Sudah pernah dengar atau baca tentang bookstagrammer? Yup, bookstagrammer ini bisa dibilang adalah selebgramnya pencinta buku (orang yang suka baca buku). Akun Instagram para bookstagrammer ini isinya tentu saja tidak jauh-jauh dari seputar buku. Mulai dari koleksi buku, ulasannya sampai pada kegiatan apapun yang dilakukan bersama buku (liburan, jalan-jalan, nongkrong, dan lain sebagainya).
Untuk menjadi bookstagrammer ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama tentu saja harus suka baca buku dan bisa membuat resensi atau ulasan buku, kedua mengerti cara menggunakan Instagram, ketiga punya akun Instagram, keempat punya waktu luang untuk bermain Instagram dan kelima—yang tidak kalah penting— adalah harus mahir menghasilkan foto yang sedap dipandang mata.
Seorang pencinta buku yang memutuskan untuk menjadi bookstagrammer akan mendapat beberapa kelebihan atau keuntungan yang berhubungan dengan buku dan fotografi.
Selain bisa menyalurkan hobi baca buku dan kemampuan fotografi, menjadi bookstagrammer bisa menjadi ajang untuk berkenalan dan berteman dengan sesama pencinta buku, baik di media sosial maupun di kehidupan nyata. Yang lebih spesialnya lagi, menjadi bookstagrammer bahkan bisa membuat seseorang sering mendapat kiriman buku secara gratis dari Penerbit. Tentu saja dengan syarat, bisa membuat ulasan yang menarik minat baca dan bisa mengambil foto dengan hasil yang keren.
Dengan melihat berbagai macam kelebihan yang didapat saat menjadi bookstagrammer, tidak heran jika kemudian banyak pencinta buku yang tertarik ingin menjadi bookstagrammer. Berbagai usaha pun dilakukan. Mulai dari memperbanyak jenis buku bacaan sampai pada mengasah kemampuan fotografi. Ada bahkan yang rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membeli pernak-pernik (properti) yang dianggap bisa menambah unsur keindahan sebuah foto.
Di Indonesia sendiri, bookstagrammer sudah sangat ramai peminat. Dengan menelusuri #bookstagrammerIndonesia atau #bookstagramIndonesia, maka akan tampil berbagai akun bookstagrammer dengan ciri khas masing-masing. Ada yang murni hanya menggunakan foto hasil karya sendiri, ada juga yang menggabungkannya dengan menggunakan foto—yang memiliki unsur buku—dari aplikasi atau situs penyedia foto.
Untuk yang menggunakan foto dari aplikasi atau situs penyedia foto, biasanya mereka hanya perlu mengedit dengan menambahkan gambar sampul buku—yang akan dibuat resensi atau ulasannya. Jika kalian tertarik dengan cara ini, pastikan bahwa foto yang digunakan adalah foto yang memang bebas hak cipta.
Jika ternyata foto yang dipakai adalah foto yang tidak bebas hak cipta apalagi sampai dibuat seolah-olah adalah foto karya sendiri (diberi watermark dengan nama sendiri) maka hal itu sudah termasuk plagiasi atau nyolong foto orang. Dampaknya bukan hanya akan mendapat perundungan tapi bisa dijerat dengan pasal pelanggaran UU Hak Cipta.
Yang perlu diingat lagi, meski keduanya terbilang sah-sah saja (memakai foto sendiri dan memakai foto dari aplikasi atau situs penyedia foto) tapi pihak Penerbit biasanya akan lebih tertarik untuk bekerja sama dengan bookstagrammer yang memakai foto sendiri dibanding dengan yang memakai foto dari aplikasi atau situs penyedia foto.
Oleh karena itu, jika ingin meningkatkan skill fotografi (dalam hal foto buku) jangan ragu untuk menyimak tips dari para bookstagrammer, tanyakan jika ada hal yang dirasa masih kurang dipahami. Setelahnya, jangan lelah untuk terus belajar dan mengasah kemampuan yang sudah dimiliki.
Selain foto, para bookstagrammer ini juga punya gaya atau ciri khas masing-masing dalam mengulas buku. Berbeda dengan foto yang bisa menggunakan karya orang lain (asal sesuai aturan yang ada) untuk perihal ulasan buku, harus menggunakan hasil karya sendiri. Sangat tidak diperbolehkan menggunakan ulasan milik orang lain. Jika sampai nekat, hasilnya akan sama seperti kasus plagiasi foto (karena memang sama-sama plagiasi). Terkena perundungan dan pasal pelanggaran UU Hak Cipta.
Selanjutnya adalah tentang risiko menjadi bookstagrammer. Beberapa risiko yang harus dihadapi oleh seorang bookstagrammer antara lain, seorang bookstagrammer harus selalu punya stock buku untuk dibaca (yang ini masih gampang lah yhaa~), harus punya budget khusus untuk membeli pernak-pernik foto, dan harus punya waktu luang yang lebih banyak untuk membaca buku, membuat ulasan buku, mengambil foto buku, dan berinteraksi di media sosial.
Foto dan ulasan buku yang sudah menarik akan lebih baik jika diimbangi dengan sering berinteraksi. Baik itu dengan sesama bookstagrammer, dengan sesama pencinta buku, bahkan dengan followers-nya di Instagram. Hal ini bertujuan agar bookstagrammer tersebut jadi lebih gampang dan banyak dikenali.
Untuk bookstagrammer yang sudah terikat kerjasama dengan Penerbit buku (dikirimi buku gratis) mereka tentu punya tanggung jawab untuk membaca dan mengulas. Bagi yang susah menyempatkan waktu untuk membaca dan mengulas buku, apalagi sering terkena reading slump (keadaan ketika seseorang merasa benar-benar malas untuk membaca) hal ini tentu akan menjadi satu masalah yang cukup merepotkan.
Terlepas dari kelebihan dan risiko menjadi bookstagrammer, rasanya bukan hal yang berlebihan jika kehadiran mereka disambut dengan tangan terbuka. Disadari atau tidak, para bookstagrammer ini sudah ikut menjadi bagian dalam mengampanyekan sisi positif kehadiran sebuah media sosial. Di samping itu, mereka juga bisa menjadi salah satu “mesin penggerak” untuk meningkatkan minat baca, khususnya di kalangan generasi muda.
Urusan menumbuhkan dan meningkatkan minat baca memang bisa dilakukan oleh siapa saja. Tidak harus menjadi pegiat literasi untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Mari sama-sama ikut berkontribusi untuk bangsa dan negara!
Salam literasi
Sumber foto : Delasyahma (@delasyahma.reads)