Kebetulan sore itu Galih, kawan lama Misbah yang seorang Kristen dan berprofesi sebagai kurir paket, bertandang ke rumah Misbah, mengantarkan paket pesanannya. Karena paket Misbah adalah paket terakhir yang harus dia antar, maka Misbah pun meminta agar Galih nggak segera pulang. Sekadar buat ngobrol ngalur-ngidul seputar hidup yang udah mereka lalui. Sampai akhirnya, tanpa disangka, Galih justru memancing obrolan ke tema yang sangat sensitif; fenomena mabuk agama yang terjadi di kalangan umat Islam negeri ini.
“Landasan hukum umat Islam kayaknya sekarang ketambahan satu, ya? Semula, kan, ada empat; Al-Quran, Hadis, Ijma, sama Qiyas. Nah, sekarang ketambahan satu lagi, yaitu cocokologi. Ilmu othak-athik gathuk.” Seloroh Galih
“Wah, bercanda ya bercanda tho, Lih. Tapi mbok ya jangan ngejek agama saya gitu.” Respon Misbah sedikit tersinggung.
“Loh, saya nggak ngejek, Mis. Gini, kamu udah lihat yang viral terbaru belum? Masak iya klepon dibilang jajanan nggak islami. Waneh banget og kaummu itu,” Galih nggak bisa menahan tawa pas berkata demikian. Sementara wajah Misbah tampak memerah.
“Itu bukan yang pertama kali. Sebelumnya ada penceramah yang bilang kalau lagu “Balonku ada lima” sama “Naik ke puncak gunung” itu lagunya misionaris Nasrani buat menyesatkan umat Islam.” Lanjut Galih semakin bersemangat. “Dan kayaknya umat Islam sekarang lebih percaya sama hukum cocokologi ketimbang empat hukum utamanya.”
“Cukup, Lih!” Misbah pun muntab juga akhirnya. “Tahu apa kamu soal agamaku?”
“Emang kamu tahu apa juga soal agamamu sendiri?”
Mendapat serangan balik macam itu, Misbah malah gelagapan.
“Mis, sekarang saya tanya. Gimana kriteria agar disebut islami dalam agamamu?” Melihat Misbah hanya diam, Galih pun melanjutkan ucapannya, “Sebab nyatanya, sekarang yang kelihatan di kalian itu cuma kuantitas sebagai muslim. Tapi kualitas sebagai Islamnya kosong. Istilahnya Ernest Renan dan Muhammad Abduh, saya hanya melihat muslim, tapi tidak melihat Islam. Ah pastinya kamu udah sering denger quote legendaris itu, tho?”
“Kayaknya emang bener apa yang dibilang Galih itu, Mis.” Kang Salim menghampiri keduanya yang kelihatan semakin bersitegang di cangkrung bambu depan rumah.
“Loh, Kang? Bukannya belain agama sendiri malah belain agama orang lain.”
“Faktanya emang banyak orang yang ngakunya muslim dan ngerasa paling islami dibanding yang lain, tapi sama sekali nggak mencerminkan nilai-nilai ke-Islaman. Contoh, respons kamu ke Galih itu saja udah nggak islami. Kalau kamu ngerasa jadi muslim yang juga islami, harusnya kamu membantah argumen Galih “bi al-hikmah”, dengan cara paling halus. Itulah hakikat Islam seperti yang disebut dalam Al-Quran. Bukan sambil marah-marah. Berdebat saja harus dengan etika yang baik kok. “Wa jadilhum bi al-lati hiya ahsan.””
“Hahaha nah iya tuh, Kang. Hla katanya Islam itu agama kasih sayang, tapi penganutnya kok emosian?” Celetuk Galih memotong Kang Salim. Kang Salim tersenyum menimpali.
“Itu juga yang perlu dicatat. Islam itu akar katanya “salam”, yang artinya keselamatan atau ada juga yang mengartikan kedamaian. Isim failnya “salim” yang artinya orang yang memberi atau menciptakan nuansa penuh keselamatan dan kedamaian. Maka harusnya, siapa pun yang berdekatan dengan orang Islam, harusnya ngerasa selamat dan damai juga, dong. Dalam artian nggak ngerasa terancam. Lah tapi faktanya banyak saudara-saudara kita yang non-Islam ngerasa nggak nyaman kalau lagi deket-deketan sama orang Islam. Betul nggak, Mis?”
“Ya.. Iya sih, Kang. Kayak dulu pernah ada di sini itu namanya Pak Anton. Beliau akhirnya pindah rumah karena udah ngerasa nggak nyaman di desa ini. Seingat saya, waktu itu istri Pak Anton meninggal. Pas mau dimakamin di pemakaman umum, eh rame-rame ditolak sama warga. Mana pas demo penolakan di depan rumah Pak Anton itu sambil teriak-teriak takbir gitu, Kang.”
“Tuh kan, bahkan orang Islam sendiri saja banyak yang nggak ngerti sama esensi takbir.”
“Emang kalau tahu esensi takbir, bakal gimana, Kang?” tanya Galih dengan suara melunak.
“Yo jelas nggak bakal mencak-mencak gitu tho, Lih. “Allahu Akbar” itu kan pengakuan kalau Gusti Allah itu Maha Besar dan kita ini kerdil di hadapan-Nya. Sebutir debu saja mungkin nggak. Kalau udah sadar hakikat tersebut, mestinya setiap yang ngucap “Allahu Akbar” jadi ngerasa bukan siapa-siapa lagi, dirinya sudah nggak ada lagi, lebur dalam ke-Maha Besaran Allah.”
“Efeknya, dengan “Allahu Akbar” tersebut dia udah nggak ngerasa lebih superior dari yang lain, karena sadar yang superior hanya Allah. Yang keluar darinya kemudian adalah kelembutan dan kasih sayang. Maka aneh jadinya kalau dengan “Allahu Akbar” seseorang justru tampil gagah-gagahan, arogan, vandalis, kasar, keras, dan sekarepe dewe. Sangat nggak islami.”
“Yang bikin saya jengkel, Kang, kalimat yang dilontarin Galih tadi itu provokatif dan kedengeran ngejek Islam. Saya nggak terima aja gitu. Katanya menjunjung tinggi toleransi, harusnya ya nggak usah ngejekin agama orang lain, lah.”
“Emang menurut kamu, toleransi itu gimana, Mis?”
“Ya ‘‘lakum dinukum wa liya din’’ itu lah, Kang. Silahkan mengimani agamamu, dan saya mengimani agama saya sendiri karena inilah agama yang paling bener.”
“Seyakin apa kamu bahwa Islam yang paling bener?” Sergah Galih.
“Allah udah berfirman, “Inna al-dina inda-Allahi al-Islam.” Agama yang bener di sisi Allah itu cuma Islam. Titik.”
“Jujur, Mis, sampai hari ini saya belum punya keberanian buat bilang bahwa Islam udah yang paling bener,” tutur Kang Salim yang sontak membuat Misbah terkejut. Baru kali ini dia dengar pengakuan dari seorang muslim yang ragu sama kebenaran Islam.
“Bukan, saya bukan meragukan kebenaran Islam, Mis. Tapi saya hanya menebak-nebak. Jika Islam arti harfiahnya adalah keselamatan, kedamaian, atau bisa juga berserah diri, yang dimaksud dalam ayat tersebut jangan-jangan bukan Islam secara agama. Tapi lebih ke individunya. Yang bener di sisi Allah adalah mereka yang berlaku secara Islam; yang menciptakan kedamaian di lingkungan sekitarnya, yang penuh kasih sayang, dan yang berserah diri kepada Tuhan.”
“Wah, sampeyan ini kok seolah-olah membenarkan, non-Islam pun bisa berpotensi bener di sisi Allah hanya jika perilakunya mencerminkan Islam.” Kritik Misbah.
“Memang, Mis. Sebab poinnya adalah di kata “Islam” bukan “muslim”. Wong nyata-nyata banyak muslim yang nggak mencerminkan Islam, kok. Ayat dalam Al-Quran itu kan “udkhulu fi al-silmi kaffah,” bukan “fi al-islami.” Yang artinya, masuklah dalam mode al-silmi, keselamatan dan kedamaian. Dua hal yang harus diwujudkan manusia dalam kehidupan sehari-hari.”
“Artinya, kayak-kayak Gusti Allah itu merintahin manusia buat berperilaku secara Islam, bukan harus bergama Islam. Gitu ta, Kang?” Kali ini Galih yang menanggapi.
“Saya nggak tahu pasti. Saya hanya menebak-nebak, Lih,” jawab Kang Salim sambil menyunggingkan senyum. “Dan karena kita sama-sama nggak tahu mana yang bener-bener bener di sisi Allah, itulah kenapa kita harus bertoleransi. Bukan seolah memberimu kebebasan memilih agamamu, tapi sisi lain saya justru ngerasa agama saya lebih bener loh, ya. Kalau gitu berarti bukan toleransi namanya.”
“Lah terus, gimana dong, Kang?” tanya Misbah.
“Toleransi bagi saya itu gini, silakan mengimani agamamu, dan saya mengimani agama saya sendiri. Dan semoga kelak kita bertemu di titik yang sama, yaitu Tuhan. Jadi nggak ada perasaan bahwa agama sendiri yang paling bener. Hla wong tujuannya sama-sama Tuhan, kok. cuma caranya aja yang berbeda.”
“Kayak yang mau ke Jakarta misalnya. Ada yang lewat jalur A, terus kamu lewat jalur B. Masak kamu mau nyalah-nyalahin yang lewat jalur A? Gimana bisa? Wong titik temunya kan sama, di Jakarta.”
Misbah dan Galih mengangguk secara bersamaan,
*Diolah dari penjelasan Gus Mus, Cak Nun, Buya Syakur Yasin, dan Sudjiwo Tedjo
BACA JUGA Perkara yang Membuat Sebagian Orang Abangan Nggak Respek Sama Kiai (1) dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.