Meski sudah lulus dari almamater tercinta, UIN Walisongo Semarang, sampai saat ini saya masih sering menyempatkan diri main ke Ngaliyan. Tak lain untuk sekadar ngopi, temu kangen, atau bahkan main badminton bareng teman-teman yang melanjutkan studi di sana. Selain itu, jarak antara Mranggen dan Ngaliyan nggak terlalu jauh, jadi nggak ada salahnya kan kalau saya ikut nimbrung mendengarkan keluh kesah beberapa teman yang melanjutkan studi S-2 mereka di UIN Walisongo.
Biasanya, saya berangkat dari rumah ke Ngaliyan pada pagi hari dan pulang siang harinya. Atau kadang juga berangkat sore hari kemudian menginap di sana dan pulang ke Mranggen esok siangnya. Memilih pulang ke Mranggen pada siang hari bukannya tanpa pertimbangan. Sebab, di sore hari umumnya jalanan dari Ngaliyan ke Mranggen sangat macet. Makanya untuk menghindari kemacetan di jalan, berkendara di siang hari bukanlah pilihan yang salah.
Namun kalau dipikir-pikir, berkendara dari Ngaliyan ke Mranggen di siang hari lama-lama memang bisa bikin kepala menguap. Sebab, ada banyak faktor yang akan membuat pengendara jadi gampang emosi, gerah, bahkan dehidrasi! Nggak percaya?
Panasnya nggak kira-kira
Saya kurang tau, kalau dibandingkan, lebih panas Bekasi atau Semarang. Namun yang pasti, bagi saya, Semarang itu panas. Bahkan suhu udara di Kota Atlas ini mencapai 36 derajat Celcius di siang hari!
Berkendara dari Ngaliyan ke Mranggen saat sedang panas-panasnya ini tentu bikin kulit jadi belang. Ini beneran, lho. Biasanya setelah pulang dari Semarang, tangan saya jadi belang.
Selain itu, panasnya Semarang bukan cuma berasal dari terik matahari, tapi juga dari mesin kendaraan yang berada di samping kanan kiri saat kita sedang berada di jalanan. Bayangkan saja, di tengah kondisi jalanan yang macet, kita harus berhadapan dengan truk tronton dan kendaraan besar lainnya di sepanjang jalan. Tentu saja hal ini akan menyiksa saya sebagai pengendara sepeda motor.
Baca halaman selanjutnya: Lampu merahnya nggak ngotak…