi, ancaman itu sebetulnya sudah dikenali sejak lama, bukan?
Meskipun begitu, 24 Oktober 2022 kemarin, BPOM telah memidanakan dua industri farmasi terkait cemaran ED dan DEG ini. Malahan, BPOM membuat pernyataan bahwa yang bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan khasiat obat yang beredar di masyarakat, merupakan bagian dari industri farmasi sendiri. Itu yang dikatakan Bu Elin Herlina selaku Inspektur Utama BPOM pada 23 Oktober 2022 lalu.
Mampus nggak? Jadi yang salah itu, BPOM-nya, atau industri farmasinya? Oke, kita telan mentah-mentah fakta itu. Jawaban sementara, nggak tahu!
Baca halaman selanjutnya
Industri farmasi yang jalan di tempat
Lalu, apakah ada sangkut paut obat sirup tercemar etilen glikol yang beredar di negara kita, dengan obat sirup tercemar produksi India yang beredar di Gambia? Entah, tidak ada konfirmasi. Yang jelas, produk dari Maiden Pharmaceuticals Limited selaku produsen obat yang tercemar di Gambia, telah dikonfirmasi tidak ada yang terdaftar di Indonesia.
Pihak berwenang India sendiri juga telah memerintahkan Maiden Pharmaceuticals Limited untuk menghentikan produksi obat yang diduga menjadi sebab kematian anak di Gambia.
Faktanya, India telah mengekspor obat-obatan ke lebih dari 200 negara, makanya industri farmasi memiliki peran besar dalam perdagangan di sana, nilainya sampai $50 miliar. Meskipun begitu, tercatat sejak 1972, sudah ada lima peristiwa di sana terkait keracunan dietilen glikol, begitu info yang dilansir dari Tempo.co. Oke, dari sini kita paham, kasus keracunan dietilen glikol ternyata bukan merupakan hal baru.
Kalau dipikir-pikir, memang wajar kalau industri farmasi lebih suka mengimpor. Sederhana, kebanyakan obat-obatan tidak bisa diambil secara gamblang dari alam. Tidak semudah memanen bulir padi dari tangkainya.
Gampang saja, coba Anda cari video tentang sintesis parasetamol, obat seribu umat yang biasa diresepkan. Ini video dasar ilmunya, dan ini proses sintesisnya. Ribet bukan? Daripada ribet-ribet sintesis sendiri, mendingan beli bahan dari luar negri toh, lebih murah, dan tentunya efektif. Itu masih satu obat, paracetamol pula, belum ribuan obat yang lain.
Dekade lalu, Bapak Syamsul Arifin selaku Direktur Utama PT Kimia Farma Persero (Tbk), di akhir 2011 lalu mengatakan kalau industri farmasi kita jauh tertinggal dari negara lain. Lha bahan sintetik kita pada tahun itu, 90 persen impor! Begitu ungkap beliau saat memberi sambutan pada salah satu acara di UGM.
Sekarang? Kabar terakhir pada 2 Juni 2022, Kemenkes katanya mau serius fasilitasi change source untuk bahan baku impor untuk diganti menjadi bahan baku dari dalam negeri. Ya angkanya masih sama, 90 persen bahan baku masih bersumber impor. Walaupun menurut Honesti Basyir, Direktur Utama Holding BUMN Farmasi, mereka bisa mengurangi hingga 20 persen ketergantungan bahan baku obat ini.
Angka impornya sih ya masih 90 persen. Nggak kurang, dan semoga aja nggak bertambah.
Lalu gimana? Sebagai dokter yang baru lulus, saya cuma geleng-geleng. Satu kebanggaan yang selama ini saya pamerkan kemana-mana ketika dibanding-bandingkan dengan dukun dan praktisi pengobatan alternatif, adalah kelebihan ilmu kedokteran yang berdasarkan bukti, evidence based medicine!
Lha ilmu ini sudah berkembang lama, namun, kontrol yang kurang ketat malah bikin reputasi yang dibangun beratus-ratus tahun berpotensi hancur. Sudah susah-susah mikir apa diagnosis pasiennya, ketika mau meresepkan obat, dokternya kepikiran keamanan obatnya.
Ya, siapa pun juga memahami, membuat obat yang aman dengan khasiat yang oke memang susah. Jadi pihak yang mengawasinya pun juga susah.
Oleh karena negara kita mungkin masih belum bisa berdikari sendiri untuk bahan baku obat, maka pengawasannya harusnya (lebih) ketat dong. Masa, kalau udah ada yang kejadian meninggal gini, malah saling menyalahkan.
Emang ya, di negara ini , kalau udah kejadian aja baru ditanggapi serius. Datang Gelombang Covid ya begitu, Tragedi Kanjuruhan juga begitu. Takut.
Penulis: Prima Ardiansah Surya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mengenal Etilen Glikol dan Dietilen Glikol dalam Obat Sirup yang Memicu Gagal Ginjal