Barangkali, pencarian jati diri sekaligus menjadi diri sendiri adalah salah satu hal yang paling menyebalkan dalam proses menuju fase kedewasaan. Antara sulit dan biasa saja. Sulit, karena hal tersebut abstrak. Belum lagi harus beradaptasi dengan bagaimana cara lingkungan menerima perubahan sifat dan perilaku kita. Biasa saja, karena nggak perlu dipikirkan. Seiring berjalannya waktu, setiap individu akan menemukan jawabannya masing-masing dalam berperilaku dan bagaimana menemukan formula untuk menjadi diri sendiri.
Ada yang dirasa cepat, ada pula yang sedikit terlambat. Satu yang pasti, menemukan jati diri bukanlah suatu perlombaan.
Dalam pikiran yang masih mengawang-ngawang tentang bagaimana seharusnya menjadi diri sendiri, ketika mengerjakan tugas akhir sewaktu kuliah, saya memilih tema prososial—perilaku menolong. Dan subjek penelitian saya adalah anggota dari komunitas punk. Awalnya, beberapa teman termasuk dosen pembimbing ragu, “Memangnya ada, anak punk yang suka menolong?”. Tanpa pikir panjang, saya langsung meyakinkan diri sendiri, “Ada. Pasti ada”.
Sampai akhirnya, proses pencarian yang saya lakukan tertuju kepada satu nama, Mikail Israfil alias Mike Marjinal. Gitaris band beraliran punk, Marjinal. Sekaligus pendiri komunitas Taring Babi, yang berlokasi di kawasan Setu Babakan, Jalan Setiabudi, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Rasanya ada suatu kebanggan tersendiri bisa berkunjung ke lokasi tersebut dan berbincang banyak dengan Mike tentang punk, prososial, sekaligus makna menjadi diri sendiri.
Tampilan Mike memang seram, laiknya anak punk. Namun, saya coba memberanikan diri untuk masuk ke markas Taring Babi, tanpa diduga, saya disapa dengan ramah. Sangat ramah. Oleh Mike, juga beberapa orang lainnya, yang kebetulan sedang ada di sana.
Tidak lama setelah diizinkan duduk, saya sempat terkejut ketika di sudut ruangan Taring Babi, ada quote yang ditulis dengan jelas dan tegas, “Di sini bukan tempat untuk menjadi punk. Di sini bengkel untuk menjadi dirinya sendiri”.
Cukup filosofis. Namun, ada yang mengganjal dalam pemikiran saya. Taring Babi ini kan termasuk komunitas punk, lalu, kenapa ada tulisan demikian? Agar tidak larut dalam asumsi, saya memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Mike.
“Bang Mike, Taring Babi ini kan basic-nya komunitas punk, tapi, kok ada tulisan seperti itu di sana?”
“Taring Babi itu terbuka untuk siapa aja. Bahkan, temen-temen mahasiswa yang dari luar pulau sering mampir ke sini. Untuk penelitian, sekadar main. Ketika orang berkunjung ke sini (Taring Babi), nggak ada batasan. Mereka bebas jadi seperti apa yang mereka mau. Karena gue memaknai punk itu sebagai kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Tanpa peduli omongan orang lain, tapi tetap harus tanggung jawab sama apa yang dilakukan”. Tegas Mike.
Jawaban tersebut betul-betul saya simpan dalam long term memory. Selain, sudah saya abadikan juga dalam salah satu lembar skripsi yang saya tuntaskan. Sejujurnya, insight tentang bagaimana menjadi diri sendiri saya dapatkan dari Mike, saat bertandang ke Taring Babi.
Maklum, karena menjadi diri sendiri, bagi saya, di lingkungan sekitar masih dianggap tabu. Ketika seseorang berekspresi dan menjadi dirinya sendiri sering kali dibatasi. Juga tak luput dari caci maki orang di sekitar. Alih-alih diberi apresiasi, malah ditegur karena tidak sesuai dengan jati diri bangsa dan budaya timur. Dan ini terjadi dalam beberapa hal.
“Di Taring Babi, semua orang bebas berekspresi, berkreasi. Mau bermusik boleh, nyablon boleh, membuat ukiran di kayu, bikin grafiti, terserah. Selain biar bisa berdikari”. Lanjut Mike.
Di ruang tengah, ada rak khusus untuk koleksi buku. Ada banyak buku yang disusun dengan rapi di sana. Sesuatu yang tidak saya pahami sebelumnya, karena saya pikir kehidupan punk dihabiskan dijalanan. Memangnya, ada waktu untuk membaca buku?
“Bang Mike, di sana ada buku bertemakan apa aja?”, tanya saya.
“Oh, ada tentang seni, budaya, musik, politik, sama bacaan anak-anak juga ada. Kalau mau baca atau pinjam, baca aja. Lo kalau di sini santai aja, lah.”, jawab Mike.
Mike menegaskan, jadi punk itu wawasannya harus luas, dan membaca buku adalah salah satu perantaranya. Saya juga bisa memahami kenapa sampai ada buku untuk anak-anak. Karena selama saya mengobrol dengan Mike, ada banyak anak-anak yang mondar-mandir masuk ke Taring Babi. Anak para tetangga. Mereka banyak yang menghampiri Mike, mengajak bercanda, atau sekadar meminjam buku.
“Siapa penulis yang paling dikagumi dan memengaruhi kehidupan Bang Mike?”
“Pramoedya Ananta Toer dan gue kagum dengan profil seorang Tirto Adhi Soerjo”, cerita Mike.
Soal konsep punk dan korelasi menjadi diri sendiri, Mike menegaskan kembali bahwa, punk itu mengarah kepada membangun semangat atau kesadaran individual untuk mengenali sekaligus menjadi diri sendiri. Siapa pun yang menjadi diri sendiri tanpa menghiraukan omongan orang lain (dengan tetap berani bertanggungjawab atas segala sesuatu yang dilakukan), ya dia punk.
Dan rasanya, teori resonansi memiliki andil cukup besar atas pertemuan saya dengan Mike untuk keperluan menyelesaikan skripsi. Saya meyakini, tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini. Di kala saya bingung tentang konsep menjadi diri sendiri, saya mendatangi Mike di Taring Babi beberapa tahun silam. Cukup dengan penjelasan sederhana, saya seperti sedang mendapat tutorial untuk menjadi diri sendiri.
BACA JUGA Taring Babi, Komunitas Punk yang Memberi Inspirasi dan tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.