Bondowoso dalam 3 Rupa: Tape, Kopi, dan Konser Dangdut di Tengah Sawah

Bondowoso Tape, Kopi, dan Konser Dangdut di Tengah Sawah (Unsplash)

Bondowoso Tape, Kopi, dan Konser Dangdut di Tengah Sawah (Unsplash)

Bondowoso, sebuah kota kecil di Jawa Timur, adalah kota di mana saya menghabiskan masa kecil. Saya selalu bahagia ketika mendapatkan kesempatan untuk kembali ke sana.

Bondowoso sendiri tersusun oleh 3 rupa aktivitas yang menyatukan warganya. Tiga rupa yang saya maksud adalah tape, kopi, dan dangdut di tengah sawah. Setiap rupa ini bukan hanya simbol, tetapi bagian tak terpisahkan dari keseharian masyarakatnya.

#1 Tape manis yang menyatukan warga Bondowoso

Kita tidak bisa memasihkan Bondowoso dari tape. Fermentasi berbahan dasar singkong ini sudah menjadi identitas kuliner kota. 

Namun, tape di sini lebih dari sekadar makanan. Ia adalah simbol kehangatan dan keramahan. Tradisi menyuguhkan tape kepada tamu menjadi salah satu bentuk penghormatan dan persahabatan di Bondowoso. 

Misalnya di Desa Pakisan. Setiap acara keluarga, seperti arisan atau pertemuan RT, tuan rumah selalu menyediakan tape sebagai camilan utama. Tape ini dibuat dengan proses gotong-royong, di mana ibu-ibu setempat berkumpul sejak pagi untuk mengupas singkong, merebus, hingga membungkusnya dalam daun pisang. 

Aktivitas ini tidak hanya mempererat hubungan antarwarga, tetapi juga menjadi momen berbagi cerita. Mulai dari resep masakan hingga kabar terbaru di desa. 

Studi kasus lain yang menarik adalah tape Bondowoso menjadi andalan UMKM seperti Tape Legi 66 Sukses di Dabasah, Kecamatan Bondowoso. Mereka berhasil membawa tape Bondowoso ke pasar nasional, dengan kemasan modern tanpa menghilangkan cita rasa tradisional. Usaha ini menunjukkan bagaimana makanan khas lokal dapat menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi.

#2 Kopi sebagai pengikat obrolan di warung sederhana

Kopi juga memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat Bondowoso. Khususnya jenis arabica, tumbuh subur di dataran tinggi Ijen. Rasanya yang khas menjadikannya favorit, baik di tingkat lokal maupun nasional. 

Kopi tidak hanya menjadi minuman, tetapi juga bagian dari budaya diskusi dan pertemuan sosial. Warung kopi di Bondowoso adalah pusat aktivitas sosial. Ambil contoh Kedai Pak Wi Ijen di Kecamatan Ijen. 

Setiap pagi, warung ini penuh dengan petani, pedagang, dan pegawai negeri yang datang untuk menikmati kopi sambil membahas berbagai isu. Mulai dari hasil panen hingga perdebatan politik. Obrolan di warung ini sering menjadi lebih menarik dengan hadirnya cerita-cerita lokal, seperti legenda Kawah Ijen atau kisah mistis di sekitar Hutan Merbabu. 

Tradisi kopi tubruk juga menjadi ciri khas di Bondowoso. Salah satu contohnya adalah kebiasaan di Desa Sempol Kecamatan Ijen, di mana kopi tubruk disajikan bersama pisang, singkong, bahkan tape goreng buatan sendiri. Kombinasi ini menciptakan suasana hangat yang membangun solidaritas di antara warga.

#3 Konser dangdut di tengah sawah hiburan rakyat yang meriah

Jika tape dan kopi mencerminkan keseharian yang tenang, konser dangdut di tengah sawah adalah wujud perayaan dan kegembiraan. Di Bondowoso, konser semacam ini sering diadakan saat panen raya, pesta pernikahan, sunatan, dan acara apa saja yang sekiranya bisa dirayakan. 

Masyarakat akan gotong royong mendirikan panggung sederhana di tengah sawah. Mereka akan memakai sound system yang kadang terlalu keras hingga menggema ke desa-desa yang bersebelahan. 

Studi kasus di Desa Nogosari menunjukkan bagaimana konser dangdut menjadi bagian dari tradisi lokal. Setiap tahun, setelah panen padi, warga desa mengadakan pesta rakyat yang dimeriahkan dengan konser dangdut. 

Acara ini tidak hanya menarik penduduk lokal, tetapi juga warga dari desa tetangga. Penyanyi lokal seperti Mas Hadi dan Mbak Nia, yang sering tampil di acara ini, telah menjadi ikon kecil di kalangan masyarakat Bondowoso. 

Yang membuat konser ini menarik adalah partisipasi aktif warga. Banyak yang dengan sukarela naik ke panggung untuk berjoget atau menyumbang lagu. Bahkan ada cerita tentang Kakek Hasan, seorang petani berusia 60-an, yang dikenal sebagai raja joget di desa. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu karena gaya jogetnya yang unik dan menghibur.

Itulah 3 rupa yang menyusun Bondowoso. Ketiganya tidak lagi sebatas aktivitas, tetapi menjadi simbol kebersamaan warga. Kearifan lokal yang membuat kota ini menjadi hangat dan selalu sukses bikin kangen.

Penulis: Roni Alialfatani

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 3 Wisata Alam Bondowoso yang Nggak Kalah Keren dari Kawah ijen

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version