Pandemi Covid-19 belum mencapai garis finish, dan kini kita mengawali tahun 2021 dengan beragam bencana alam yang melanda sebagian wilayah Indonesia, tak terkecuali provinsi tempat saya dilahirkan yakni Kalimantan Selatan. Dalam kurun waktu sekitar seminggu ini, sebagian besar daerah di provinsi saya terendam air. Seketika saya teringat Bikini Bottom, tapi dalam versi usai dijatuhi meteor. Berantakan. Hancur lebur.
Kalau Saudara-saudara sekalian bingung kenapa provinsi kami yang kaya akan tambang batu bara dan perkebunan sawit, eh, maksudnya hutan lebat ini dilanda banjir bandang? Tenang, sebab Pakde telah mengonfirmasi bahwa penyebab banjir tersebut adalah tingginya curah hujan dan Sungai Barito tidak mampu menampungnya. Lupakan penyebab lainnya, misalnya gunung yang hampir menyerupai kepala Saitama.
Namun, ketika kegelisahan massal tersebab banjir ini masih berada di puncaknya, ada saja perilaku dari orang-orang yang menyebalkan, bahkan sudah masuk kategori kebablasan. Sepertinya mereka ini perlu didaur ulang atau dilahirkan kembali, setidaknya nurani mereka di-charger lagi.
Begini, orang-orang menyebalkan ini bukan hanya melahirkan kegelisahan, tetapi juga dapat menambah kerugian. Oleh karena itu, kerugian yang sebelumnya telah mencapai langit ketujuh menjadi naik lagi levelnya. Entahlah, apa yang ada di dalam kepala mereka, saya tidak pandai dan juga lihai menerka.
Berangkat dari kegelisahan tersebut saya mencoba menuliskan kejengkelan, eh artikel tentang orang-orang menyebalkan ini maksudnya. Artikel ini lahir berdasarkan pengamatan saya yang tidak secanggih Sherlock Holmes dengan memantau arus media sosial, dan juga memperoleh informasi dari teman-teman. Orang-orang yang telah menggadaikan nuraninya tersebut sebagai berikut.
1# Orang-orang yang sedang “nongkrong cantik”, selfie dengan latar makanan mewah dan memamerkannya di media sosial.
Hai, orang-orang yang termasuk ke dalam mazhab ini. Tolong, saya itu tidak ingin mempermasalahkan hak asasi kalian, kok. Silakan nongki-nongki cantik disertai tawa lepas tanpa beban. Namun, untuk saat ini tolooonggg, simpan saja dulu kebahagiaan tersebut.
Coba bayangkan, ketika banyak warga kekurangan pakaian yang kering, kurangnya logistik, tangisan bayi, atau kaki-kaki pengungsi yang terancam bahaya berupa kutu air. Sementara kita sedang berpesta foya, kemudian meng-upload-nya. Bukankah lebih baik sebagian dari uang tersebut kita donasikan untuk saudara kita yang terdampak bencana alam? Eh, bukannya ikut membantu, kita malah upload kegiatan hura-hura kita.
2# Orang-orang yang senang menyebarkan hoaks.
Mereka ini bukannya mengurangi beban saudara-saudara kita yang terdampak bencana alam, malah semakin memperkeruh suasana. Mungkin yang bersemayam di pikiran mereka hal tersebut adalah sebentuk keisengan, diketik dan disebarkan dengan perut yang kenyang di dalam kamar yang hangat.
Selain memperkeruh suasana, hal ini dapat menyebabkan keadaan menjadi semakin sulit. Misalnya, usai membaca pesan tersebut, orang-orang yang sejak mula telah kalut pikirannya menjadi semakin panik.
Daripada menggunakan jempol tidak sebagaimana mestinya, mendingan menggunakan jempol kita untuk menekan pin nomor rekening di ATM terdekat, kemudian melakukan donasi. Berfaedah, kesalehan sosial tercapai.
3# Orang yang “bermain teater” tidak pada tempatnya.
Maksud saya, kelihaian dan ketangkasan dalam membaca peluang dari setiap kesedihan yang melanda hidup kita, tidak sepatutnya kita terapkan dalam menghadapi bencana alam.
Misalnya, berperan menjadi pengungsi atau relawan, kemudian dengan tega mengambil barang-barang yang bukan hak miliknya. Seperti menjadi pencuri dengan memanfaatkan kesempatan dalam kegelisahan massal. Dalam konteks banjir ini, pura-pura menjadi relawan yang membantu masyarakat terdampak banjir menuju posko pengungsian. Namun, setelah itu berbalik lagi ke rumah mereka untuk menjarah barang menggunakan perahu atau kapal selam. Hadeh.
Perilaku lainnya misalnya, mengedarkan selebaran atau konten di media sosial dengan nomor rekening tertentu untuk menampung cuan dari para dermawan. Padahal ketika terkumpul hanya untuk keperluan pribadi. Sungguh terlalu, kata Rhoma Irama.
Namun, terkait bermain peran ala-ala teater ini, ada hal lain yang teramat menjengkelkan, yaitu ketika para pemangku kepentingan atau pejabat setempat mengunjungi posko dan membawakan bantuan logistik. Akan tetapi, mereka hanya mampir untuk berfoto dengan latar berupa logistik. Kemudian usai berfoto ria tersebut, mereka ambil lagi bantuan itu dan mengunjungi posko selanjutnya. Whaaaaaa, bajingaaaaaan.
BACA JUGA Ngumpulin Sumbangan Bencana Alam kok Ngedarin Kardus di Lampu Merah. Kreatif, dong! dan tulisan Salim Maruf lainnya.