Kisah karya Luis Sepúlveda ini bermula ketika kucing hitam gemuk bernama Zorbes yang saat itu sedang berjemur di atas balkon, tiba-tiba bertemu dengan seekor burung camar yang jatuh kelelahan setelah berusaha terbang dengan minyak yang menempel di sekujur tubuhnya.
Merasa waktunya tak lama, si burung camar meminta Zorbes untuk bersumpah tiga hal setelah sebelumnya mengatakan jika sebentar lagi ia akan bertelur: Jangan memakan telurnya, berjanji untuk merawatnya sampai si Piyik anaknya menetas, dan terakhir berjanji untuk mengajarinya terbang.
Untuk menunaikan janjinya, maka Zorbes pun pergi meminta pertolongan kawan-kawanya: Kolonel, Secretario, Profesor, dan Banyuwangi. Dengan usaha keras, akhirnya mereka berhasil membesarkan si Piyik yang nantinya mereka beri nama Fortuna.
Dua janji Zorbes telah ia penuhi: tak memakan telur si Camar dan menjaga telurnya hingga si Piyik menetas. Sekarang waktunya bagi mereka menunaikan janji terakhir, setelah menyadari jika Fortuna sudah siap untuk belajar terbang. Mereka pun mulai melakukan percobaan demi percobaan, walaupun pada akhirnya mereka gagal.
Di ambang keputusasaan, Zorbes pun mengusulkan kepada kawan-kawannya untuk meminta bantuan manusia. Ya, meskipun berarti ia harus melanggar pemali, sebab untuk mempermudah komunikasi dan meyakinkan manusia, ia mesti mengeong menggunakan bahasa manusia. Namun, Zorbes sudah bulat dengan keputusan itu, semata untuk menunaikan janji terakhirnya.
Setelah berdiskusi, akhirnya mereka pun sepakat dan berembuk untuk memilih manusia siapa nantinya yang sanggup mengajarkan Fortuna terbang.
Pilihan jatuh kepada majikan Bulbulina yang merupakan seorang penyair. Bulbulina sendiri merupakan kucing hitam-putih cantik yang suka menghabiskan waktunya bersantai di antara pot-pot bunga di teras. Zorbes lalu bergegas menemui sang penyair.
Diawali keterkejutan dan rasa penasaran setelah Zorbes menyampaikan maksud kedatangannya dalam bahasa manusia, sang penyair mengiakan permintaan dan bersedia membantu Fortuna untuk terbang.
Tengah malam saat hujan lebat mengguyur dan bau tanah basah menguar dari taman-taman. Di atas menara lonceng Santo Mikael, Fortuna yang diawasi oleh sang penyair dan Zorbes, akhirnya mampu terbang di tengah luasnya angkasa kelabu setelah sebelumnya merasa ragu dan takut untuk memulai.
Di tengah kebahagiaan Fortuna, Zorbes duduk memandangi burung camar itu sampai ia tak tahu lagi apakah tetes air hujan atau air mata yang memenuhi mata kuning kucing hitam besar gemuk itu. Seekor kucing baik budi, kucing mulia, kucing pelabuhan.
Dari karya Luis Sepúlveda ini, setidaknya ada nilai-nilai kepemimpinan yang dapat kita petik dari sosok Zorbes, si kucing baik hati ini.
Pertama, pemimpin harus bisa menepati janji. Seorang pemimpin harus bisa menepati janjinya, sebab jika terus menerus mengingkari janji, maka bisa-bisa ia kehilangan respect dan mendapatkan impresi buruk dari rekan kerja maupun bawahan. Hal serupa yang dilakukan Zorbes kepada si Camar, ia berusaha memenuhi janjinya, meski harus melanggar pemali dengan berkomunikasi menggunakan bahasa manusia.
Kedua, pemimpin harus punya nilai toleransi tinggi Nilai toleransi di dalam sebuah organisasi sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin lantaran ia akan memiliki followers dengan latar belakang yang beragam, mulai dari budaya, agama, hingga cara pandang yang berbeda. Hadirnya nilai toleransi tentu akan membuat seorang pemimpin tak bersikap membeda-bedakan bawahannya.
Pada akhirnya, suatu pekerjaan yang dipimpin oleh pemimpin yang punya nilai toleransi tinggi akan berjalan secara kolaboratif dan bukan sektoral. Sebab tidak ada upaya pengkotak-kotakan dalam memperlakukan bawahannya. Seperti halnya yang dilakukan Zorbes. Meskipun berbeda, Zorbes tetap menghargai si Piyik.
Bahkan Zorbes sendiri mengakui dari si Piyik lah ia belajar makna toleransi. Seperti pada penggalan percakapan dalam novel Luis Sepúlveda berikut.
“Kami ingin kau tahu bahwa bersamamu kami belajar sesuatu yang membuat kami sangat bangga: kami belajar menghargai, menghormati, dan mencintai makhluk yang berbeda dari kami. Mudah sekali menerima dan mencintai mereka yang sama seperti kita, tetapi mencintai yang berbeda itu sangat berat, dan kamu membantu kami melakukan itu.”
Sumber Gambar: YouTube DevaKanisha
BACA JUGA Mengenang Nawal El Saadawi Melalui Novelnya ‘Perempuan di Titik Nol’ dan tulisan Munawir Mandjo lainnya.