Ulah oknum jihadis lagi-lagi bikin kita kaku hati dan nggak habis pikir. Dua orang terduga teroris melancarkan aksi bom bunuh diri di sebuah katedral di Makassar pada Minggu, 28 Maret 2021 kemarin, beberapa saat usai dilaksanakannya ibadah misa kedua.
Saya memang bukan orang yang relijius-relijius amat. Tapi, rasa-rasanya nggak harus bener-bener ngelotok urusan agama untuk mengerti bahwa aksi tersebut sangat layak buat dikutuk dan dihujani sumpah serapah. Nggak butuh jadi intelektuil juga untuk mengatakan dengan tegas bahwa dua pelaku ini adalah orang yang nggak berotak. Kalau orang gila, sih, mending, punya otak, cuma memang nggak berfungsi dengan baik. Lah ini, bener-bener udah nggak ada otak. Isi kepalanya kosong melompong.
Segambleh-gamblehnya orang gila, nggak bakal loh ujug-ujug ngelempar batu ke orang lain. Itu kalau nggak karena dia dijawil duluan. Apalagi nyampe ngeledakin bom di sebuah tempat ibadah, di rumah Tuhan. Hanya orang yang nggak berotak memang yang dengan lancang mengotori rumah ibadah dengan darah sesama hamba penyembah Tuhan. Itu pun umat Katolik nggak pernah ganggu-ganggu mereka, loh.
Sebagai sesama umat Islam—dengan abang-abang teroris yang melakukan bom bunuh diri—saya lebih nggak habis pikir lagi mengingat malam ini adalah malam Nisfu Sya’ban. Ya Allah, harusnya hari Minggu ini menjadi hari yang sangat afdal untuk memperbanyak beribadah. Dan setahu saya, di antara daftar ibadah-ibadah yang dianjurkan dalam menyambut malam Nisfu Sya’ban, ngebom rumah ibadah pemeluk agama lain bukanlah salah satunya. Terus ini mereka pakai dalil dari mana dan siapa coba?
Hal yang jamak diketahui orang-orang, para pelaku terorisme dan bom bunuh diri selalu menyandarkan aksinya pada dalih klise bahwa setiap non-muslim adalah kafir, dan setiap kafir halal darahnya. Bahwa membunuhnya dihitung sebagai aksi heroik menumpas kemungkaran dan diiming-imingi jaminan 70 bidadari yang bakal menyambutnya di surga. Nggak di dunia nggak di akhirat, orientasinya jan cuma urusan seksual. Isi kepala mesum kok ya merasa diri paling suci dan paling dekat dengan Tuhan. Ora mashoook!
Namun, ada satu pembahasan yang menarik di sini. Sejak kapan setiap non-muslim secara otomatis bisa disebut kafir dan dihalalkan darahnya? Sementara definisi kafir dan non-muslim saja jelas-jelas lain sama sekali.
Begini, non-muslim itu sebutan dari umat Islam untuk orang-orang yang memeluk agama di luar Islam. Sedangkan kafir berasal dari bahasa Arab “kafara” yang berarti bentuk pengingkaran secara sadar atas kebenaran yang berasal dari dalam dirinya dan sebenarnya ia yakini. Bisa juga dikatakan kalau orang kafir adalah orang yang menolak suatu kebenaran karena adanya alasan-alasan khusus yang sifatnya sangat personal.
Dari sini saja sudah jelas bahwa sepanjang orang non-muslim—sebut saja misalnya umat Kristiani—nggak menyangkal kebenaran yang diajarkan oleh agamanya, maka ia nggak bisa disebut kafir. Lantaran ruang lingkup kebenaran itu berasal dari dalam doktrin Kristiani yang ia imani. Maka, ketika ia nggak percaya dengan konsep kebenaran dari Islam, oke sah-sah saja ia disebut non-muslim. Tapi sangat nggak pas kalau sampai dilabeli kafir. Ia baru sah dilabeli kafir kalau misalnya menolak ajaran Kristiani tertentu, padahal ia yakin atau minimal tahu bahwa itu adalah ajaran dari Yesus.
Contoh kasusnya dalam Q.S az-Zumar: 38 nih, orang-orang Quraisy disebut kafir karena nyata-nyata mereka tahu bahwa ajaran Islam itu benar, tapi justru memilih untuk menolak mengimaninya. Mereka lebih memilih kepercayaan lama yang dianggap lebih menguntungkan secara pengaruh politik dan kedudukan sosial.
Tahu sendiri kan bahwa Islam mengajarkan egaliterisme, menghapus sistem kasta dan perbudakan. Semua sama di mata Tuhan, yang membedakan hanyalah kadar ketakwaan. Ini jelas nggak menguntungkan bagi orang-orang Quraisy yang sudah bertahun-tahun hidup dengan sistem seperti itu. Bisa-bisa yang sudah punya kuasa kehilangan kedudukan sosialnya, to.
Atau contoh kasus dalam Q.S. al-Baqarah: 89 dan Q.S. Ali Imran: 86 bahwa orang Quraisy itu jauh-jauh waktu bahkan sudah meyakini bahwa Muhammad adalah nabi akhir zaman. Namun, hanya karena gengsi sebab Muhammad nggak lahir dari suku-suku mereka, alhasil mereka mengingkarinya. Itulah kenapa mereka disebut kafir. Lantaran mereka secara sadar menyangkal sesuatu yang sebenarnya mereka yakini benar, hanya karena ego dan kepentingan pribadi.
Dan yang lebih substansial, seseorang—dari agama apa pun itu—bisa disebut kafir jika ia mengingkari perintah atau melanggar batas-batas tertentu dalam ajaran agama yang ia imani. Misalnya, saya sebagai muslim tahu betul bahwa zina, minum khamr, mencuri, atau meninggalkan salat, dan puasa wajib secara sengaja adalah melanggar larangan dan mengingkati perintah Allah. Tapi kok saya tetap melakukannya, berarti saya sah disebut kafir. Begitu juga dalam agama lain.
Kalau begini, masing-masing kita jelas punya potensi kekafirannya masing-masing, dong. Dan kalau kasusnya seperti ini, maka kita nggak bisa segampang itu melabeli seseorang sebagai kafir. Di samping konteksnya terlalu subtil karena bersifat sangat privat, masa iya kita yang bisa saja telah kafir tanpa kita sadari mau mengkafirkan orang lain? Maka, merujuk pendapat Imam at-Thahawi, urusan label melabeli kafir ini pada akhirnya mutlak jadi hak Tuhan semata. Kita—manusia—nggak berhak sama sekali.
Bahkan seandainya, toh, kita melihat dengan mata kepala kita sendiri ada orang yang telah kafir (dalam artian telah melanggar larangan Tuhan), kata Ibnu Taimiyah kita tetep nggak berhak menyebutnya kafir. “Tidak ada hak bagi seorang pun untuk mengafirkan seorang muslim meskipun dia salah dan keliru sehingga disampaikan hujjah yang bisa ia terima,” demikian kata Ibnu Taimiyah mengutip dari Islam Tuhan Islam Manusia-nya Haidar Bagir.
Oleh sebab manusia tidak berhak menghakimi, Allah Swt. meminta kita dalam Q.S. Ali Imran: 103 untuk wa’tashimu bihablillahi jami’an. Sesama makhluk Tuhan, kita nggak boleh bercerai-berai. Camkan ini! Nggak boleh bercerai-berai, loh. Bercerai-berai saja nggak dibolehin sama Allah, apalagi sampai menghalalkan darah sesama manusia. Kok, bisa-bisanya manusia merebut otoritas prerogatif Tuhan, kalau nggak ngawur dan kemaki namanya.
Pikiran oknum-oknum jihadis yang melakukan bom bunuh diri ini sebenarnya cukup revolusioner. Di saat orang-orang saintis bercita-cita membangun kehidupan di Mars, eh mereka justru lebih ngeri lagi, pengin segera membangun kehidupan di surga. Tapi mbok ya nggak usah terlalu kepedean juga. Jangan merasa dengan ngebom tempat Ibadah non-muslim bakal bikin Gusti Allah tersanjung dan bakal masukin situ ke surga. Lha, kok, enak, men. Surgane mbahmu po piye?
BACA JUGA Poso dan Pengalaman Menjadi Terduga Teroris dan tulisan Aly Reza lainnya.