“Anak komunikasi kerjanya jadi apa, sih, nanti? MC ya?”
Ini pertanyaan-pertanyaan konyol yang selalu saya dapat dari banyak orang. Tapi biasanya sih ini lebih banyak keluar dari para orang tua yang nggak tahu pentingnya ilmu ini. Pasalnya, pertanyaan seperti ini juga jadi salah satu alasan kenapa saya males pulang kampung. Apalagi pas ketemu pakde, “Komunikasi? Kok nggak ambil kedokteran?” Astaga, dikira semua orang cocok dan sanggup kuliah kedokteran kali, ya.
Ilmu Komunikasi memang terbilang belum banyak peminatnya. Kalaupun iya, biasanya kurang bisa diterima sama orang tua dan keluarga besar. Jiahh.
Banyak orang mungkin belum tahu betapa krusialnya perusahaan atau bahkan lembaga pemerintahan yang nggak punya divisi komunikasi. Yang jelas, mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi di banyak kampus, terkenal selalu kece-kece. Apalagi saya, dari universitas negeri yang passing grade Ilmu Komunikasinya bagus. Hmmm, sombong~
Betul, ilmu komunikasi itu nggak cuma belajar banyak ngomong doang. Tapi juga bagaimana kita bisa memberikan pesan kepada receiver dengan baik dan juga tepat. Dan tampaknya, ini jadi salah satu alasan kenapa banyak masyarakat heboh menghadapi wabah virus corona di Indonesia. Pemerintah belum punya komunikasi yang baik kepada publik.
Banyak pejabat publik yang kalau ngomong suka seenaknya sendiri, tanpa memikirkan bagaimana dampaknya pada masyarakat. Padahal dalam ilmu komunikasi ada satu kalimat acuan yang penting diterapkan: who says what in which channel to whom with what effect. Tentu saya bukan ahli di bidang komunikasi, saya cuma sarjana Ilmu Komunikasi yang hanya bisa sambat lihat cara berkomunikasi pejabat-pejabat publik kita.
Tentu masih banyak yang ingat bagaimana dr. Terawan merespons pertanyaan: kenapa Indonesia belum ada kasus corona? Beliau mengatakan belum adanya corona di Indonesia karena kekuatan doa. Hah?
Saat pertama kali ada kasus corona di Indonesia, dr. Terawan bersama Presiden saat itu mengumumkan kasus pertama di istana negara. Duduk di sofa, wartawan pun ngariung duduk lesehan di bawah di-setting dengan kesan santai. Saya tekankan sekali lagi, saya bukan pakar komunikasi, tapi menurut saya ini bukan komunikasi yang baik dari pemerintah ke publik.
Kalau dilihat dari setting dan gestur pejabat-pejabat ini menanggapi pertanyaan media, seolah tidak serius menangani kasus ini. Atau ya, memang pejabat kita dikenal dengan citra yang santai. Tidak terlalu penting bagaimana komunikasi terhadap publik, yang penting kerja, kerja, kerja. Gitu ceunah…
Virus corona di Indonesia semakin hari ternyata semakin meningkat, warga dibuat dag dig dug dengan pernyataan pers meningkatnya jumlah kasus positif. Lagi-lagi, dr. Terawan mengatakan ini bukan virus mematikan. Padahal sampai tulisan ini dibuat sudah ada 48 orang meninggal akibat virus ini. Tanpa ingin membuat panik, dr. Terawan kembali menganjurkan kita untuk terus berdoa kepada Tuhan, agar diselamatkan dari virus corona. Mohon maaf, bapak ini kan Kemenkes ya, yang kita harapkan itu pernyataan saintifik, bukan malah sekadar minta masyarakat berdoa.
Di tengah peliknya kasus corona, Menteri Dalam Negeri, Pak Tito, juga ikut angkat bicara. Meskipun sebenarnya sama saja. Intinya, beliau mengajak masyarakat untuk tetap tenang, ini bukan penyakit mematikan, dan jangan lupa berdoa. Selain beliau berdua, ada lagi yang juga suka mengajak masyarakat berdoa.
Masih ingat ribut-ribut soal kabut asap yang melanda Riau dan Kalimantan tahun lalu? Pak Moeldoko merespons kasus tersebut dengan membuat cuitan di Twitter yang intinya mengatakan, “Musibah tersebut datangnya dari Allah.” Dia pun menambahkan, “Yang kita perlukan bukan mengeluh tetapi meminta pertolongan dari Allah.”
Terima kasih, Pak. Kami jadi rajin berdoa, kenapa Tuhan memberi banyak cobaan dengan punya pejabat seperti Anda sekalian di negeri tercinta ini.
Sikap blunder para pejabat ini ternyata belum berhenti sampai situ, Gengs. Di tengah meningkatnya kasus yang positif tentu juga ada pasien yang sembuh. Kemenkes kita kembali beraksi dengan membuat acara seremonial akan kesembuhan 3 pasien pertama kasus positif corona di Indonesia. Acara dibuat sederhana dengan pemberian simbolik jamu kepada warga yang katanya diracik oleh Bapak Presiden. Padahal jelas saat itu adalah masa-masa genting, di mana masyarakat diharapkan untuk menerapkan social distancing demi menahan penyebaran virus tersebut. Ini malah bikin acara seremonial.
Dalam komunikasi memang ada gimmick yang perlu dibuat demi menarik perhatian. Kalau acara ini adalah bagian dari gimmick untuk bikin masyarakat bingung, maka, ya, berhasil, Pak! Kami semua bingung. Hadeeeh. Dalam ilmu komunikasi, untuk menyampaikan suatu pesan memang memiliki cara yang berbeda-beda, menyesuaikan target audiensnya. Tapi sampai saat ini pun saya tidak berhasil mendapat pesan yang ingin disampaikan beliau melalui acara tersebut.
Dalam penanganan corona ini, banyak kalangan menilai pemerintah tidak transparan dan tidak memiliki komunikasi pada publik yang baik. Bahkan di beberapa pemberitaan, pemerintah sempat mengatakan ada hal yang tidak disampaikan demi meredam kepanikan publik. Beberapa data ada yang tidak dikeluarkan pada publik, seperti lokasi yang sudah didatangi para pasien positif corona. Padahal hal ini justru dinilai mampu meredam penyebaran virus.
Yang bikin heran, memang pemerintah dan para pejabat ini tidak punya tim komunikasi, ya? Kalau tidak, mungkin bisa mulai mempertimbangkan. Banyak senior dan teman saya yang ahli di bidang komunikasi, kok. Dan saya yakin, mereka bisa membantu kesulitan Anda sekalian yang sedang punya jabatan.
Kalau sudah seperti ini, masih tanya anak komunikasi kerjanya apa? Hah?
BACA JUGA Petugas Medis Boleh Dianggap Pahlawan, tapi Jangan Lupa Mereka Juga Korban atau tulisan Ayu Henidar Mulyara lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.