Beberapa hari lalu, sepulang mengantarkan ibu saya ke sebuah tempat untuk suatu urusan, saya singgah di warsun. Saat sedang asyik makan, saya teringat cerita istri saya. Istri saya orang asli Pati, Jawa Tengah, sedangkan saya adalah orang asli Bandung.
Istri saya pernah bercerita pengalaman kakaknya saat pertama kali makan di warsun di dekat kampusnya. Kebetulan dulu istri saya kuliah di UPI Bandung. Saat kakaknya sedang makan di warsun, tiba-tiba pelayan menaruh segelas teh pada meja. Padahal, blio nggak memesan segelas teh. Terang saja blio kaget. Setelah teh itu diminum, kakak istri saya ini heran, kenapa teh yang dia minum rasanya nggak manis.
Setelah selesai makan, ia pun mendatangi pelayan untuk membayar.
“Semuanya jadi 14 ribu,” kata pelayan warsun.
“Itu tehnya sudah dihitung?” tanya kakak istri saya. “Padahal saya nggak pesen lho, Mas.”
“Oh, itu gratis,” jawab pelayan warsun
Begitu tiba di kos, dia bercerita pada istri saya apa yang barusan dialami di warsun. Istri saya tersenyum sambil berusaha menahan tawa. “Iku gratis, ning kene ora nganggo gula, ” katanya. Istri saya lalu menceritakan hal yang kakaknya alami pada saya. Saya lalu berkata, “Wah, itu mah shock culture namanya.”
Berangkat dari apa yang dialami kakak istri saya tersebut, saya ingin menjelaskan pada orang-orang Jawa terkait minuman teh yang ada di warsun. Siapa tahu besok-besok di antara kalian ada yang mampir ke warsun dan hendak memesan makanan, jangan kaget kalau teh yang disajikan berbeda dengan teh yang disajikan di warteg.
Umumnya, di warsun, pelayan biasa memberikan segelas teh tawar pada pembeli. Tenang saja, teh yang diberikan pada pembeli itu gratis, kok. Istilah kerennya, sudah masuk dalam paket pembelian. Jadi, kalian nggak perlu mengeluarkan uang untuk membayarnya. Meskipun kalian minum teh tawar sampai 20 gelas, tetap saja gratis, Bro. Eh, tapi, mana ada sih orang yang bisa minum teh tawar sampai 20 gelas di warsun? Bisa-bisa kembung, deh.
Sementara di warteg, pada umumnya pelayan akan mengantarkan teh bila pembeli memesannya. Jadi, kalau kamu nggak pesan teh di warteg, ya nggak bakal dikasih minum. Kecuali kamu bilang pesan minum es teh atau teh hangat misalnya. Selain itu, di warteg, umumnya teh yang disajikan sudah manis. Beda dengan teh tawar yang disajikan di warsun tadi. Oh ya, di warteg, segelas teh manis ada harganya lho, ya. Jadi, buat orang Sunda yang kebetulan makan di warteg, jangan kaget kalau harus bayar minum.
Eh, tapi kalau pas makan di warsun terus kepingin minum teh manis gimana? Ya tinggal bilang ke pelayan kalau minta teh manis. Syukur-syukur pemilik warsun punya gula, jadi bisa dicampurkan ke teh tawar. Kalau pemiliknya nggak punya gula, ya kalian harus maklum dan nggak boleh marah-marah. Soalnya di Jawa Barat, teh itu biasanya disajikan tanpa campuran gula alias tawar.
Saya jadi teringat bapak mertua waktu makan di warsun. Waktu itu blio sedang berkunjung ke Bandung. Blio yang merupakan orang asli Pati memesan teh dan syok lantaran tehnya nggak manis. Bapak mertua saya lalu minta gula pada pelayan. Sayangnya, di warsun itu nggak ada gula. Gara-gara kesal, bapak mertua sampai bilang begini, “Yen aku bali mrene, aku bakal menehi gula!” (kalau saya kembali ke sini, saya kasih gula) Hehehe.
Perbedaan warsun dan warteg dalam hal minuman teh ini mengingatkan saya pada pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Sebagai bangsa Indonesia yang hidup dalam keragaman budaya, kita harus menjunjung tinggi pepatah tersebut. Di mana pun kita berada, ada baiknya mengikuti adat istiadat yang berlaku. Kita nggak bisa memaksakan keinginan kita sendiri pada orang lain, kan?
Sumber Gambar: Unsplash