Suatu sore yang teduh, Iskandar datang ke rumah Cak Dullah. Seperti biasanya, seusai menyelesaikan pekerjaan, mereka akan menyempatkan waktu untuk saling mengunjungi. Sekedar minum kopi, ngobrol atau terkadang bermain catur bersama. Ketika akan mulai bermain, Cak Dullah melihat wajah Iskandar yang tak seperti biasanya.
“Kamu kenapa toh, Is, mukamu kok mbesengut gitu?” tanya Cak Dullah.
“Ini lihat berita serem, Cak,” jawab Iskandar.
“Serem apanya?” Tanya Cak Dullah lagi.
“Ini lo, Cak, kumpulan berita kekerasan pada perempuan yang tidak pernah ada habisnya, apalagi selama pandemi makin meningkat. Ingin menyelamatkan diri dari ancaman virus, eh di rumah malah dipukuli suaminya. Saya laki-laki jadi ikut miris, Cak.” Kata Iskandar loyo.
Mendengar itu, Cak Dullah tidak memberikan respon apapun. Ia terdiam dan jadi ikut muram.
“Tapi, Cak, yang bikin saya makin gregetan ini, kok bisa-bisanya ada yang komentar kalau dalam Islam memukul istri itu boleh. Ini kan ngawur namanya, apalagi memakai dalih agama Islam,” celetuk Iskandar tiba-tiba dengan berapi-api.
“Kalau itu memang benar adanya, Is,” kata Cak Dullah.
“Loh sampean ini gimana toh, Cak. Kok malah membenarkan kalimat suami boleh memukul istri,” kata Iskandar yang terlihat makin jengkel.
Cak Dullah terkekeh melihat ekspresi karibnya tersebut.
“Saya senang punya kawan macam kamu yang tidak terima melihat perempuan diperlakukan tidak baik, setidaknya kamu punya bekal sebelum menikah. Meskipun sampai sekarang masih jomblo, toh,” kata Cak Dullah dengan nada menggoda.
“Iya-iya saya masih jomblo, tidak seperti sampean Cak. Jadi, gimana soal mukul istri tadi?” ulang Iskandar dengan muka masam.
“Jadi gini, Is. Alquran memang membolehkan suami memukul istrinya jika sudah melampaui batas,” kata Cak Dullah.
Iskandar nampak kurang terima.
“Nah letak batas itu yang gimana, Cak. Jangan setengah-setengah gini dong,” sahut Iskandar.
Cak Dullah membenarkan posisi duduknya sejenak seraya mengambil minum.
“Sabar toh, Is. Minum dulu, biar kamu tidak sensitif begini. Jadi, melampaui batas yang dimaksud ini telah melewati tiga tahap. Pertama, kalau lihat istrimu melakukan hal buruk, nasehati dulu. Selanjutnya beritahu jika kamu tidak suka dengan hal itu. Nah yang terakhir, tunjukkan kalau kamu benci dan ingin dia segera insyaf. Nah, kalau memang masih bebal kamu boleh memukulnya,” jelas Cak Dullah.
Iskandar masih nampak bingung. “Tapi Cak, memukul ini termasuk penganiayaan, apa benar islam memperbolehkan hal macam itu? Saya nggak setuju lah, Cak,” sanggah Iskandar.
Cak Dullah tersenyum. “Lah ini Is, memukul yang dimaksud tidak serta-merta seperti mengenakan benda berat atau keras kepada perempuan. Dalam alquran, orang yang sedang berjalan di bumi ini boleh diartikan dengan memukul bumi. Kemudian ada contoh lagi, orang yang sedang bernyanyi kepada anaknya itu bisa dikatakan memukuli telinganya,”
“Hah? Apakah contoh memukul yang sampean sebutkan tadi sama dengan persoalan suami kepada istri, Cak?” Tanya Iskandar yang makin bingung.
“Nah ini pertanyaan bagus, dari kata memukul tadi, akhirnya Kanjeng Nabi menjelaskan memukul yang diperbolehkan dalam urusan suami kepada istri itu berarti tidak boleh mencederai, jangan tampar wajah. Pukulah dengan sekedar pukulan yang tidak menyakiti atau melukai,” jawab Cak Dullah.
Iskandar cuma diam. Ia sepertinya mulai mengerti.
“Eh Cak, maaf-maaf ini ya, Sampean pernah po mukul si Yuk tapi sesuai dengan sabda Kanjeng Nabi?” Tanya Iskandar.
Cak Dullah terbahak dengan pertanyaan Iskandar. “Yo ora toh, Is. Aku tidak pernah mukul si Yuk, lagipula aku tidak mau masuk dalam golongan laki-laki yang gagal,”
“Gagal piye toh, Cak?”
“Kanjeng Nabi pernah ndawuhi, tidak ada orang yang memukul istrinya kecuali orang yang gagal dalam hidupnya. Lah wong kita sebagai laki-laki tugasnya ini untuk membina rumah tangga yang harmonis, lah kalau sampai harus memukul istri berarti kamu nggak mampu ngurusi rumah tanggamu toh,” jelas Cak Dullah.
“Hmmm, terus soal orang yang pakai dalil ini untuk kasus kekerasan ini berarti salah kaprah dong, Cak?” Tanya Iskandar masih belum terima soal kekerasan pada perempuan.
“Nah itu kamu paham, harusnya memang mereka dapat tindakan dari pemerintah karena punya dua kesalahan. Pertama, jelas orang tersebut tidak memukul sesuai dengan aturan Kanjeng Nabi. Lah yang kedua, mereka membenarkan sikapnya pakai ayat yang tidak pada tempatnya.” Terang Cak Dullah.
Iskandar manggut-manggut. Wajahnya mulai sumringah. Ia merasa cukup puas dengan penjelasan kawannya.
“Gimana, apa kamu sudah nemu mukul yang sesuai Kanjeng Nabi atau mau masuk golongan laki-laki yang gagal?” seloroh Cak Dullah membuat Iskandar mendengus.
“Ya nggak lah, Cak. Saya mau jadi suami yang senantiasa memuliakan perempuan seperti Kanjeng Nabi,” ucap Iskandar mantap.
“Niatmu sudah baik, Is. Cuma calonmu saja yang belum ada,” Cak Dullah lagi-lagi terkekeh.
“Halah mesti, sudahlah ayo mulai main ketimbang mbahas calon saya terus,” tutup Iskandar sembari menggerakkan pion catur.
*Diolah dari penjelasan Prof. Quraish Shihab.
BACA JUGA Penjelasan Sederhana Kenapa Siulan Bisa Dianggap Pelecehan Seksual dan tulisan Alvi Awwaliya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.