Belum lama ini, saya mendapat kiriman tautan berita dari seorang kolega yang membahas pencapaian ekonomi Kabupaten Grobogan. Wilayah yang letaknya berdampingan dengan Blora, tapi secara performa ekonomi tampak melaju di jalur yang jauh lebih maju dan terarah.
Dalam berita tersebut, Grobogan tercatat berhasil meraih nilai ekspor mencapai Rp5,3 triliun. Angka ini tentu mencolok jika disandingkan dengan perolehan ekspor Kabupaten Blora yang hanya menyentuh angka Rp13,06 miliar pada triwulan pertama tahun 2025, merujuk pada Antara.
Sebagai warga Blora, saya tentu nggak gumun. Toh bukan kali pertama Blora tertinggal dibandingkan daerah tetangga. Apalagi Grobogan memang telah lama menjadi daya tarik bagi investor. Kawasan industrinya tumbuh pesat, lapangan kerja terbuka luas, dan secara tidak langsung, sebagian masyarakat Blora pun turut menggantungkan nasib ekonomi mereka pada geliat pertumbuhan wilayah sebelah.
Yang justru membingungkan adalah arah kebijakan pembangunan Blora itu sendiri. Di tengah derasnya aliran investasi di kawasan sekitar, Blora justru terlihat gamang dalam menentukan pijakan. Tidak bisa dibilang stagnan, tapi juga belum cukup layak disebut berkembang. Arah pembangunan yang tampak masih kabur ini membuat Blora terlihat seperti daerah yang berjalan, tapi tanpa tujuan yang jelas.
Pemkab berambisi menyulap Blora jadi kawasan industri
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten Blora sempat menyatakan ambisi strategis untuk mentransformasi wilayahnya—yang selama ini dikenal sebagai daerah agraris—menjadi kawasan industri. Sebuah pergeseran arah pembangunan yang tentu saja terdengar progresif di atas kertas. Mengingat, potensi wilayah yang luas dan sumber daya manusia yang tersedia.
Langkah awal pun telah dilakukan. Sejumlah lahan dikabarkan telah disiapkan sebagai calon tapak industri, dan berbagai pernyataan resmi mengafirmasi bahwa Blora ingin keluar dari ketergantungan terhadap sektor pertanian semata.
Namun seperti banyak cerita ambisi pembangunan di daerah lain, apa yang tampak dalam dokumen tidak selalu sejalan dengan kenyataan di lapangan. Hingga saat ini, realisasi rencana tersebut tampak masih tersandera oleh berbagai hambatan—baik struktural, birokratis, maupun politis.
Lebih dari sekadar hambatan teknis, tantangan utama tampaknya justru terletak pada minimnya ketegasan dan konsistensi dalam perumusan kebijakan. Pergeseran arah pembangunan yang besar semestinya disertai dengan keberanian politik, kerangka regulasi yang matang, serta kejelasan insentif bagi investor. Sayangnya, hingga kini, narasi besar industrialisasi Blora justru lebih banyak bergema di ruang publik daripada menghasilkan geliat ekonomi yang nyata.
Belum terealisasi kawasan industri, tapi sudah harus meluaskan lahan pertanian lantaran ambisi pemerintah provinsi
Sementara rencana menjadikan Blora sebagai kawasan industri masih belum beranjak dari tahap imajinasi perencanaan, Pemkab justru dipaksa aktif memperluas lahan pertanian. Target luas tanam padi dari pemerintah pusat yang awalnya 20 ribu hektare, telah dilampaui dengan capaian 25 ribu hektare pada Maret lalu.
Situasi ini jelas menampilkan paradoks arah pembangunan daerah. Alih-alih ada kejelasan strategi jangka panjang, Blora justru dibuat sibuk untuk menyesuaikan diri dengan tekanan program yang ada, dan akhirnya mengubur mimpi membangun kawasan industri yang tak kunjung nyata itu.
Padahal jika tumpang tindih antara tata ruang dan kebijakan sektoral terus berlanjut, besar kemungkinan Blora akan terjebak dalam stagnasi tanpa kemajuan nyata, yang pada gilirannya kabupaten ini hanya berputar-putar dalam labirin perencanaan yang membingungkan. Alih-alih menentukan posisi sebagai lumbung pangan atau kawasan industri, Blora justru berpotensi gagal menjalankan keduanya secara optimal.
Sebaiknya Pemkab Blora segera menentukan arah pembangunan
Melihat dinamika yang terjadi, sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Blora berani menentukan arah pembangunan secara tegas dan konsisten. Terlalu lama berada di antara dua kutub—antara industrialisasi dan pertanian—justru membuat langkah pembangunan berjalan di tempat. Pembangunan yang baik tidak diukur dari banyaknya program yang diumumkan. Tetapi dari seberapa relevan dan berdampak program tersebut bagi masyarakat di tingkat paling bawah.
Jika ambisi membangun kawasan industri tidak didukung kesiapan regulasi, infrastruktur, dan keberanian politik, lebih bijak untuk fokus pada sektor yang memang telah menjadi kekuatan Blora sejak lama. Tapi, jika tetap ingin mengejar dua agenda besar sekaligus, dibutuhkan arah yang lebih terukur. Bukan sekadar euforia gembar-gembor tanpa esensi nyata. Masak Blora mau terus-terusan jadi kabupaten yang kalah langkah hanya karena arah pembangunannya tak pernah jelas juntrungannya?
Oleh karena itu, Pemkab Blora perlu berhenti bersolek dengan retorika pembangunan dan mulai menata ulang prioritas berdasarkan kebutuhan riil masyarakat. Jangan sampai Blora hanya sibuk menyusun rencana besar tanpa pernah menghasilkan perubahan berarti. Karena pada akhirnya, masyarakat tak membutuhkan narasi yang megah. Mereka butuh kebijakan yang nyata dan terasa.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Blora, Kabupaten Kecil yang Sulit Menghargai Tokoh-tokoh Penting Daerahnya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
