Sepertinya saya tidak perlu menjelaskan definisi istilah ta’aruf kepada khalayak. Semua warga sepertinya cukup familiar dengan istilah ta’aruf sebagai sebuah proses menuju pernikahan dan mengeksekusi dorongan seks. Alih-alih menjadi metode paling aman untuk menghindari zina, kini mendapatkan cap sebagai bentuk pacaran islami. Duh, tidak sesederhana itu, Jubaedah!
Apalagi ditambah merebaknya oknum ta’aruf-ta’arufan yang menjamur di lini masa berbarengan dengan meningkatnya jomblowan dan jomblowati bucin kepercayaan kawula muda bahwa pacaran bukan satu-satunya metode untuk melangkah menuju pernikahan. Semakin memperkuat stigma kaum yang mengaku lebih percaya kepada ustaz yang menikahkannya daripada nyari sendiri. Oknum tersebut, adakalanya tidak memunculkan solusi malah menambah masalah.
Belum selesai stigma seperti membeli kucing dalam karung, ditambah fenomena yang menambah stigma ta’aruf hanya menambah penilaian maha bucin bagi kawula hijrah yang budiman. Hasilnya, orang-orang tambah tidak percaya metode ini dapat melanggengkan pernikahan hingga maut menjemput. Daebak!
Maka dari itu, sebagai seseorang yang terbilang dekat dengan lingkungan yang mengenal proses ta’aruf sebagai mekanisme mencari jodoh, tentunya proses yang masih sahih, konservatif, dan tidak dibumbui neko-neko, saya akan memberikan penjelasan kepada saudara sekalian agar tidak terjebak dalam dekapan oknum-oknum rusuh tersebut.
Begini, akhina wa ukhtina rahimahullah. Saya akan memberikan gambaran proses ta’aruf yang masih sahih. Maaf jika yang saya paparkan berbeda dengan pengalaman panjenengan, karena biasanya proses ini cukup privat.
Setiap pihak memiliki perantara
Pihak laki-laki atau perempuan tidak bisa saling kenalan mandiri. Pasti ada perantara. Biasanya perantaranya adalah guru ngaji laki-laki dan guru ngaji perempuan. Guru ngaji itulah yang akan mempertemukan mereka berdua dan mendampingi selama proses ta’aruf. Perantara tersebut biasanya adalah seorang yang cukup kenal dengan pihak yang akan melangsungkan proses ta’aruf, bijaksana, dan berpengalaman. Teruji secara logis dan empiris pokoknya, gak kaleng-kaleng.
Biodata masing-masing pihak berada dalam kuasa perantara
Untuk saling mengenal, kedua pihak memakai biodata atau curriculum vitae atau biasa disebut proposal ta’aruf. Proposal tersebut dapat dibuat ringkas atau dibuat sepanjang proposal anggaran dana. Proposal tersebut harus dapat menjelaskan sejujur-jujurnya dan sebenar-benarnya tentang diri sendiri. Nah, proposal itu nanti dipasrahkan kepada perantara untuk kemudian diperiksa dan bisa jadi direvisi. Jadi, gak cuma skripsi atau kerjaan saja yang revisi, Jubaedah. Mau nikah pun juga banyak revisinya. Setelah proposal tersebut beres, baru diserahkan kepada perantara pihak lain. Gak ada yang namanya tuker-tukeran sendiri apalagi nyebar data pribadi di grup whatApps dan tinggal milih salah satu. Lu kira lelang keperawanan?
Interaksi kedua pihak didampingi perantara
Taaruf nggak mengenal jadwal ngopi berdua untuk membicarakan biodata yang sudah dituker. Apalagi membahas hobinya apa sampai mau punya anak berapa. Seluruh interaksi berada dalam pendampingan perantara, termasuk dalam hal chat. Intervensi teknologi sebatas memberikan ruang semacam grup whatApps yang isinya tidak hanya berdua melainkan juga kedua perantara. Jadi, jangan harap bisa nyicil sayang-sayangan. Tiap pihak pun juga dengan sadar tidak melakukan interaksi intim di luar grup, masing-masing sadar. Bahkan bisa jadi tidak saling menyimpan nomor. Otomatis gak bisa lihat-lihatan status whatApps dan mengira-ngira apakah ini untukku?
Tidak menutup peluang untuk saling mengenal
Begini, ta’aruf tidak serta merta membuatmu membeli kucing dalam karung. Apabila masing-masing pihak sepakat untuk melanjutkan ta’aruf ke jenjang ta’aruf yang lebih sempurna, maka pembahasan juga akan lebih personal. Mulai dari melihat fisik calon, memberikan pemaparan tentang latar belakang ataupun cita-cita, kepribadian, kebiasaan, sampai masalah menstruasi dan pengen punya anak berapa, bisa masak apa nggak, dan lain-lain dapat dikomunikasikan saat ta’aruf.
Guna meminimalisir konflik yang seharusnya sudah tuntas sebelum menikah. Pihak yang berta’aruf dan pihak perantara menginginkan pasangan yang memiliki gambaran awal tentang seseorang yang akan menikah dengannya. Perantara juga bukan seseorang yang mutlak menjadi orang tua. Karena pihak yang berta’aruf pun juga dapat meminta izin kepada orang tua biologis jika ingin menikah dengan seseorang. Pihak yang berta’aruf pun juga harus membuka saran dan masukan, kesetujuan dan ketidaksetujuan. Komunikasi dijalankan dengan baik meski melewati perantara.
Tidak menyimpan perasaan lebih dalam terlebih dahulu
Salah satu hikmah dari ta’aruf adalah kedua pihak yang belum terlalu menyimpan perasaan cinta. Sehingga jika proses tidak dilanjutkan karena suatu alasan, kalau jatuh nggak terlalu sakitlah. Bahkan gak sakit sama sekali. Seringkali, yang membuat kita patah hati adalah ditinggal saat sayang-sayangnya. Sudah nyaman eh nggak jadi. Sontoloyo.
Ta’aruf sejatinya bukan menggantung orang terlebih dahulu sembari menyiapkan mental dan finansial menuju pernikahan. Ketika sudah yakin ta’aruf kedua pihak adalah pihak yang dinilai sudah siap untuk menikah. Sehingga, jikalau menikah lima menit lagi pun tidak masalah.
Bukan main-main macam tarik ulur perasaan saja, akhi. Pas ditanya kapan lamar malah chat jadi centang satu dan gak ada foto profilenya.
Terserah panjenengan mau menggunakan metode pencarian jodoh dengan ta’aruf yang sahih ini atau tidak yang penting hormati mereka-mereka yang sudah berusaha menggenapkan separuh agamanya lewat jalan ini. Terserah pula jika masih mau pakai oknum pencarian jodoh, yang penting pakai otak ya.
BACA JUGA Serba Serbi Persiapan Sebelum Menikah atau tulisan Aisha Rara lainnya. Follow Facebook Aisha Rara.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.