Salah satu praktik yang masih diugemi, dipegang teguh oleh masyarakat di Jogja adalah adanya tukang undang. Ia adalah seseorang yang diminta oleh sohibul hajat untuk mewakili dirinya mengundang para tetangga agar hadir di acaranya.
Jika di Surabaya, setidaknya di kampung saya, tugas ini sudah sering digantikan oleh selembar kertas yang cukup diantarkan oleh anak usia sekolah dasar, maka di Jogja, tugas itu masih dijalankan oleh seorang “profesional”. Seseorang yang sudah diakui dan dikenal sebagai tukang ngundangi.
Saya selalu kagum dengan penampilan tukang undang ini setiap kali mereka datang ke rumah. Mereka berbaju batik dan rapi. Layaknya tamu baru, mereka datang dengan sikap formal; menyalami tuan rumah, duduk di ruang tamu, lalu mengutarakan maksud kedatangan dalam urutan yang pakem.
Pertama-tama, ia menyampaikan maksud kedatangannya sebagai bentuk silaturahmi kepada tuan rumah. Selanjutnya, ia memperkenalkan posisinya sebagai wakil dari pihak sohibul hajat yang ingin mengundang tuan rumah dalam acara yang akan dihelat oleh sohibul hajat. Kemudian, ia mengucapkan pamit dan bersalaman kembali.
Protokol itu akan dijalankan dengan setia di setiap rumah. Dengan sikap resmi dan sopan santun yang sama. Bahkan kepada teman yang biasa diajak bercanda. Barangkali demi menjaga martabat sohibul hajat yang diwakilinya juga. Setahu saya, amat jarang undangan itu disampaikan di jalan, dengan alasan mumpung sedang ketemu.
Selesai menyampaikan undangan, tugas tukang undang tidak lantas usai. Selama acara hajatan berlangsung, ia harus mengamati siapa saja undangannya yang berhalangan hadir. Di Jogja, sepertinya tidak ada kebiasaan mewakilkan undangan kepada seorang anak yang masih kecil ketika sang bapak absen.
Oleh karena itu, tukang undang akan mencatat dalam ingatannya siapa saja yang tidak datang untuk memastikan jatah berkatnya tidak terlupakan. Ia akan melaporkan ke sohibul hajat dan akan “menggandulkan” jatah berkat tersebut melalui tetangga terdekat.
Setiap RT biasanya memiliki tukang undang sendiri. Ia semacam humas dengan tugas khusus. Jadi kalau ada sohibul hajat dari RT 3 hendak mengundang RT 2, misalnya, maka ia tinggal menemui tukang undang dari RT 2 untuk mewakili dirinya mengundang.
Meski terlihat mudah, menjadi seorang tukang undang membutuhkan modal sosial yang tidak sedikit. Ada semacam konsensus yang harus dipenuhi oleh seorang tukang undang. Dari pengamatan saya yang asal-asalan selama tinggal di Jogja (minimal di dusun saya), setidaknya ada tiga kriteria penting yang mesti dimiliki oleh seorang tukang undang.
Pertama, ia haruslah pribadi yang luwes, komunikatif dan diterima semua kalangan. Kecakapan berkomunikasi saja tidak cukup. Banyak orang yang pandai bicara, tapi belum tentu bisa diterima semua orang. Orang yang memiliki banyak musuh atau terkenal memiliki banyak utang bisa jadi tidak masuk ke dalam kriteria ini. Akses mereka terbatas. Mereka juga akan merasa pakewuh kalau harus mengetuk rumah-rumah yang seharusnya ia hindari.
Kedua, mengenal semua anggota warga. Orang yang berhak mendapatkan undangan biasanya adalah yang sudah berkeluarga. Jadi, jika dalam satu rumah ada beberapa KK (kepala keluarga) dalam satu rumah, maka seorang tukang undang wajib menghafal siapa saja mereka. Syarat ini terutama untuk keperluan menentukan berapa jumlah “gandulan” yang harus dititipkan kalau ternyata ada di antara mereka yang tidak hadir.
Ketiga, integritasnya teruji. Saya kira ini syarat yang tidak bisa ditawar. Pernah ada peristiwa seorang tukang undang baru di RT saya. Ia menggantikan tukang undang biasanya yang sedang berhalangan. Tukang undang baru ini sebenarnya juga bukan orang yang asing. Ia grapyak, supel, dan relatif tidak punya masalah, kecuali bahwa ia suka mengerjai orang. Korban prank–nya banyak.
Hari itu ia juga tampil dengan dandanan yang resmi, dengan baju batik dan peci di kepala. Ia bertamu ke setiap rumah dan menjalankan semua prosedur dengan tanpa cela. Semua berjalan lancar. Namun pada hari H ternyata sebagian besar undangan tidak datang. Acara pun dilakasanakan dengan jamaah seadanya.
Sohibul hajat merasa heran. Kondisi semacam ini sangat tidak lazim, apalagi saat itu tidak ada acara lain di kampung. Perasaan bingung juga mengganggu si tukang undang. Sebab ia merasa sudah menyampaikan undangan dengan benar. Tidak ada perbedaan informasi baik soal hari, waktu, maupun tempat.
Sebagai bentuk tanggung jawab, si tukang undang pun meminta mengantar berkat ke rumah para undangan yang absen. Selain mengobati rasa penasaran, ia juga ingin mencari tahu penyebab ketidakhadiran yang terasa seperti konspirasi itu. Hasilnya sungguh bikin geregetan, para undangan rata-rata mengira sedang dikerjai oleh si tukang undang sehingga memutuskan untuk mengabaikan undangan.
Maka, seperti cerita si gembala yang dombanya habis dimangsa serigala setelah teriakannya tak digubris para penduduk kampung yang muak karena telah dia kibuli, tukang undang itu pun hanya bisa bersungut-sungut sambil garuk-garuk kepala.
Ternyata betapa tidak mudah sekadar menjadi tukang undang di kampung. Seseorang harus memiliki track record yang baik untuk dapat dipercaya kata-katanya dan tidak diragukan integritasnya. Tentu saja itu membutuhkan kerja keras dan komitmen yang teguh. Sebuah kerja yang saya kira jauh lebih berat ketimbang memasang slogan-slogan muluk di baliho atau berfoto sedang menikmati makanan sederhana di warung untuk mencitrakan diri dekat dengan rakyat kecil.
Penulis: Muhammad Zaid Su’di
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Hal-hal Menyebalkan dari Kepanitiaan Hajatan di Kampung Saya.