Isu SARA memang tidak pernah habis diperdebatkan. Di luar perkara teologi, mencari-cari borok agama lain sering dianggap sebagai “membela” agama sendiri. Banyak orang berusaha melindungi kemurnian agamanya dengan membahas aib agama lain. Terutama jika ada pemuka agama yang dianut terlibat kasus.
Padahal, membongkar borok pemuka agama lain tidak lantas membuat pemuka agama yang dianut bersih. Menurut saya, perilaku ini hanyalah bentuk argumentum ad hominem yang kekanakan. Selain itu, membongkar borok pemuka agama lain hanya membiaskan pandangan kebejatan yang dilakukan pemuka agamanya sendiri. Dan menurut saya, cara pikir yang demikian sangat berbahaya.
Pengalaman pribadi perihal “bersaing mencari borok” ini terjadi di dalam keluarga. Kebetulan, keluarga saya adalah penganut agama Nasrani yang kaku. Ketika kasus pelecehan seksual oleh seorang pastor paroki di Tomang menyeruak, beberapa anggota keluarga saya tidak percaya bahkan berkonspirasi tentang framing untuk menjelekkan agama. Duh, untung keluarga sendiri.
Ketika penyintas pelecehan berani bersuara, imajinasi konspiratif tadi gugur sudah. Saya pikir keluarga saya bisa menerima kenyataan dan berpikir jernih. Yang terjadi malah makin menyebalkan. Mereka membangun narasi bahwa yang dilakukan pastor tadi masih mending daripada pelecehan seksual yang terjadi di sebuah pesantren. Sontak saya tekankan bahwa tidak ada pelecehan yang lebih mending dari pelecehan yang lain. Sekali lagi, untung keluarga sendiri.
Selain dari internal keluarga, memburu borok agama lain juga saya temukan di berbagai tongkrongan. Yang paling saya ingat adalah bahasan tentang kisruh izin pendirian rumah ibadah Buddha di Tangerang. Salah satu pengunjung yang duduk di seberang saya berargumen bahwa pelarangan itu belum seberapa. Dia malah membandingkan dengan tragedi Rohingya. Untung, saya tidak kenal dia. Jika kenal, saya tidak hanya sekedar tertawa mengejek sampai dia dengar.
Jika Anda sering kepo isi kolom komentar media sosial, kasus berburu borok agama lain lebih subur dan menyebalkan. Setiap ada kasus yang melibatkan pemuka agama, selalu saja ada komentator yang membahas borok agama lain. sudah terlihat tujuannya: agar agamanya tidak nampak kotor di depan agama lain.
Menurut saya, melindungi borok pengikut agama sendiri adalah perbuatan yang tidak sehat. Apa gunanya melindungi sebuah kasus demi menjaga “kesucian” agama yang dianut? Jika pemuka agamanya memang brengsek, ya dia brengsek sebagai manusia. Untuk apa melindungi borok si pemuka agama atau oknum tertentu.
Melindungi borok ini hanya seperti menaburi bangkai dengan bunga. Busuknya bangkai tidak akan hilang. Kasus yang melibatkan pemuka agama yang ditutup-tutupi tidak akan memberi solusi apa pun selain perasaan “tak berdosa”. Dan ini memunculkan bias yang berujung pada pemakluman bagi pemuka agama yang bermasalah baik pelecehan seksual, korupsi, bahkan penghilangan nyawa.
Apa bahayanya jika pemakluman pada pemuka agama tetap berlangsung? Saya khawatir agama akan dimanfaatkan sebagai perlindungan dalam melakukan tindak kejahatan pada kemanusiaan. Jika sudah seperti ini, mau ke mana lagi manusia menaruh harapan untuk mencapai kehidupan yang tenteram dan bermartabat? Berpasrah pada kerang ajaib?
Institusi agama bukanlah produk yang “selalu suci”. Institusi ini berisi banyak manusia yang tidak selamanya bersih. Melindungi orang brengsek dalam agama apa pun hanyalah memelihara kebrengsekan mereka. Seperti memelihara kanker dalam tubuh. Dari luar terlihat sehat, namun dari dalam menggerogoti diri.
Dengan tetap melindungi mereka, sama saja melindungi monster yang kelak bisa makin parah lagi perilakunya. Seperti membela pelaku pelecehan seksual. Jika sang pastur tetap dilindungi dengan alasan menjaga kesucian ini, mau berapa banyak manusia yang dikorbankan untuk memuaskan nafsu bejatnya. Begitu pula dengan pelecehan yang dilakukan pemimpin ponpes dan pemuka agama lain.
Yang terakhir, mencari borok pemuka agama lain tidak akan membuat pemuka agamamu terlihat lebih bersih. Jika ada cacat pada pemuka agama yang anda anut, ya akui saja. Tuntut pelaku untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Jangan malah dilindungi dengan mencari-cari kasus pemuka agama lain.
Sayang sekali, perilaku ad hominem ini masih subur dan dianggap wajar. Membahas dan membandingkan borok pemuka agama lain dipandang sebagai aksi bela agama. Menurut saya jika perilaku kekanakan seperti tetap dijaga, malah kasus kejahatan yang melibatkan pemuka agama akan makin subur.
Sejatinya, siapa yang perlu berlindung pada agama? Manusia yang merindukan ilahinya, atau bajingan tengik yang mencari pembenaran dari kejahatan yang dilakukan?
BACA JUGA Barista Hari Ini: Gaya Terdepan, SOP Belakangan dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.