Sebelum mulai menulis artikel ini, sebenarnya saya agak geli juga kalau harus memakai kata religius. Tapi, demi memudahkan pemahaman kita bersama, saya pakai kata itu saja. Sebab, di lingkungan rumah, keluarga saya memang dikenal cukup paham dengan agama karena keturunan.
Sejak dulu, rata-rata anggota keluarga saya memiliki latar belakang kehidupan yang cukup dekat dengan agama, ibadah, dan dipercaya oleh perangkat desa untuk memimpin acara keagamaan. Misalnya, kakek saya selalu jadi imam salat di masjid (baik salat lima waktu maupun salat Jumat), atau saudara saya yang jadi muazin. Bahkan beberapa saudara saya juga bersekolah di sekolah Islam dan pesantren, hingga ada yang dapat beasiswa ke Kairo, lho.
Sayangnya, sepertinya cuma saya yang bisa dibilang nggak begitu meneruskan bakat dakwah yang diwarisi keluarga. Sebagai seorang anak yang hidup dan tinggal bersama keluarga yang dikenal religius, berikut beberapa hal yang saya rasakan selama ini.
Daftar Isi
#1 Lingkungan rumah nyaman
Selama dua puluh tahun lebih hidup dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai agama membuat saya bersyukur karena bisa merasakan lingkungan rumah yang nyaman. Nyaman di sini maksudnya ketika saya mendapat banyak ilmu agama dari orang tua dari kecil sebelum masuk ke dunia pendidikan. Hal ini membuat saya yang sudah dewasa ini jadi lebih terkendali. Yah, meskipun tetap ada nakalnya, sih.
#2 Dianggap anak baik dan saleh
Saya nggak tahu poin kedua ini kelebihan atau kekurangan lahir dan besar di keluarga religius. Sebab, anggapan anak baik dan saleh justru bikin saya terbebani.
Ketika pengin melakukan sesuatu, saya harus berpikir dua kali. Apakah kelakuan saya nantinya bakal berdampak positif atau negatif. Dan kalau sudah berbuat satu kesalahan saja, eh, langsung jadi bahan omongan. Untuk mengatasi itu saya lebih memilih jadi diri sendiri dan kabar baiknya nggak ada yang mengomentari.
#3 Sering dianggap mengerti agama
Terlahir di keluarga yang religius membuat saya disalahpahami oleh banyak orang. Kebanyakan menilai kalau saya ini mengerti soal agama. Padahal nyatanya kalau boleh jujur, boro-boro mengerti agama, kadang salat subuh saja saya masih suka telat. Hehehe.
Nyatanya nggak semua orang yang lahir dan besar dalam keluarga religius memahami seluk-beluk agama. Kadang saya pengin ngakak kalau ada orang yang menganggap saya ini mengerti agama. Padahal ya tahu mana yang wajib, sunah, halal, dan haram saja saya sudah bagus.
#4 Selalu diminta untuk jadi imam atau pembaca doa
Lantaran rumah saya bersebelahan dengan masjid, kakek saya sering menjadi imam salat. Kalau bukan beliau, biasanya bapak saya yang turun tangan. Kalau nggak ada kakek dan bapak saya, biasanya kakak saya yang tertua yang didapuk jadi imam salat. Lalu gimana kalau ketiganya sedang nggak berada di rumah? Ya tentu saja orang lain yang jadi imam salatnya, saya kan sekarang sedang merantau. Hehehe. Tapi, kalau kebetulan sedang pulang dan nggak ada kakek, bapak, dan kakak, saya menyempatkan jadi imam salat karena dimintai tolong.
#5 Kalau ada tahlilan, selalu didahulukan dapat berkat
Dari empat poin yang sudah saya jabarkan di atas, poin terakhir ini bikin saya senang terlahir dan besar dalam keluarga religius. Tiap kali ada tahlilan atau acara keagamaan di lingkungan rumah, saya dan saudara-saudara saya yang lain selalu didahulukan untuk mendapatkan berkat. Bahkan empunya hajat tak jarang memberikan berkat lebihan pada kami. Lantaran dulu masih kecil, saya sih senang-senang saja.
Hidup dalam keluarga religius memberikan saya banyak pelajaran berharga, baik ketika di dalam rumah maupun di lingkungan masyarakat. Meski bertahun-tahun berdampingan dengan keluarga yang paham soal agama, itu semua nggak menjamin seseorang memiliki akhlak yang pasti baik.
Penulis: Erfransdo
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Seorang Ateis dari Keluarga Religius, Ingin Bersenang-senang Lalu Mati Muda.