Ngomongin masalah kehidupan emang nggak bakal ada habisnya. Apalagi kalau obrolan seperti ini sudah sampai ke telinga teman, pastinya bakal terjadi diskusi 7 hari 7 malam yang nggak bisa disudahi. Nggak bisa dimungkiri bahwa topik kehidupan ini sangat luas dan masing-masing orang punya latar belakang berbeda sehingga membuat diskusi menjadi berjalan seru. Apalagi kalau pembahasannya sudah ke bagaimana mencari kunci hidup bahagia, wah, panjang urusannya.
Saya sendiri adalah anak bawang berusia 19 tahun yang masih berkuliah dan bisa dibilang belum mempunyai banyak pengalaman dalam menjalani hidup, tapi kayaknya nggak masalah juga kalau saya sok ndakik-ndakik ngomongin kehidupan. Siapa tahu nantinya yang lebih “senior” juga bisa mengambil sesuatu dari cerita saya dan kalaupun saya ada kesalahan bisa juga kasih saran.
Kalau ngomongin masalah kehidupan yang saya jalani, sudah pasti masih kalah jauh jika diadu nasibnya dengan para jamaah Mojokiah. Tapi, saya sendiri di usia sekarang sudah mulai memikirkan banyak hal terkait masa depan saya sendiri. Saya masih merasa hidup saya masih belum dikategorikan masa depan cerah dan rasanya masih abu-abu.
Skala prioritas rasanya masih menjadi momok terbesar di mana banyak orang memberikan masukan bahwa di usia sekarang adalah masanya mencari relasi, tetapi tuntutan akademik pun masih mengejar di belakang. Rasanya, menyeimbangkan kedua hal tersebut seakan hal yang mustahil bagi saya karena saya sendiri merasa bahwa jadi nggak menguasai keduanya. Akademik saya medioker dan relasi yang saya punya pun nggak luas-luas amat. Bagi saya, manusia dengan kemampuan bisa menyeimbangkan antara akademik dan mencari relasi adalah manusia pilihan.
Beberapa bulan ke belakang saya baru sadar bahwa saya terlalu mengejar kedua hal tersebut secara berlebihan sehingga membuat saya nggak memaksimalkan potensi yang saya punya. Saya seperti mengiyakan semuanya entah itu berorganisasi maupun belajar mati-matian. Memang benar sih bahwa usaha nggak akan mengkhianati hasil, tetapi saya sekarang lebih setuju bahwa bekerja secara efektif lebih memberikan impact yang lebih baik.
Saya terlalu memaksakan standar orang lain ke diri saya sendiri tentang menjadi orang “sempurna” dengan keahlian di semua bidang. Padahal, hasil yang saya dapatkan akhirnya malah banyak mengandung kecacatan. Pola hidup menjadi berantakan dan dari segi akademik pun nggak bagus-bagus amat. Saya terlalu naif ketika merasa bahwa mahasiswa harus seimbang di segala sisi dan sepertinya banyak mahasiswa yang terjebak dalam situasi tersebut.
Di saat pola hidup sudah mulai berantakan, saya pun mulai sadar bahwa hidup nggak selalu berjalan mengikuti kemauan kita. Kunci hidup bahagia memang bukan didapatkan, tapi harus ditemukan. Kapasitas diri yang saya punya rasanya masih kurang untuk menjadi orang-orang spesial itu. Saya pun memutuskan untuk nggak terlalu ngoyo dalam beberapa bulan terakhir dan ternyata hasilnya malah lebih baik.
Nilai yang saya punya perlahan naik dan relasi bisa datang dengan sendirinya. Padahal, saya sudah nggak sesibuk dulu dan cara belajar saya pun juga berubah. Saya menyimpulkan bahwa hal tersebut bisa didapatkan dari nggak mengiyakan semua hal. Saya lebih memilih lagi apa yang diperlukan dan apa yang nggak diperlukan. Hal-hal kecil seperti nongkrong tanpa tujuan sedikit demi sedikit saya kurangi dan sistem kebut semalam dalam belajar juga saya minimalisir.
Organisasi nggak semua saya ikuti dan saya sudah lebih nyaman bilang “nggak” ke orang lain di saat ada yang mengajak ke suatu kesibukan yang nggak masuk ke dalam skala prioritas saya. Saya tetap aktif berorganisasi dan saya pun memikirkan akademik, tetapi keduanya lebih saya sikapi secara lebih hati-hati. Bukan berarti dengan mengiyakan semua hal menjadikan diri saya manusia sempurna.
Memang awalnya sulit ketika kita mencoba menolak ajakan teman dalam menempuh kesibukan baru, tetapi asalkan kita nggak benar-benar menghilang bak ditelan bumi dan tetap bersosialisasi secukupnya pastinya akan lebih merapikan hidup yang kita punya. Waktu istirahat menjadi lebih banyak, bahkan kita punya waktu me time yang jarang orang miliki.
Meski begitu, tetap saja jangan terlalu berlebihan dalam menolak kesibukan tertentu. Jangan sampai kita malah menjadi terlalu banyak membuang waktu dan nggak melakukan apa-apa. Yang terpenting adalah tetap produktif pada waktu dan tempat yang sesuai agar kita nggak merasa kewalahan nantinya. Buat kalian yang merasakan hal yang sama, mungkin bisa mencoba untuk bilang “nggak” ke orang lain dan ke diri sendiri. Secara nggak langsung, tegas menolak sesuatu bisa kita formulasikan sebagai kunci hidup bahagia yang selama ini kita cari. Yok bisa yok! Eh jangan bilang gitu ding, nanti dibilang toxic positivity lagi~
BACA JUGA Cara Menikmati Hidup walau Terlahir Nggak Good Looking dan tulisan Muhammad Iqbal Habiburrohim lainnya.