Sekolah di lembaga pendidikan favorit selalu menjadi impian bagi banyak orang. Terlebih jika sekolah tersebut telah membuktikan prestasinya dalam hal pencapaian akademis maupun non-akademis. Selain prestasi dan infrastruktur, ada satu hal jelas yang bikin sekolah favorit kentara bedanya dengan sekolah biasa: “biaya” pergaulan.
Sebagai mantan siswa dari salah satu sekolah favorit, saya setuju bahwa biaya pergaulan di sekolah favorit memang mahal dan merupakan sebuah kenyataan yang tak terelakkan.
Upaya pemerintah untuk membikin kualitas sekolah rata nyatanya tetap terhantam dengan realitas biaya pergaulan yang jelas bikin antarsekolah berbeda.
Nggak les, nggak kekejar
Saya ingin berbagi pengalaman saya selama bersekolah di sekolah favorit. Sekolah saya, baik SMP maupun SMA, adalah sekolah negeri yang secara konsisten masuk dalam peringkat lima besar hasil ujian nasional. Bagi kami, bersekolah di sekolah favorit adalah suatu kebanggaan dan prestasi yang harus dijaga. Namun, kenyataan di lapangan adalah bahwa bersekolah di sekolah favorit tidaklah mudah dan juga tidak murah, terutama karena adanya apa yang bisa disebut sebagai “biaya pergaulan.”
Pertama-tama, biaya pergaulan di sekolah favorit ini terlihat dari berbagai pelajaran tambahan atau les yang hampir seluruh teman sekelas saya ikuti. Hal ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran kami. Mungkin ada yang bertanya, “Apa yang terjadi jika seseorang tidak mengikuti les tambahan?” Jawabannya sederhana: mereka akan merasa tertinggal dan terdorong untuk belajar ekstra agar sejajar dengan teman-teman mereka yang mengikuti les tersebut. Inilah yang menjadi dilema di sekolah favorit; terdapat tekanan tak tertulis untuk menjadi yang terbaik.
Fasilitas yang siswa sekolah favorit butuhkan
Namun, hal yang tak boleh diabaikan adalah kebutuhan akan fasilitas penunjang pendidikan yang memerlukan investasi yang tidak murah. Laptop atau notebook, misalnya, adalah perangkat yang umumnya diperlukan dalam era digital ini. Bagi beberapa orang tua, mungkin berat untuk membeli perangkat ini karena harganya yang tinggi. Hal ini dapat membuat anak merasa minder atau bahkan kesulitan untuk berinteraksi dengan teman-teman yang mungkin memiliki akses lebih baik ke teknologi.
Seiring dengan itu, kisah anak yang kehilangan laptop di dalam lingkungan sekolah menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya pengawasan dan pendidikan etika. Guru SMP saya bercerita ada kakak kelas saya yang kehilangan laptop yang diambil oleh temannya sendiri. Cerita seperti ini memang tidak akan pernah diceritakan ke publik atau khalayak ramai. Hal ini dilakukan untuk menjaga nama baik sekolah, juga murid.
Baca halaman selanjutnya
Standar yang lebih tinggi, jauh lebih tinggi