Sampai hari ini, aksi boikot pada sejumlah produk yang terafiliasi genosida masih terus digaungkan dan dilaksanakan oleh banyak orang. Sasaran utama sudah ada di list BDS Movement. Beberapa dari brand yang paling sering disorot dan jadi biang keributan adalah, boikot untuk McD, Pizza Hut, KFC, Burger King, Domino’s Pizza, dan Starbucks.
Mungkin karena franchise ini sering kali kita temui di hampir setiap kota. Bahkan tiap kota besar bisa punya lebih dari satu franchise. Orang-orang yang mampir ke restoran franchise itu jadi bahan nyinyiran. Yang membeli dan mempostingnya ke sosial media, biasanya akan mendapat teguran.
Untuk saya pribadi, ketika melihat daftar boikot, jujur saja bukan hal yang akan sulit dilakukan. Sebelum era boikot, saya sendiri jarang mengonsumsi makananan atau minuman dari brand tersebut.
Bukannya mau jadi pick me, tapi memang menurut saya sih dengan harga yang mereka suguhkan cukup mahal, rasanya kurang worth it di lidah. Itu mengapa saya agak malas beli di sana. Masih ada pilihan lainnya yang lebih enak. Juga, ada beberapa alasan lain kenapa memboikot fast food seperti McD dan kopi kekinian kayak Starbucks harusnya cukup mudah dilakukan.
Daftar Isi
#1 McD dan Starbucks banyak “duplikatnya” bahkan di pedagang kaki lima
Kalau suka menonton influencer yang doyan makan dan kasih rekomendasi tempat makan, pasti ada saja yang menawarkan kedai-kedai fast food selain McD, misalnya. Bahkan kedai burger maupun pizza di Indonesia saja sudah merajalela. Apalagi yang menjual fried chicken.
Tak jarang, bahkan dalam konten-konten burgernya, terlihat lebih enak. Biar lebih mahal pun, kalau kualitas rasanya juara ya tetap saja beda. Kedai kopi Indonesia juga sudah beragam, bahkan jauh lebih enak ketimbang Starbucks.
Kualitas rasa, penyajian, dan tempatnya nggak kalah bagus. Kalau mau versi murah, sudah banyak pedagang kaki lima yang jual. Ada burger, pizza, ayam goreng, sampai kopi. Jadi, kalau mau cari pengganti itu mudah.
#2 Kualitas rasa yang kalah dengan franchise asli Indonesia.
Bisa saja ini soal selera. Untuk lidah saya yang Indonesia banget, burger McD memang enak. Tapi, tidak akan jadi favorit. Dengan harga yang nyaris sama, saya bisa menemukan burger di kedai lokal dengan rasa yang lebih enak. Dagingnya juga juicy, lebih berasa bumbunya. Rotinya juga lembut dan enak. Bahkan daripada ayam McD, ada sepaket ayam goreng yang cukup murah dengan kualitas rasa yang sama.
Tak jauh beda dengan Starbucks. Saya bisa dengan mudah menemukan “alternatif” rasa dan kualitas yang lebih tinggi. Bahkan ketika Starbucks diboikot, saya masih bisa pilih J.Co atau kedai kopi semacam Tomoro atau Fore.
#3 Harga worth it dibanding harga
Mau dikata kaum mendang-mending, ya memang begitu saja. Dulu, kalau mau beli fast food seperti McD, pasti milih yang paketan. Sudah begitu, masih banyak altenatif tempat makan yang harganya lebih terjangkau.
Misal, mending beli nasi rames di warung bisa dapat 2 sampai 3 bungkus plus minum. Kalau makan ayam juga banyak banget alternatifnya, apalagi kopi enak kekinian.
#4 Tidak baik untuk kesehatan jika banyak dikonsumsi
Ini mungkin alasan paling umum dan klise. Makan-makanan seperti fast food juga tidak baik untuk dikonsumsi terus-terusan.
Bukan hanya untuk restoran yang diboikot ya, tapi ya untuk semuanya. Secara kesehatan memang tidak dianjurkan untuk banyak dikonsumsi. Jadi, harusnya kalau ada boikot pun bukan hal yang terlalu rumit karena keseringan mengkonsumsi fast food juga tak baik untuk kesehatan.
Penulis: Arsyanisa Zelina
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jangan Bandingkan Starbucks dengan Point Coffee, Starbucks Melawan Nescafe Classic Saja Kalah Telak!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.