Kalau orang lain cerita soal ngekos di apartemen mewah atau minimal kamar ber-AC, maka izinkan saya untuk bercerita soal rasanya hidup di kos 250 ribu di Bandung, yang lebih mirip tempat bertapa daripada tempat tinggal.
Saya kuliah di Bandung selama tiga setengah tahun, dan dari awal sampai akhir saya ngekos di satu tempat yang sama, harga 250 ribu rupiah per bulan. Nggak, saya nggak salah ketik. Dua ratus lima puluh ribu. Bahkan kadang saya sendiri heran, itu kos-kosan atau tempat survival?
Tapi dari tempat sederhana itu, saya banyak belajar hal soal hidup, kesederhanaan, dan betapa kuatnya manusia kalau sudah terpaksa. Berikut ini beberapa hal yang saya alami. Alami banget.
Ukuran kamar kos lebih kecil dari hati yang belum siap move on
Kamar kos 250 ribu di Bandung saya cukup untuk satu kasur tipis, satu rak kecil dan beberapa barang serta perintilan alat makan yang saya pakai sehari-hari. Kalau ada tamu datang, atau teman kuliah yang datang ya sudah. Salah satu dari kami harus duduk dekat pintu.
Kamar kos saya berada di lantai dua. Alasnya hanya terbuat dari kayu, yang sepertinya tidak sanggup menahan beban tubuh penghuni plus beban hidupnya. Tapi di situlah saya tidur, makan, belajar, bahkan menangis diam-diam ketika kondisi sedang tidak baik-baik saja. Nggak luas, tapi cukup untuk bertahan.
Fasilitas? jangan banyak nanya, nanti nangis
Fasilitas di kos 250 ribu saya sangat sederhana. Kamar mandi luar, air kadang ngalir kadang ngambek. Kalau malam lampu depan kosan mati, nggak ada satu pun yang inisipatif buat ganti. Nggak ada petugas keamanan di sana, makanya beberapa kali saya sempat kecolongan. Padahal waktu itu sepatu baru beli, belum juga seminggu, eh udah raib entah ke mana.
Tapi semua itu jadi biasa saja. Karena harga 250 ribu itu bukan cuma harga yang murah, tapi juga pengingat bagi saya bahwa hidup itu nggak selalu bisa dimanjakan. Saya jadi tahu cara hemat air, cara mancing sanyo kalau air ngambek, bahkan tau cara membuat nasi goreng tanpa wajan.
Tetangga kos yang “yah elu lagi-elu lagi”
Kosan ini bukan kosan biasa, tapi semacam markas alumni tak resmi dari SMA saya dulu. Kenapa? karena yang punya kosan adalah guru SMA saya sendiri. Jadi tiap tahun selalu aja ada yang diturunkan dari angkatan atas ke angkatan bawah. Saya pun dulu tahu karena informasi dari kakak kelas. Alhasil isi kosan itu ya wajah-wajah yang familiar semua.
Tapi anehnya, justru karena saling kenal itu, rasa canggung cepat luntur dan rasa solidaritasnya lumayan tinggi. Di tempat sempit itu, kami selain jadi teman juga serasa saudara bahkan pengganti keluarga saat jauh dari rumah. Fun fact, saya adalah penghuni terakhir kosan itu, dan kabarnya kosannya sekarang sudah pindah kepemilikan.
Malu itu sementara, tapi lulus itu selamanya
Awal-awal saya sempat minder. Teman-teman lain kosannya bagus, kasurnya spring bed, bahkan punya balkon buat ngopi-ngopi estetik. Saya? Kasur tipis, dinding sedikit rembes, dan suara ayam tetangga jam 3 pagi. Tapi pelan-pelan saya sadar, rasa malu itu cuma sementara, yang penting saya tetap bisa fokus kuliah dan lulus tepat waktu.
Sekarang kos saya sudah bisa dibilang layak untuk tinggal. Tidak perlu khawatir lagi air rembes kalau hujan badai datang, tidak perlu ada drama air ngambek dan saya harus mancing dulu biar bisa mandi dan nyuci. Dan yang paling penting sekarang lumayan luas dan aman. Tapi kos 250 ribu di Bandung tempat saya dulu berada masih saya kenang. Bukan karena sempitnya, tapi karena di situlah saya banyak belajar bersyukur.
Cerita ini bukan minta untuk dikasihani. Ini cerita nyata, sebagai pengingat bahwa banyak dari kita memulai dari tempat-tempat sempit, panas, dan penuh keterbatasan. Tapi dari sanalah mental ditempa dan dibentuk, mimpi dilatih, dan makna hidup dipahami.
Jadi, kalau kamu sedang ngekos dengan segala keterbatasan, percayalah, yang penting bukan tempat tinggalnya. Tapi bagaimana kamu tetap bertahan dan tetap melangkah di tengah keterbatasan itu.
Penulis: Ruslan Abdul Munir
Editor: Rizky Prasetya
