Biarkan Kematian Merayakan Kehidupan: Kisah tentang Maut dan Hidup yang Saling Bertaut

Biarkan Kematian Merayakan Kehidupan Kisah tentang Maut dan Hidup yang Saling Bertaut Terminal Mojok

Biarkan Kematian Merayakan Kehidupan Kisah tentang Maut dan Hidup yang Saling Bertaut (Buku Mojok)

Judul: Biarkan Kematian Merayakan Kehidupan
Penulis: Awi Chin
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: 228 halaman
Tahun Terbit: 2022

Semestinya kematian adalah hal yang maklum dan niscaya dalam hidup. Namun, itu bisa menjadi indah bahkan mengerikan begitu dibenturkan dengan bagaimana kematian itu “semestinya” terjadi. Mengapa kita menyayangkan kematian seorang berbudi baik dan merutuk hidup seorang bajingan yang tak kunjung berakhir? Apa hak manusia menuntut ideal di hadapan sang maut? Toh, sama-sama ujung dari hidup.

Ajal pasti bertemu. Itu sudah suratan. Namun, kematian bukan sekadar halaman pemungkas dari lembaran kehidupan. Ia hadir guna menandaskan betapa maut dan hidup saling bertaut.

Buku Biarkan Kematian Merayakan Kehidupan ini hadir mencoba mengurai kelindan tersebut. Kumcer yang terdiri dari 16 kisah ini akan membawa pembaca kepada suasana yang senyap dan pengap. Hampir setiap cerita di dalamnya menggandeng maut sebagai bayang-bayang nyata yang setia menemani.

Bau anyir dalam setiap kisahnya seperti menusuk mata dengan imaji-imaji menyeramkan yang gamblang. Deskripsi peristiwa dari satu cerita ke cerita lainnya mengilustrasikan hal-hal nanar yang tak bisa diamini oleh akal sehat manusia. Maka wajar apabila di awal buku, Awi Chin selaku penulis memberi peringatan bahwa cerita-cerita dalam bukunya ini bisa mengganggu pikiran bagi pembaca yang memiliki problem kesehatan mental yang kurang stabil dan tidak siap membaca baris demi baris kekejaman yang digambarkan secara eksplisit.

Membaca kalimat per kalimat dalam Biarkan Kematian Merayakan Kehidupan ini seperti merapalkan mantra-mantra kematian. “Kematian” adalah “nyawa” dari buku ini. Ia diobral, dikais, dan dipilin sebegitu rupa terus-menerus hingga gulungan cerita usai bersamaan menutup buku.

Namun, “mati” di sini bukan saja melulu tentang maut. Mati-mati yang lain juga ikut dipersoalkan dalam buku setebal 228 halaman ini. Matinya nalar, naluri, dan nurani kemanusiaan turut menghiasi setiap dinding ceritanya. Tak heran bila cerpen-cerpen dalam buku ini juga sedikit menyinggung perihal sosial, sejarah, moralitas, dan tradisi yang lekat dengan kehidupan kita.

Penyesalan abadi sepasang kekasih remaja yang melakukan aborsi, ambisi buta seorang pengayau, enumerator penyu yang dipenjara karena totalitasnya, dan legenda Tragedi Mandor hanya segelintir kisah pilu mengiris hati yang akan kamu dapati dari Biarkan Kematian Merayakan Kehidupan. Betapa nyawa dan hak hidup manusia bisa begitu murah dan mudah direnggut oleh sesamanya hanya demi kepicikan dan nafsu keserakahan yang semu.

Tak hanya itu, harga hidup seseorang juga ternyata ditentukan dari identitas yang melekat pada dirinya. Itu digambarkan begitu ironis, tapi amat sukar dibantah realitasnya. Sejarah sudah banyak mencatat kengerian semacam itu dan masih terus bertambah daftarnya hingga hari ini.

Kisah pasutri Tionghoa Aliong-Amoy dalam cerpen berjudul Elegi Sekeping Pagi, misalnya. Nelangsa kaum minoritas yang hidup dalam perundungan menampar kita seolah-olah level kebajikan manusia bisa ditentukan berdasarkan etnis semata. Betapa kejamnya sebuah fitnah itu dan betapa keji orang-orang yang mengamininya dan melahirkan stigma karenanya kemudian.

Selain itu, ada juga cerita-cerita yang mengangkat tentang isu lingkungan. Pembakaran hutan demi tambang ataupun penggusuran hutan adat demi pembukaan lahan sawit yang dianggap lebih prospektif, eksistensi flora dan fauna endemik yang tidak lagi diperhatikan, sampai kerusakan ekosistem laut yang begitu memprihatinkan dibahas di sini.

Karena banyak mengambil latar tempat di Kalimantan, kita pun akan akrab dengan deskripsi yang melekat dengan hal ihwal lokalitasnya. Penggambaran Sungai Kapuas, cerita-cerita lokal yang legendaris, dan bahasa daerah yang khas menjadi nyala warna sepanjang membalik halaman demi halaman. Kalau kamu orang Kalimantan, khususnya Kalbar, mungkin akan mengalir saja ketika membaca cerpen satu ke cerpen selanjutnya. Namun, buat kamu yang belum akrab atau bahkan baru mengenal bahasa dan dialek khasnya, tentu perlu adaptasi lebih untuk mencernanya. Tapi, itu juga bagus, bisa jadi wawasan baru.

Dari segi penulisan, sebagian besar cerpen dalam Biarkan Kematian Merayakan Kehidupan menggunakan sudut pandang orang pertama, dan di antaranya dituliskan secara bergantian menurut perspektif dua tokoh yang berbeda. Ditambah, ada beberapa cerita menggunakan alur waktu maju-mundur. Maka dari itu, perlu kecermatan lebih guna mengimajinasikannya, baik dari segi sudut pandang penceritaan maupun kronik cerita.

Dua tema lain yang cukup menarik dalam buku ini adalah tentang agama dan cinta. Kisah Yusuf yang memutuskan menjadi mualaf dan diusir oleh sang papa, pengakuan dosa sepasang “kekasih terlarang”, dan nestapa pendaki muda yang bunuh diri di “tangga surga” adalah cerita-cerita yang bisa kita refleksikan bersama.

Benarkah agama yang selama ini kita imani adalah pilihan kita sendiri, ataukah itu merupakan warisan orang tua? Lalu, bisakah kita berlapang dada dengan keputusan beragama orang-orang terdekat kita meskipun kelak harus rela berbagi surga yang tak sama?

Semua orang ingin masuk surga, tetapi kebanyakan dari mereka takut pada kematian. Namun, ungkapan tersebut sepertinya tidak lagi berlaku bagi orang yang tidak lagi memiliki ketertarikan dengan dunia ini. Tokoh bernama Nehemia dalam cerpen kesembilan di buku ini adalah salah satunya.

Nehemia adalah seorang penggembala kerbau yang jatuh hati kepada putri tuannya, Lai Bunga. Sayangnya, perbedaan kasta antara dirinya yang seorang Kaunan dan kekasihnya yang adalah seorang Tandirerung, membuat jalinan kasih mereka tak direstui. Kesedihan Nehemia semakin larut ketika mendapati Lai Bunga memutuskan gantung diri di Pohon Tarra daripada harus hidup bersama laki-laki lain yang tidak dicintainya.

Tetapi, adakah cinta yang sehidup semati itu sesungguhnya? Bagi Nehemia, ia mengamininya dengan menyusul sang kekasih ke alam yang baru. Mungkin, hanya dalam kematian, cinta mereka bisa semurni air mata. Tiada lagi kesedihan, tiada lagi perkabungan. Dan barangkali, kematian memang lebih ramah dalam menerima nirmala cinta, alih-alih kehidupan yang sarat akan sekat dan syarat.

Meski penuh kegetiran, buku Biarkan Kematian Merayakan Kehidupan ini ditutup dengan “manis” dengan cerpen terakhir yang berjudul sama dengan judul buku. Adalah guratan penuh haru seorang laki-laki yang ditinggal mati istri tercintanya dan mesti membesarkan si buah hati seorang diri.

Cintanya kepada sang istri begitu dalam. Tidak ada yang bisa mengalahkan kuatnya perasaan itu selain kerinduannya yang sering kali datang tiba-tiba dan membuatnya tercekat setengah mati. Tetapi, oh, Maha Besar Tuhan dengan segala kuasa-Nya. Kematian satu orang bisa berarti kehidupan bagi yang lainnya. Karena, ya, hidup ini mungkin memang fana, tetapi ia sadar bahwa rasa cintalah yang membuatnya kuat. Bukankah keberanian untuk tetap menjalani hidup sudah cukup berarti untuk menegaskan keberanian menghadapi mati yang sewaktu-waktu menghampiri?

Tidak akan ada hidup tanpa adanya mati, dan begitupun sebaliknya. Keduanya saling bertaut dan silang-menyilang memberi arti satu sama lain.

Toh, hidup sudah sebentar, mengapa buru-buru?

Penulis: Lindu Ariansyah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Perjalanan Penuh Makna dan Misteri Bersama Oskar Belajar Pergi.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version