Banyak orang ngebacot soal emansipasi tapi tanpa disadari malah suka nyindir perempuan begini begitu—menghakimi perempuan harusnya mau diajak susah lah, perempuan terbaik adalah yang ikhlas mau dipoligami, perempuan yang idaman itu yang wajahnya tidak dipoles make up. Sampai ke pertanyaan yang sebenarnya udah ada dari jaman Bapak saya muda dulu kayaknya, ‘untuk apa sih perempuan sekolah tinggi—kan nanti kan ilmunya nggak kepake’—ya jelas biar nggak gampang dibegoin sama orang-orang mokondo lah.
Saya jadi ragu, sebenarnya orang yang suka meramaikan Hari Perempuan sedunia, Hari Kartini, atau Hari Ibu dengan menggunakan kata emansipasi itu ternyata tidak paham sama arti dari emansipasi. Begini, zheyeng—emansipasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembebasan dari perbudakan; persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat—seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria. Dilihat secara sederhana dalam lanskap yang sangat kecil, maka ada kata kunci tentang emansipasi yang bisa kita dapat di situ—pembebasan dari perbudakan dan persamaan hak.
Lalu jika dikaitkan dengan pertanyaan ‘untuk apa sih perempuan sekolah tinggi—kan nanti kan ilmunya nggak kepake’ maka jawabannya adalah karena setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan—atau bahkan sekarang yang non-binary—juga berhak untuk mendapatkan persamaaan hak. Persamaan hak disini ya termasuk untuk masalah pendidikan. Pendidikan dalam hal apapun yang dicita-citakan oleh setiap perempuan tanpa pernah menganggap “ih kamu kan perempuan ngapain belajar sesuatu yang didominasi laki-laki.” Kalau ternyata masih punya pemikiran yang begitu berarti kamu belum menangkap poin emansipasi dalam bentuk yang sangat sederhana yang ada di KBBI tadi.
Emansipasi tidak sebatas kenyataan bahwa perempuan sekarang sudah bisa belajar di sekolah, perempuan saat ini sudah diizinkan untuk membawa kendaraan sendiri, bisa kerja, bisa ikut memilih dalam pemilhan umum dan banyak hal lainnya. Kenyataan-kenyataan tersebut memang membawa kepada progres yang baik namun emansipasi sesungguhnya saya pikir tidak bisa berhenti sampai disitu. Setelah kebebasan tadi ada, maka timbullah permasalahan baru, termasuklah ocehan nggak jelas soal kenapa perempuan perlu sekolah tinggi.
Begini, susah-susah perempuan pejuang zaman dulu seperti Kartini, Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, Cut Meutia, Rasuna Said, dsb berdiri di atas kaki sendiri untuk membela hak perempuan yang dilupakan eh manusia-manusia zaman sekarang justru dengan enaknya kembali menjajah perempuan lewat cara berpikir yang jahat dan sangat sangat sangat terbelakang. Sedih akutu.
Otakmu itu loh, tolong jangan terlalu dikekang. Coba pelan-pelan diajak lihat dan mengerti berbagai fenomena yang terjadi dari beragam sudut pandang, secara mendalam.
Yang punya pemikiran itu tuh nggak hanya laki-laki loh, perempuan juga ada. Sesama perempuan juga sering memberikan pernyataan yang penuh intimidasi apalagi kalau ada keputusan perempuan lain yang milih untuk menempuh pendidikan terlebih dahulu, mulai deh ngebacot.
Padahal emansipasi perempuan yang sejati nggak bakal bisa dilakukan oleh satu dua orang saja, perempuan harusnya bersatu bukan menghakimi perempuan dan semua cita-cita yang ada di kepalanya.
Progres persamaan hak untuk perempuan yang sudah dibangun dengan susah payah sama para pahlawan selama ini bisa jadi tidak berarti apa-apa kalau pola pikir sebagian besar masyarakatnya kembali pada konsep penjajahan dulu. Ditambah ideologi patriarki yang masih berlaku di masyarakat maka sepertinya bukan tidak mungkin konsep yang selama ini diperjuangkan akan mengalami penurunan.
Saya jadi teringat salah satu kutipan dari Nawal El Saadawi dalam bukunya The Hidden Face Of Eve yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Persoalan perempuan dan laki-laki memang akan selalu menarik dikupas tidak terbatas oleh waktu, dan yang jelas persoalan itu memang rumit, “Karena persoalan pria dan wanita dalam masyarakat kita adalah tanpa akhir, tanpa penyelesaian, meski usaha yang gigih terus dilakukan untuk membuka tabir perasaan kita dan memaparkannya di bawah akar persoalannya; persoalan yang sebenarnya ada di dalam struktur politik, sosial, ekonomi, seksual, dan sejarah yang di atasnya kehidupan kita dibangun“, apa yang dituliskan Nawal pada bukunya yang terbit tahun 1977 agaknya bisa dijadikan sebuah jawaban kenapa sampai sekarang masih ada saja orang yang menguliti persoalan perempuan dan tetap menempelkan segala stereotip yang entah sejak kapan ada. (*)
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.