Pukul dua pagi saya masih asik merokok sambil nyari-nyari ide tulisan di teras rumah. Satu isapan terakhir, tembakau rokok kretek yang saya isap nempel di bibir. Sedikit hangat dan agak pedas rasanya.
Nggak tahu gimana awalnya, saya ingat saat belajar merokok pakai ranting pohon cengkeh waktu kecil. Mungkin emang benar kata orang kalau jam dua pagi itu waktunya otak mikirin macam-macam hal.
Daripada bingung mau ngomongin apa, serta demi menjaga konsistensi dalam belajar nulis, sepertinya saya mau cerita soal pengalaman belajar merokok dan ingatan almarhum nenek.
Jauh sebelum mendapatkan Surat Izin Merokok, saya dan teman-teman sesekali suka mengisap ranting pohon cengkeh di kebun belakang rumah. Buat kami, ini juga jadi semacam tanda biar nggak dianggap anak bawang lagi saat main uucingan di lapangan.
Sambil mengetik cerita ini, saya coba mengingat siapa orang yang memberitahu kami soal rokok ranting cengkeh ini. Sayang, nggak ada satu nama pun yang melintas dalam pikiran.
Mari anggap saja kami belajar otodidak menggunakan akal pikiran anak kecil: Selama bisa diisap dan menghasilkan asap, berarti bisa dibikin rokok.
Biasanya kalau mau ngerokok, pulang sekolah kami nyari ranting sebesar lidi—yang mulus tanpa lubang di tengahnya. Setelah mendapatkan ranting yang sempurna, kami potong menjadi seukuran rokok.
Satu ujung kami bakar, sedangkan ujung satunya lagi ditempelkan di bibir. Persis seperti merokok, bedanya yang kami isap dulu masih produk mentahnya.
Rasanya gimana? Beda nggak sama rokok asli? Mmmmmm kami nggak mempermasalahkan rasanya, sih. Yang paling penting itu nyaman buat diisap, artinya nggak terlalu berat atau terlalu ringan, pas.
Jangan menanyakan apakah kami memikirkan bahaya dari kegoblogan ini, karena jawabannya sudah pasti enggak. Boro-boro mikirin bahayanya, justru kami bangga bisa merokok seperti orang dewasa. Kalau dipikirkan lagi sekarang, kok masa kecil saya pikirannya random banget, ya.
Tapi memang seperti itu Gilang kecil. Saking randomnya pikiran saya, saya juga pernah menyimpan asap pembakaran di dalam kaleng bekas astor biar tahu proses pembentukan awan. Iya, saya percaya kalau awan itu berasal dari asap sisa pembakaran yang dilakukan manusia.
Begini ceritanya…,
Suatu hari, saya dan almarhum Nenek sedang makan sambil membakar daun cengkeh kering yang berguguran di belakang rumah. Mungkin ini salah satu cara almarhum Nenek biar saya mau makan, pokoknya tiap pagi kami rutin melakukannya.
Saya duduk di atas pangkuan Nenek. Beliau menyuapi saya sambil cerita soal apa saja. Kadang tentang kereta, atau padi di sawah yang belum menguning. Lalu asap yang terbang ke atas mengalihkan perhatian saya, “Apa tiap asap bisa jadi awan, Nek?”
Duka, Lang. Teu ngarti nu kararitu nini mah. Ke taroskeun ka mamah we nya.” (Nggak tahu, Lang. Nggak ngerti yang begituan Nenek, mah. Nanti tanyakan saja sama mamahmu, ya) Jawabnya.
Karena nggak sabar nunggu mamah pulang, saya ambil satu kaleng astor bekas dari rumah lalu balik lagi ke kebun. Tahu apa yang terjadi berikutnya? Ya, saya memasukan asap ke dalam kaleng bekas itu lalu membawanya kembali ke rumah. Biar saya bisa nonton proses perubahan asap jadi awan secara langsung.
Sayang sekali, nggak ada yang terjadi pada asap itu. Malah hilang nggak tahu ke mana setelah didiamkan satu hari.
Kalau dibandingkan memang ngerokok ranting pohon cengkeh jauh lebih masuk akal daripada memasukan asap ke dalam kaleng astor. Ya, kan?
Tahun 2017 kemarin, pohon cengkeh di belakang rumah ditebang pemiliknya. Doi juga membangun tembok tinggi untuk menutup akses menuju kebun di belakang rumah saya. Menurut keterangan tetangga, katanya mau dibangun perumahan apa kos-kosan gitu.
Saya dipaksa berpisah dengan tempat bermain saat kecil dulu, tanpa peringatan atau permisi. Padahal sesekali saya suka diam di kebun itu sekadar mengingat kembali kenangan tentang almarhum Nenek. Tapi ya sudah, saya masih bisa membicarakannya bareng temen-temen kalau lagi senggang.
Pukul tiga dini hari catatan ini selesai saya buat. Nggak terasa, sudah dua batang rokok saya habiskan dari tadi dan sekarang harus pamit, mau sahur dulu.
BACA JUGA Menebak Karakter Orang dari Komplek yang Pertama Dibeli pas Main Monopoli atau tulisan lainnya dari Gilang Oktaviana Putra.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.