Kalau bagi segelintir orang-orang kemarin merasakan sedihnya penutupan McDonald Sarinah karena menjadi tempat kenangan, khususnya oleh orang-orang yang tumbuh pada masa ’80-‘90-an. Begitu hebatnya memori nostalgia dan kenangan, PSBB dilupakan begitu saja oleh jamaah nostalgis-melankolis-impulsif.
Eh, ternyata, penutupannya cuma sementara karena bakal ada renovasi dari pengelola Sarinah. Sebuah penutupan yang kemungkinan akan ditempati kembali, namun dirayakan dengan berlebihan. Benar saja, kecaman saja datang dari semua orang yang merasa penutupan itu lebay dan tidak pantas. Wong cuma nutup satu outlet, di masa pandemi pula, tetap saja dihantam oleh banyak orang yang haus bikin konten stories Instagram.
Sebagai orang yang tidak merasakan kenangan bersama Mcdonald Sarinah, karena saya orang yang tinggal di pinggiran Jakarta dan dulu saat kecil boro-boro ke McD apalagi daerah Thamrin yang elit, saya juga nggak setuju-setuju amat. Tidak elok. Namun, saya coba membayangkan hal seperti Mcdonald jika terjadi pada tempat makan atau nongkrong yang jadi kenangan buat saya. Seperti Gusti yang menulis tulisan andai-andai berjudul Yang Terjadi jika Burjo Sami Asih Ditutup seperti McD Sarinah karena menurutnya tempat itu adalah tempat Mas Gusti bisa paham arti kemiskinan sampai membuatnya menangis.
Saya coba membayangkan sebuah tempat nongkrong di Ciputat bernama Sangkan Hurip. Sebuah warung kopi atau warkop (kalau di Jakarta dan sekitarnya, nama warkop lebih akrab dibanding burjo) yang ada di dekat kampus 2 UIN Jakarta. Warkop yang bukan sekadar warkop, tempat saya dan teman-teman mulai dari masih menjadi maba sampai sekarang sudah sibuk dengan urusan skripsi.
Walaupun ukurannya kecil, di seberang warkop ada trotoar lebar yang sering digunakan oleh para pengunjung warkop untuk duduk lesehan di bawah. Lebih enak, bisa sambil main gitar dan nyanyi sembari ngobrolin banyak hal. Kami tinggal memanggil akang warkop dan memesan apa yang ingin kami makan. Mulai dari sekadar gorengan, bubur kacang ijo, es teh manis sampai mi instan warkop yang resep nikmatnya masih jadi misteri.
Melepas penat setelah kuliah yang menghabiskan memori dan pikiran, Sangkan Hurip selalu menjadi tempat kami melampiaskan pusing. Sembari memesan teh tarik susu, gorengan, dan yang merokok membeli beberapa batang filter di warung Madura di sebelah Sangkan Hurip. Obrolan-obrolan lepas soal kuliah, percintaan, curhat-curhat manja, sampai masalah politik jadi campur. Semuanya tumpah dan sama di hadapan Sangkan Hurip.
Padahal ngobrol seperti itu bisa di mana saja, namun di Sangkan Hurip rasanya berbeda. Entah suasana pinggiran jalan Ciputat yang membuatnya syahdu, atau memang penat yang dilampiaskan membuat obrolan makin nikmat. Sangkan Hurip selalu mengundang obrolan-obrolan yang tidak pernah saya duga.
Bagi saya dan mahasiswa UIN Jakarta lainnya yang sering bersua ke Sangkan Hurip, tempat itu sudah menjadi satu kesatuan dalam menikmati malam. Dia menjadi tempat kami merayakan kebahagiaan, merayakan patah hati, dan tempat kita bersenda gurau sembari menembangkan lagu-lagu penghangat suasana. Sangkan Hurip bukan sekadar warkop, ia tempat kami menemukan sisi lain kehidupan. Halah.
Bagi mahasiswa UIN Jakarta, Sangkan Hurip juga menjadi tempat ngobrol politik kampus. Mulai dari masalah internal organisasi sampai strategi pemilihan umum mahasiswa. Entah, saya juga bingung kenapa harus ngobrol di sebuah warkop kecil yang kita saja harus ngemper di trotoar untuk bisa kumpul orang banyak.
Terkadang saat saya susah tidur dan belum terlelap ke alam mimpi, Sangkan Hurip menjadi pilihannya. Pertama, mencari angin untuk melepas pikiran sambil nikmati teh tarik susu. Kedua, kali-kali saja inspirasi datang. Beberapa tulisan saya pun lahir karena nongkrong di warkop ini. Sembari duduk, kadang-kadang mengisap tembakau, saya merenungkan masa-masa dan masalah yang telah lewat. Semilir angin, hiruk-pikuk warkop, menjadi magi yang membawa saya ke beberapa ingatan yang saya pikir saya sudah lupa.
Sangkan Hurip dan segala kenangan, meski remeh dan sederhana, ia sudah ada di sela memori saya dan para Mahasiswa UIN Jakarta yang sering ngopi di sana. Jika misalnya ia bernasib sama seperti Mcdonald, walaupun saya harap tidak, saya pikir para penikmatnya nggak akan berlebihan seperti Mcdonald Sarinah saban hari. Saya dan para penikmat Sangkan Hurip tetap akan mengenangnya dalam cerita-cerita semasa hidup, sebagai tempat yang menjadi pelampiasan penat dan tempat bercerita bersama teman-teman. Tidak perlu story Instagram, cukup jadi part of story dari kehidupan sosial masing-masing.
Setelah itu, ya kami cari warkop lain yang lebih enak. Masih ada opsi tempat ngopi yang enak di Ciputat, kok. Begitu.
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA Ini Dia Rahasia Indomie Burjo Lebih Enak dari Bikinan Sendiri dan tulisan Nasrulloh Alif Suherman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.