Seiring dengan laju persebaran COVID-19 yang semakin tinggi, kita semakin terkekang dalam menjalankan aktivitas sehari-hari—yang pada akhirnya memaksa kita untuk mengisolasi diri di rumah saja. Sejak terjadi pandemi ini terjadi, internet jadi satu-satunya jendela yang membuat kita tetap bisa terhubung dengan dunia luar melalui ruang virtual.
Selain terbatasnya gerak, penutupan berbagai layanan publik juga membatasi aktivitas kita. Akhirnya, kita harus mencari cara lain untuk tetap bisa produktif seperti hari-hari biasanya. Sebagai alternatif, banyak platform aplikasi digital menawarkan banyak layanan yang bisa mendukung produktivitas kerja, salah satu yang paling populer saat ini adalah aplikasi Zoom.
Zoom merupakan aplikasi komunikasi video besutan Eric Yuan dari Zoom Video Communications, Inc, asal Amerika Serikat yang memungkinkan penggunanya melakukan percakapan kolektif, konferensi video maupun audio, hingga webinar menggunakan platform cloud yang dapat diakses melalui berbagai perangkat seluler, dekstop, dan sistem ruang. Adakah diantara kalian yang pernah atau bahkan masih menggunakan Zoom sampai saat ini? Berhati-hatilah!
Kenapa harus berhati-hati?
Well, sebelum saya jelasin kenapa, saya mau cerita dulu awal perkenalan saya dengan aplikasi ini.
Awalnya saya nggak tahu apa itu Zoom. Namanya emang familiar tapi sebagai fitur di kamera, teropong, mikroskop, teleskop, atau kaca pembesar awokawok. Oh, ternyata aplikasi video call.
Aplikasi ini masih terasa asing hingga sampai pada hari di mana Zoom tiba-tiba menjadi salah satu aplikasi paling popular yang kini banyak digunakan, baik di rumah sakit, perkantoran, perusahaan, sekolah, kampus, hingga instansi besar lainnya. Tak heran jika Zoom menjelma seperti kebutuhan, terutama bagi para mahasiswa yang saat ini harus melanjutkan pembelajaran melalui kelas online.
Hal ini cukup mengejutkan, mengingat pasar industri konferensi video banyak diisi oleh produk dari sejumlah nama-nama besar seperti Apple, Google, Facebook, Skype, Cisco, CloudX, Webex, hingga Microsoft. Setelah sukses merebut pasar—yang entah bagaimana caranya—Zoom ini muncul di permukaan dan menjadi pemain (pilihan) utama yang identik dengan “konferensi video:”.
“Konferensi video? Zoom, aja”
“Awalnya saya bingung, tapi setelah ada zoom saya jadi tercerahkan”
“Zoom, membuat pekerjaan saya lancar tanpa beban! ”
Sebenarnya apa sih yang menarik dari Zoom? Jawabannya adalah sangat mudah untuk memulai dan digunakan. Seperti dilansir dalam artikel berjudul “Zoom Is a Nightmare. So Why Is Everyone Still Using It?” oleh Simon Pitt:
“One click, we were in, and there were 25 feeds of participants at the same time”, dan “We were like, ‘What is this voodoo?”, ucap Jim Mercer
Jim Mercer, seorang kompetitor asal platform GoToMeeting pun dibuat terkesima dengan sederhananya fitur yang diusung pada percobaan pertamanya menggunakan aplikasi Zoom. Hingga peneliti keamanan, Jonathan Leitschuh pun ikut terkejut dengan fitur luar biasa yang kemudian ia sebut dengan “Black Magic“. Pernyataan tersebut pun tersebar ke seluruh komunitas keamanan dan menjadi populer di industry digital.
Mendengar pernyataan tersebut, kalian pasti berpikir bahwa Zoom adalah aplikasi yang luar biasa, kecuali jika kalian mengikuti pemberitaan mengenai eksploitasi keamanan cyber. Yups, yang di maksud dengan black magic lebih seperti penggambaran keajaiban atau kesepakatan yang sesat. Kok gitu? Nah, tahukah kalian bahwa Zoom terkenal mengabaikan isu keamanan dan privasi serta berbagai rumor negatif mengenai pengembangannya?
Sebelum pandemi COVID-19, Zoom ditemukan telah diam-diam menggelontorkan sejumlah uang demi menginstal perangkat lunak guna mem-bypass mekanisme keamanan untuk mendukung fitur kemudahan mereka. Perangkat ini membuka celah keamanan sehingga memudahkan para peretas mengakses data dan webcam para penggunanya diam-diam. Itu bukan yang paling buruk, selain rentan malware, bahkan setelah kamu menghapus aplikasi tersebut dari perangkatmu, bug aplikasi masih akan tetap ada. Kalau kata Professor Ilmu Komputer Princeton, Arvind Narayanan, Zoom itu “privacy disaster“.
Masih ingat mengenai berita beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa terjadi banyak peretasan akun Zoom? Yes, ternyata itu bukan hanya desas sesus semata, loh. Seperti dilansir Forbes, ada sekitar 500.000 akun Zoom yang disebarluaskan gratis secara ilegal di situs kriminal hacker, Dark Web. Buat suhu-suhu a.k.a master yang pernah ikut andil mengakses situs hacker di Dark Web pasti tahu ini—hayoo ngaku—yang masih amatiran dan tahunya internet cuma Mbah Google doang mentok-mentok DuckDuckGo, mendingan lebih hati-hati, ya. Siapa tahu selama ini ternyata ada yang diam-diam memantau perangkatmu tanpa sepengetahuanmu.
Mengapa saya tidak menggunakan Zoom? Meskipun Zoom menawarkan fitur dan interface yang interaktif, sederhana, murah (bahkan tersedia versi gratis) dan dapat memenuhi tuntutan akan kebutuhan konferensi video secara kolektif di berbagai perangkat dengan tingkat kualitas video yang tidak terlalu buruk, namun untuk mencapai fitur seluar biasa itu, tetap saja ada yang harus dikorbankan, salah satunya adalah menurunkan tingkat keamanan privasi pengguna.
Setelah aplikasi ini mulai populer saya langsung kepo tuh dan mencari informasi apa pun yang bisa memuaskan hasrat kekepoan saya. Dapatlah sebuah berita mengenai eksploitasi kemananan Zoom yang ternyata isu ini sempat berjaya di kalangan dalam industri. Kemudian tanpa pikir panjang, saya mengurungkan niat deh untuk menginstall aplikasi ini. Saya tuh suka dibuat parno karena sering mengikuti kisah-kisah kejayaan hacker. Maunya bercita-cita menjadi hacker tapi apalah daya otak nggak nyampe, kan, berhasil meretas perangkat doi saja sudah teramat sangat bangga, seperti mempertaruhkan hidup dan mati. Ssstt!
Desclaimer: Awas, tulisan ini mengandung humor!
Percayalah, saya ini Warga Negara Indonesia yang baik dan budiman.
Untuk masalah ini, beruntunglah kalian para pengguna Mac-aslinya saya juga bercita-cita menjadi pejuang Mac tapi membayar tagihan kuota saja berasa nggak rela. Nah, kalian pasti tahu betapa Apple sangat ketat terhadap keamanan jaringan dan data privasi penggunanya. Bagi para pengguna Mac, kalian bisa lebih lega nih karena demi menanggapi seriusnya isu kemananan dan privasi ini, ternyata Apple telah diam-diam secara aktif meng-update sistem pembaruan ke perangkat kalian untuk menghapus kompenen Zoom. Perlu kalian ketahui juga bahwa Apple belum pernah loh melakukan tindakan publik yang melibatkan aplikasi populer sekelas Zoom.
Tidak cuma Apple yang sangat mewaspadai penggunaan aplikasi ini, mulai dari Kementerian Pertahanan AS, SpaceX, Apple, Google, NASA, hingga banyak sekolah di New York telah melarang penggunaan aplikasi tersebut. Bahkan, FBI sekalipun telah mengeluarkan peringatan penggunaannya. Isu ini sebenarnya cukup banyak diberitakan di media-media arus utama seperti The Guardian, New York Times, Washington Post, dan BBC.
Sayangnya, banyak dari kita yang terpaksa menggunakannya karena tidak punya pilihan mengingat banyak instansi, sekolah, kampus, hingga perusahaan yang sampai saat ini masih menjadikan Zoom sebagai pilihan utama. Poin utama dari tulisan ini sebenarnya bukan untuk melarang pembaca menggunakan Zoom karena banyak aplikasi di luar sana yang mungkin saja juga memiliki isu yang sama. Hanya saja, nampaknya banyak dari kita yang tidak begitu peduli terhadap isu keamanan dan privasi di dunia cyber atau digital. Selain karena hanya ikut-ikutan trend, kebanyakan dari kita juga malas riset.
Buktinya, beberapa orang yang sebenarnya cukup memahami permasalahan ini masih saja tetap menggunakannya demi mengedepankan produktivitas kerja dan mengabaikan keamanan privasi. Kamu bisa saja mencoba untuk menawarkan pilihan aplikasi yang sesuai kepada dosen atau atasan meskipun aplikasi satu ini sedang menjadi primadona. Tidak ada salahnya untuk riset kecil-kecilan sendiri terlebih dahulu jika memang tidak memahami apa-apa soal hal-hal seperti itu.
Perlu dipahami bahwa isu keamanan dan privasi semacam ini tidak dapat dianggap sepele, loh. Hanya karena kita jarang mendengar atau merasakan langsung dampaknya, bukan berarti kita tidak mungkin mengalaminya. Jadi, tetap berhati-hati dan penuh pertimbangan ya, mylov~
BACA JUGA Membayangkan Tontonan Rakyat Indonesia Jika Netflix dan Liga Inggris Menyusul Indoxxi dalam Daftar Blokiran atau tulisan Ulfa Setyaningtyas lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.